SEJARAH KOTA PALEMBANG
Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 
1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai 
prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 
682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah 
yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota
 ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut 
bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini 
kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air
 (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek 
moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Palembang dalam 
bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; 
sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar 
yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), 
sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah 
genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh 
air.
Masa Kesultanan Palembang
Masa Belanda
Di Era Zaman Jepang
Kegiatan Pembangunan yang Menonjol
Masa Kerajaan Sriwijaya
Masa Kesultanan Palembang
Masa Penjajahan Belanda
1906 – 1935
1935 – 1950
Jepang
1950 – 1960
1960 – 1970
1970 – 1980
Sasaran pembangunan : Jalan, Air Bersih, Listrik dan Kebersihan. Pembangunan Proyek Non Bujeter :
Sistem Makro : meliputi Saluran induk dengan memanfaatkan sungai-sungai dan kolam-kolam (Retention Basin).
Sistem Mikro : Meliputi saluran-saluran pengumpul dari daerah-daerah aliran ke saluran-saluran utama dan kesaluran induk.
Tahap Pelaksanaan :
Untuk Kampung 9,10,11,13,14 ilir dan 1 ulu, dengan luas areal 40 ha untuk penduduk 30.210 jiwa. 1981 – 1982
Untuk Kampung 1,2 ulu, 13,14, 19, 22, 26, 26, 27 dan 28 ilir, dengan luas areal 80 ha untuk penduduk 41.654 jiwa.
1982 – 1983
Untuk Kampung 8,9,10,11,24,26,29,30dan 32 ilir, dengan luas areal 125 ha untuk penduduk 75.358 jiwa.
1983 – 1984
Diusulkan untuk Kampung 35 ilir, 3, 4, 5, 7 ulu, kertapati dan ogan baru dengan luas areal 75 ha untuk penduduk 99.126 jiwa.
Dalam realisasinya perbaikan kampung dilakukan pada kelurahan 29, 30, 32, 35 ilir, 3/4, 5,7 dan 8 ulu.
1984 – 1985
Untuk Kelurahan 3/4, 5,7,11,12 ulu, kertapati dan Ogan Baru.
1986 – 1987
Untuk kelurahan karang anyar, 36, 35, 32 ilir, 8, 11, 12, 13, 14 ulu, dan Tangga Takat.
1987 – 1988
Untuk kelurahan 2, 3, 5 ilir, dan 13, 14 ulu. Bentuk pembangunan KIP ini antara lain :
Untuk rencana pemindahan terminal bawah jembatan Ampera Seberang Ilir ke wilayah seberang ulu baik untuk terminal Penumpang maupun unutk barang ± 8 Ha.
Drainage
Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang 
Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana
 transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya 
jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak
 strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu 
mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:
- Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan.
- Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
- Daerah pesisir timur laut.
Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat
 yang sangat mementukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat 
peradaban. Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan 
frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong 
manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di 
Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi 
ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman 
klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh 
Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang
 disegani dikawasan Nusantara
Sriwijaya, seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di
 Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai 
Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai 
sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih 
sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum 
luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang 
menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. 
Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat. (dalam istilah 
Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis 
untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia 
Tenggara.
Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang
 ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang 
Sriwijaya sebagai berikut :Negara ini terletak di Laut selatan, 
menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu 
pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang
 bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu 
diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. 
Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah dipelabuhan dikepung oleh 
perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu 
tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat 
pelayaran.
Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos 
tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut Cina asing seperti Cina, Arab dan 
Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka 
lihat dan dengan. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan 
keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, adalah bagaikan kota di 
Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka adalah kota yang sangat 
besar, dimana jika dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak 
berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti 
terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan 
keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis 
tentang kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan 
penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. 
Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering diatas rumah yang 
bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara 
mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau
 Ku-kang (berarti pelabuhan lama).Setelah mengalami kejayaan diabad-abad
 ke-7 dan 9, maka dikurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan 
secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik karena persaingan 
dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan
 terakhir kejatuhan ini tak terelakkan setelah bangkitnya bangkitnya 
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang 
tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, 
berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan 
Semenanjung Malaysia.
Dari sisa Kerajaan Sriwijaya tersebut tinggalah 
Palembang sebagai satu kekuatan tersendiri yang dikenal sebagai kerajaan
 Palembang. Menurut catatan Cina raja Palembang yang bernama Ma-na-ha 
Pau-lin-pang mengirim dutanya menghadap kaisar Cina tahun 1374 dan 
1375.Maharaja ini barangkali adalah raja Palembang terakhir, sebelum 
Palembang dihancurkan oleh Majapahit pada tahun 1377. Berkemungkinan 
Parameswara dengan para pengikutnya hijrah ke semenanjung, dimana ia 
singgah lebih dulu ke pulau Temasik dan mendirikan kerajaan Singapura. 
Pulau ini ditinggalkannya setelah dia berperang melawan orang-orang 
Siam. Dari Singapura dia hijrah ke Semenanjung dan mendirikan kerajaan 
Melaka. Setelah membina kerajaan ini dengan gaya dan cara Sriwijaya, 
maka Melaka menjadi kerajaan terbesar di nusantara setelah kebesaran 
Sriwijaya.Palembang sendiri setelah ditinggalkan Parameswara menjadi 
chaos. Majapahit tidak dapat menempatkan adipati di Palembang, karena 
ditolak oleh orang-orang Cina yang telah menguasai Palembang. Mereka 
menyebut Palembang sebagai Ku-Kang dan mereka terdiri dari 
kelompok-kelompok cina yang terusir dari Cina Selatan, yaitu dari 
wilayah Nan-hai, Chang-chou dan Changuan-chou.
Meskipun setiap kelompok ini mempunyai pemimpin 
sendiri, tetapi mereka sepakat menolak pimpinan dari majapahit dan 
mengangkat Liang Tau-ming sebagai pemimpin mereka.Pada masa ini 
Palembang dikenal sebagai wilayah yang menjadi sarang bajak laut dari 
orang-orang Cina tersebut. Tidak heran jika toko sejarah dan legendaris 
dari Cina, yaitu Laksamana Chen-ho terpaksa beberapa kali muncul di 
Palembang guna memberantas para bajak laut ini. Pada tahun 1407 setelah 
kembali dari pelayarannya dari barat, Chen-ho sendiri telah menangkap 
toko bajak laut dari Palembang yaitu Chen Tsui-i. Chen-ho membawa bajak 
laut ini kehadapan kaisar, kemudian dihukum pancung ditengah pasar 
ibukota. Namun beberapa toko bajak laut di lautan cina seperti Chin 
Lien, pada tahun 1577 telah bersembunyi di Palembang dan kemudian 
menjadi pedagang yang disegani di Palembang. Chiang Lien sebagai 
pengawas perdagangan untuk cina. sebetulnya kedudukan ini adalah suatu 
jabatan yang disahkan oleh kaisar dan mempunyai wewenang mengatur hukum,
 imbalan, penurunan ataupun kenaikan (promosi) bagi warga Cina di 
Palembang. Dapat dibayangkan bahwa kekuasaan orang-orang Cina di 
Palembang hampir 200 tahun.
Menurut Tomec Pires yang menulis sekitar tahun 
kejatuhan Melaka, menyatakan bahwa pupusnya pengaruh Majapahit dan Cina 
du Palembang adalah akibat kebangkitan Islam di wilayah Palembang 
sendiri. Situasi dan kondisi ini menempatkan Palembang menjadi wilayah 
perlindungan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1546, yang melibatkan 
Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran Hadiwijaya dari Pajang, dimana 
kematian Aria Penangsang membuat para pengikutnya melarikan diri ke 
Palembang.Para pengikut Aria Jipang ini membuat ketakutan baru dengan 
mendirikan Kerajaan Palembang. Tokoh pendiri Kerajaan Palembang adalah 
Ki Gede Ing Suro. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini 
situsnya tepat berada di komplesk PT. Pusri. Dimana makam Ki Gede Ing 
Suro berada di belakang Pusri.Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai 
Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di 
sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa 
dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang. Ki Mas Hindi 
adalah tokoh kerajaan Palembang yang memperjelas jati diri Palemban, 
memutus hubungan ideologi dan kultural ddengan pusat kerajaan di Jawa 
(Mataram). Dia menyatakan dirinya sebagai sultan, setara dengan Sultan 
Agung di Mataram. Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abdurrahma, yang kemudian
 dikenal sebagai Sunan Cinde Walang (1659-1706). Keraton Kuto Gawang 
dibakar habis oleh VOC pada tahun 1659, akibat perlawanan Palembang atas
 kekurang ajaran hasil wakil VOC di Palembang, Sultan Abdurrahman 
memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat 
perdangangan).Sultan Mahmud Baaruddin I yang bergelar Jayo Wikramo 
(1741-1757) adalah merupakan tokoh pembangunan Kesultanan Palembang, 
dimana pembangunan modern dilakukannya. Antara lain Mesjid Agung 
Palembang, Makam Lembang (Kawah Tengkurep), Keraton Kuto Batu (sekarang 
berdiri Musium Badarudin dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Palembang). 
Selain itu dia juga membuat kanal-kanal di wilayah kesulatan, yang 
berfungsi ganda, yaitu baik sebagai alur pelayaran, pertanian juga untuk
 pertahanan. Badaruddin Jayo Wikramo memantapkan konsep kosmologi 
Batanghari Sembilan sebagai satu lebensraum dari kekuasaan Palembang. 
Batanghari Sembilan adalah satu konsep Melayu – Jawa, yaitu adalah 
delapan penjuru angin yang terpencar dari pusatnya yang, merupakan 
penjuru kesembilan. Pusat atau penjuru kesembilan ini berada di keraton 
Palembang (lebih tegas lagi berada ditangan Sultan yang berkuasa).
Menurut Tomec Pires yang menulis sekitar tahun 
kejatuhan Melaka, menyatakan bahwa pupusnya pengaruh Majapahit dan Cina 
du Palembang adalah akibat kebangkitan Islam di wilayah Palembang 
sendiri. Situasi dan kondisi ini menempatkan Palembang menjadi wilayah 
perlindungan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1546, yang melibatkan 
Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran Hadiwijaya dari Pajang, dimana 
kematian Aria Penangsang membuat para pengikutnya melarikan diri ke 
Palembang.Para pengikut Aria Jipang ini membuat ketakutan baru dengan 
mendirikan Kerajaan Palembang. Tokoh pendiri Kerajaan Palembang adalah 
Ki Gede Ing Suro. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini 
situsnya tepat berada di komplesk PT. Pusri. Dimana makam Ki Gede Ing 
Suro berada di belakang Pusri.Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai 
Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di 
sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa 
dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang. Ki Mas Hindi 
adalah tokoh kerajaan Palembang yang memperjelas jati diri Palemban, 
memutus hubungan ideologi dan kultural ddengan pusat kerajaan di Jawa 
(Mataram). Dia menyatakan dirinya sebagai sultan, setara dengan Sultan 
Agung di Mataram. Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abdurrahma, yang kemudian
 dikenal sebagai Sunan Cinde Walang (1659-1706). Keraton Kuto Gawang 
dibakar habis oleh VOC pada tahun 1659, akibat perlawanan Palembang atas
 kekurang ajaran hasil wakil VOC di Palembang, Sultan Abdurrahman 
memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat 
perdangangan).Sultan Mahmud Baaruddin I yang bergelar Jayo Wikramo 
(1741-1757) adalah merupakan tokoh pembangunan Kesultanan Palembang, 
dimana pembangunan modern dilakukannya. Antara lain Mesjid Agung 
Palembang, Makam Lembang (Kawah Tengkurep), Keraton Kuto Batu (sekarang 
berdiri Musium Badarudin dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Palembang). 
Selain itu dia juga membuat kanal-kanal di wilayah kesulatan, yang 
berfungsi ganda, yaitu baik sebagai alur pelayaran, pertanian juga untuk
 pertahanan. Badaruddin Jayo Wikramo memantapkan konsep kosmologi 
Batanghari Sembilan sebagai satu lebensraum dari kekuasaan Palembang. 
Batanghari Sembilan adalah satu konsep Melayu – Jawa, yaitu adalah 
delapan penjuru angin yang terpencar dari pusatnya yang, merupakan 
penjuru kesembilan. Pusat atau penjuru kesembilan ini berada di keraton 
Palembang (lebih tegas lagi berada ditangan Sultan yang berkuasa).
Dari seluruh pelabuhan di wilayah orang-orang Melayu,
 Palembang telah membuktikan dn terus secara seksama menjadi pelabuhan 
yang paling aman dan peraturan paling baik, seperti dinyatakan oleh 
orang-orang pribumi dan orang-orang Eropa. Begitu memasuki perairan 
sungai, perahu-perahu kecil, dengan kewaspadaan yang biasa siaga dengan 
tindakan-tindakan perampasan. Kemungkinan perahu perampok yang 
bersembunyi akan memangsa perahu-perahu dagang kecil yang memasuki 
sungai, jarang terjadi, karena ketatnya penjagaan oleh kekuatan Sultan 
dengan segala peralatannya.Selain kekayaan yang melimpah dari baiknya 
pelayanan pelabuhan dan perdagangan, membuat Palembang mempunyai 
kesempatan memperkuat pertananannya. Ini dibuktikannya oleh Sultan 
Muhammad Bahauddin mendirikan keraton Kuto Besak pada tahun 1780. Di 
dalam melawan penjajahan Belanda dan Inggris, Sultan Mahmud Baruddin II 
berhasil mengatasi politik diplomasi dan peperangan kedua bangsa 
tersebut. Sebelum jatuhnya Palembang dalam peperangan besar di tahun 
1821, Sultan Mahmud Badaruddin II secara beruntun pada tahun 1819 telah 
dua kali mengahajar pasukan pasukan Belanda keluar dari perairan 
Palembang. Keperkasaan Sultan Mahmud Badaruddin II ini dinilai oleh 
Pemerintah Republik Indonesia adalah wajar untuk dianugrahi sebagai 
Pahlawan Nasional.
Masa Belanda
Palembang sebagai Ibukota Kesultanan Palembang 
Darussalam pada saat dibawah pemerintah kolonial Belanda dirombak secara
 total dari sisi penggolongan kotanya. Pada awalnya wilayah pemukiman 
penduduk kota Palembang, dizaman Kesultanan lebih dari sekedar pemukiman
 yang terorganisir. Pemukiman pada waktu itu adalah suatu lembaga 
persekutuan dimana patronage dan paternalis terbentuk akibat struktur 
masyarakat tradisional dan feodalistis. Keseluruhan sistem ini berada 
dalam satu lingkungan dan lokasi. Sistem ini dikenal dengan nama 
gugu(k). Kosakata gugu berasal dari jawa – Kawi yang berarti : barang 
katanya, diturut, diindahkan.Setiap guguk mempunyai sifat sektoral 
ataupun aspiratip. Sekedar untuk pengertian meskipun tidak sama, bentuk 
guguk ini dapat dilihat dengan sistem gilda pada abad pertengahan di 
Eropa. Contoh nama wilayah pemukiman yang dikenal sebagai Sayangan, 
adalah wilayah dimana paramiji dan alingan(struktur bawah dari golongan 
penduduk kesultanan) yang memproduksi hasil-hasil dari bahan tembaga. 
Sayangan artinya pengerajin tembaga (Jawa Kawi). Produksi ini dilakukan 
atas perintah dari bangsawan yang menjadi pimpinan (guguk) yang menjadi 
pelindung terhadap kedua golongan baik miji maupun alingan (orang yang 
di-alingi/dilindungi). Hasil produksi ini merupakan pula income bagi 
sultan dan kesultanan.Contoh lain dalam adalah wilayah pemukiman 
mengindikasikan wilayah guguk, yaitu : kepandean adalah rajin atau 
pandai besi, pelampitan adalah perajin lampit, demikian juga dengan 
kuningan adalah perajin pembuat bahan-bahan dari kuningan.Pemukiman ini 
dapat pula bersifat aspiratif, yaitu satu guguk yang mempunyai satu 
profesi atau kedudukan yang sama, seperti guguk Pengulon, pemukiman para
 pendahulu dan alim ulama disekitar Mesjid Agung.
Demikian pula dengan kedemangan, wilayah dimana tokoh
 demang tinggal, ataupun kebumen yaitu tempat tempat dimana Mangkubumi 
menetap. Disamping ada wilayah-wilayah dimana kelompok tertentu 
bermukim, seperti Kebangkan adalah pemukiman orang-orang dari Bangka, 
Kebalen adalah pemukiman orang-orang dari Bali.Setelah Palembang dibawah
 adminstrasi kolonial, maka oleh Regering Commisaris J.I Van Sevenhoven 
sistem perwilayahan guguk harus dipecah belah. Pemecahan ini bukan saja 
memecah belah kekuatan kesultanan, juga sekaligus memcah masyarakat yang
 tadinya tunduk kepada sistem monarki, menjadi tuduk pada administrasi 
kolonial. Guguk dijadikan beberapa kampung. Sebagai kepala diangkat 
menjadi Kepala Kampung, dan di Palembang dibagi menjadi dua wilayah, 
yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Untuk mengepalai wilayah tersebut 
diangkat menjadi Demang. Demang adalah pamongraja pribumi yang tunduk 
kepada controleur. Kota Palembang pada waktu itu terdiri dari 52 
kampung, yaitu 36 kampung berada di seberang ilir dan 16 kampung di 
seberang Ulu. Kampung-kampung ini diberi nomor yaitu dari nomor 1 sampai
 36 untuk seberang ilir, sedangkan seberang ulu dari 1 sampai 16 
ulu.Pemberian nomor-nomor kampung ini penuh semangat pada awal 
pelaksanaannya, tetapi kemudian pembagian tidak berkembang malah 
menyusut. Pada tahun 1939 kampung tersebut menjadi 43 buah, dimana 29 
kampung berada diseberang ilir dan 14 kampung berada di seberang ulu.
Dapat diperkirakan penciutan adminstratif kampung ini
 karena yang diperlukan bukannlah wilayahnya, tetapi cacah jiwanya yang 
ada kaitan dengan pajak kepalanya. Sehingga untuk itu digabungkanlah 
beberapa kampung yang cacah jiwanya minim, dan cukup dikepalai oleh 
seorang Kepala Kampung.Oleh karen Kepala Kampung hanya mengurus penduduk
 pribumi, maka untuk golongan orang Timur Asing, mereka mempunyai Kepala
 dan wijk tersendiri. Untuk golongan Cina, kepalanya diangkat dengan 
kedudukan seperti kepangkatan militer, yaitu Letnan, Kapten dan Mayor. 
Demikian pula dengan golongan Arab dan Keling (India/Pakistan) dengan 
kepalanya seorang Kapten. Untuk kedudukan kepala Bangsa Timur Asing, 
biasanya dipilih berdasarkan atas pernyataan jumlah pajak yang akan 
mereka pungut dan diserahkan bagi pemerintah disertai pula jaminan dana 
begi kedudukannya.Pemerintah Kota Palembang pada 1 April 1906 menjadi 
satu Stadgemeente. Satu pemerintahan kota yang otonom, dimana dewan kota
 yang mengatur pemerintahan. Penduduk menyebut pemerintah kota ini 
adalah Haminte. Ketua Dewan Kota adalah Burgemeester (Walikota), dia 
dipilih oleh anggota Dewan Kota. Anggota Dewan Kota dipilih oleh 
penduduk kota.Sebenernya pemerintah kota bukanlah dibentuk untuk tujuan 
utama memenuhi kepentingan pribumi, akan tetapi lebih kepada kepentingan
 para pengusaha Barat yang sedang menikmati liberalisasi. Karena dampak 
liberalisasi menjadikan kota sebagai pusat atau konsentrasi ekonomi, 
baik sebagai pelabuhan ekspor, industri, jasa-jasa perdagangan dan 
menjadi markas para pengusaha.
Dizaman penduduk Jepang (1942-1945), secara 
struktural tidak ada perubahan kedudukan kepala kampung. Hanya gelarnya 
saja yang berubah, yaitu menjadi Ku – Co dan mereka dibawah koordinasi 
Gun – Co. Tugasnya dititik beratkan pada pembangunan ekonomi peperangan 
Jepang. Untuk merapatkan barisan dikalangan penduduk, diperkenalkan 
suatu sistem lingkungan Jepang, Tonari – Gumi, yaitu Rukun Tetangga yang
 meliputi setiap 10 rumah di suatu kampung. Tonari – gumi dipimpin oleh 
seorang Ku – Mi – Co (Ketua RT).
Masa Kerajaan Sriwijaya
Pusat pemerintahan dan pemukiman terletak di bagin barat kota Palembang. Bentuk pembangunan yang dilakukan berupa :
- Tata ruang dan saluran air serta pengurukan dan penimbunan daerah rawa (di Kelurahan Karang Anyar, kelurahan Bukit Lama dan Kecamatan Seberang Ulu I), baik bentuk istana, pemukiman warga maupun tempat ibadah.
- Bangunan tempat ibadaha berupa Vihara dan kelengkapannya.
- Pembangunan pelabuhan, serta sarana Transportasi.
- Pembangunan Istana serta rumah-rumah tempat tinggal penduduk, baik diatas daratan, maupun di atas sungai berupa rakit dan rumha bertiang di atas rawa.
- Pembangunan industri antara lain industri manik-manik di Ilir Barat.
- Pembangunan Taman Srisetra dibagian barat kota (Prasasti Karang Tuo).
Masa Kesultanan Palembang
Pusat pemerintahan pada awal kebangkitan, di bagian 
timur kota palembang (di sekitar PT. PUSRI dan Kelurahan I Ilir). 
Kemudian setelah hampir satu abad pindah ke bagian tengah di Kelurahan 
19 Ilir, bentuk pembangunan yang dilakukan berupa :
- Keraton/Istana Kuto Gawang (PT Pusri I Ilir), Kuto Lamo dan Kuto Besak (Kelurahan 19 Ilir).
- Benteng pertahanan (pemasangan lantai di Sungai Musi untuk menghalangi kapal musuh).
- Mesjid (di I Ilir, Beringin Janggut dan Mesjid Agung 19 Ilir).
- Pelabuhan dan tempat penambatan angkutan sungai.
- Makam raja-raja Palembang.
- Penataan tata ruang kota (seperti Kepandean, Sayangan, Kebumen, Depaten).
- Pembangunan oleh masyarakat (klenteng, rumah limas, industri rumah tangga tenunan, ukiran, dll)
Masa Penjajahan Belanda
Berdasarkan catatan pelaksanaan pembangunan kota yang
 berencana baru di mulai pada awal terbentuknya pemerintahan kota di 
tahun 1900-an, seperti dibawah ini :
- 30 September 1918 Pemerintah Kota menetapkan tentang pendirian dan pembongkaran bangunan, yaitu Verordening op het bouwen en sloopen in de Gemeente Palembang.
- 1935 diterbitkan Bouwverordening der Gemeente Palembang berupa Standsplan (Rencana Tehnik Ruang Kota), yang kemudian dengan diterbitkannya peta rencana, peta situasi atau peta penggunaan tanah (detail plan).
1906 – 1935
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota Palembang antara 1906-1935 adalah sebagai berikut :
- Pembelian lapangan-lapangan untuk menimbun bahan bangunan.
- Pembuatan Jembatan Sungai Ogan.
- Perbaikan Jalan Seberang Ulu dari Ogan ke Plaju melalui 10 Ulu (Jl. KH. Azhari).
- Pembuatan medan lalu lintas dekat 10 Ulu dan Tengkuruk.
- Menyediakan lapangan-lapangan untuk lanjutan jalan kereta api Sum-Sel dari Kertapati ke Seberang.
- Menyediakan Lapangan pelabuhan di Seberang Ulu.
- Pendalaman alur sungai Musi.
- Perbaikan jalan dengan pembuatan jalan – jalan tembus dan pelebaran jalan antara Pelabuhan Tengkuruk – talang Jawa; Jl. Gevangenis (Jl. Lembaga Pemasyarakatan) – Boom Baru.
- Perbaikan tempat-tempat berlabuh untuk kapal-kapal sungai di 19 Ilir ( Pelabuhan/ponton).
- Penyediaan tempat transit yang mendesak dari Kertapati (titik ujung jalan kereta api Sum-Sel) yang dapat dicapai oleh kapal-kapal laut, yang mengambil batubara dari tambang bukit asam.
- Realisasi stands plan (Master Plan Kota) Kota Palembang. Ini adalah penetapan lokasi-lokasi :
- Industrial estate di daerah Sungai Gerong dan Plaju.
- Real Estate di Talang Semut.
- Sistem Ring and Radial bangunan jalan kota (yang saat itu baru sampai di Talang Grunik sebagai lingkar II) Jl. Kapten Arivai dan Jl. Veteran sekarang).
1935 – 1950
Jepang
- Perubahan bayas kota dengan memasukkan pelabuhan udara Talang Betutu ke dalam Administrasi Kotapraja.
- Pembangunan jalan By Pass dengan nama jalan Miaji (Jl. Jend. Sudirman).
- Pembangunan landasan pesawat udara :
- Pembangunan Pelabuhan Udara di Betung.
- Lapangan terbang di Talang Balai.
- Perbaikan pelabuhan laut di kota Palembang.
- Pembangunan lapangan Pesawat Udara di Sungai Buah.
- Perluasan lapangan udara talang Betutu (SMB II).
- Pembukaan jalan yang dimulai dari Simpang Mesjid (Simp. Jl. TP. Rustam Effendi) sampai ke simpang Charitas (Jl. Jend. Sudirman).
- Perbaikan dan pelebaran serta pelurusan Jl. Ke Talang Betutu (Jl. Kol. H. Burlian).
1950 – 1960
- Pembangunan Pasar :
Air Bersih : Perluasan PenyaringanPerumahan Rakyat :
- Lingkis (Cinde)
- Kertapati
- Lemabang
- Buah (Jl. Kol. Atmo/Tp. Rustam Effendi)
- Kuto.
- Sungai Buah dan Talang Betutu
- Pemasangan pipa induk, dari penyaringan ke Jl. Jend. Sudirman
- Pipa Suro, Tangga Buntung – Ladang Plaju – Rimab Seru
 Pemasangan pipa 270 Km
- Peningkatan produksi menjadi 23.000 m3/hari
- Pembangunan jalan lingkar I, Jl. Jend. Sudirman ke Simpang Cinde Welan
- Panjang jalan dalam kota 225 Km
- Penimbunan Musi Boulevart
- Perumahan Proyek Khusus Kebangkan (PCK)
- Pembebasan tanah peruntukan :
- Daerah Indusri PT. Pusri
- Universitas Sriwijaya
- Traffic Garden di Bukit Besar
- Pembangunan Balai Pertemuan di Jl. Sekanak.
- Pembangunan Stasion Kamboja.
- Pembuatan Kanal (terusan) Sungai Bendung.
- Pembangunan Penyebrangan Tangga Buntung – Kertapati.
- Pembukaan jalan Tangga Buntung ke Gandus.
1960 – 1970
- Pembangunan Jembatan Musi (Jembatan Ampera) April 1962 – Mei 1965
- Perbaikan Kampung
- Pembangunan sekolah dasar
- Pembangunan Perumahan Pegawai di Jalan Duku (Sumur Batu), Jl. Makrayu dan PCK
- Pemugaran Makam Raja-raja Palembang, Rumah Bari
- Peningkatan Kebersihan
- Terminal Bawah Jembatan Ampera
- Pertokoan Tengkuruk By Pass (Permai)
- Pasar 10 Ulu
- Pemekaran kampung 20 Ilir jadi 4, 26 ilir jadi 2, Sungai Batang dibagi dengan Sungai Selincah
1970 – 1980
Sasaran pembangunan : Jalan, Air Bersih, Listrik dan Kebersihan. Pembangunan Proyek Non Bujeter :
- Sumbangan Pertamina
 Upgrading Jalan dalam Kota :
- 1969/1970 Jalan Utama Veteran, Harapan, Jl. Jend. Sudirman dan Jl. Jend. A.Yani (aspal beton).
- 1970-1971 Jalan-jalan dalam kota di lebarkan menjadi lebar rata-rata 8 m.
- 1973-1974 Upgrading jalan dalam kota.
- 1975-1976 Jalan-jalan di sekitar Pasar 16 ilir.
- Sumbangan dari PT. PUSRI
 3 buah jembatan penyebrangan pejalan kaki di jalan Jend. Sudirman.
- Makmur Store
 Menyumbang 1 buah jembatan penyebrangan jalan di Jl. Jend. Sudirman
- 1975 – 1978 perusahaan-perusahaan industri menyumbang 16 buah Shelter Bus.
- Pembangunan petak-petak pasar secara swadaya masyarakat, peremajaan dan modernisasi pasar atau pusat perbelanjaan.
- 1974 pembangunan gedung pusat pemerintahan Kotamadya. Penetapan hari jadi kota Palembang.
- Sasaran pembangunan diarahkan pada pembangunan sistem drainage (Pengeringan Kota)
Sistem Makro : meliputi Saluran induk dengan memanfaatkan sungai-sungai dan kolam-kolam (Retention Basin).
Sistem Mikro : Meliputi saluran-saluran pengumpul dari daerah-daerah aliran ke saluran-saluran utama dan kesaluran induk.
Tahap Pelaksanaan :
- Program mendesak
- Pembersihan sungai Bendung dan Sungai rendang.
- Pembuatan/peningkatan saluran-saluran primer, siring-siring dan koker-koker.
- Program jangka pendek
- Normalisasi Sungai Sekanak, sungai bendung
- Peningkatan/pembuatan saluran primer dan saluran sekunder antara kedua sungai tersebut.
- Program Jangka Menengah
- Perancangan detail dan pelaksanaan di wilayah lingkaran II
- Normalisasi sungai-sungai, peningkatan /pembuatan saluran-saluran primer and sekunder.
- Jangka Panjang
1979 – 1980
- Lanjutan Studi dan perancangan sistem drainage secara keselurahan.
- Perbaikan dan normalisasi sungai rendang.
- Survey design sungai-sungai di daerah Seberang Ilir.
- Rehabilitasi anak sungai Bayas.
- Program Perbaikan Kampung (Kampong Improvment Program).
Untuk Kampung 9,10,11,13,14 ilir dan 1 ulu, dengan luas areal 40 ha untuk penduduk 30.210 jiwa. 1981 – 1982
Untuk Kampung 1,2 ulu, 13,14, 19, 22, 26, 26, 27 dan 28 ilir, dengan luas areal 80 ha untuk penduduk 41.654 jiwa.
1982 – 1983
Untuk Kampung 8,9,10,11,24,26,29,30dan 32 ilir, dengan luas areal 125 ha untuk penduduk 75.358 jiwa.
1983 – 1984
Diusulkan untuk Kampung 35 ilir, 3, 4, 5, 7 ulu, kertapati dan ogan baru dengan luas areal 75 ha untuk penduduk 99.126 jiwa.
Dalam realisasinya perbaikan kampung dilakukan pada kelurahan 29, 30, 32, 35 ilir, 3/4, 5,7 dan 8 ulu.
1984 – 1985
Untuk Kelurahan 3/4, 5,7,11,12 ulu, kertapati dan Ogan Baru.
1986 – 1987
Untuk kelurahan karang anyar, 36, 35, 32 ilir, 8, 11, 12, 13, 14 ulu, dan Tangga Takat.
1987 – 1988
Untuk kelurahan 2, 3, 5 ilir, dan 13, 14 ulu. Bentuk pembangunan KIP ini antara lain :
Jalan Lingkungan (aspal), Konstruksi Ris Beton, Konstruksi jembatan beton, kran air minum, MCK, Bak sampah, Gerobak Sampah, Buis Beton, SD Bertingkat, Puskesmas.1981Pembebasan Tanah
Pembangunan kembali daerah yang terbakar dikampung 22, 23, 24 dan 26 ilir denagn areal site seluas 236.078 M2 dengan bangunan rumah flat 4 lantai, pelbagai tipe sebanyak 3.584 Unit lengkap dengan prasarana dan fasilitas lingkungan dan 214 kapling tanah siap bangun.
Untuk rencana pemindahan terminal bawah jembatan Ampera Seberang Ilir ke wilayah seberang ulu baik untuk terminal Penumpang maupun unutk barang ± 8 Ha.
- Pembangunan taman-taman kota.
- Pembangunan jalan dengan sistem Ring dan Radial sesuai Peta 1930.
- Peningkatan Kebersihan dengan Pemantapan Program PALEMBANG KOTA BARI.
- Panjang Jalan dalam kota = 282.290 Km, terdiri dari :
 Jalan Arteri = 61.220 Km
 Jalan Arteri Sekunder = 58.752 Km
 Jalan Kolektor dan lokal = 162.418 Km
Jumlah jembatan yang ada di kota Palembang sebanyak 116 buah, terdiri dari :
- Jalan Radial soak Bato ke Jalan kapten Arivai.
- Jalan Lingkungan II dari Jl. Letkol Iskandar tembus ke Jalan segaran.
- Jalan Radial dari Lingkaran I tembus ke Jalan Veteran.
- Jalan Lingkaran Luar dari Gandus Ke Macan Lindungan, Jl. Demang lebar daun.
Pembangunan permukiman Kenten Sako, Polygon dan rumah susun.
- Jembatan beton 80 buah
- Jembatan Besi 7 buah
- Jembatan kayu 29 buah
Drainage
1990 – 1999
- Sejak 1980 – 1987 dibangun saluran sepanjang 333.671 Km, tersebar dari jalan Kapten A. Rivai ke arah Sungai Musi dan Daerah Seberang Ulu.
- 1987 – 1988 dibangun proyek pengeringan kota sepanjang 7.740 Km untuk lokasi di Kecamatan Ilir Barat I dan Ilir Timur I.
- 1988 Sumatera Selatan ditetapkan sebagai Daerah Tujuan Wisata ke – 17. Kota Palembang sebagai ibukota Propinsi menjadi Daerah Utama yang dijadikan sasaran pembangunan kepariwisataan. Obyek wisata yang ditonjolkan adalah wisata air dan budaya.
- Pembangunan RSUD dan Jalan Menuju Ke RSUD
- Jalan Keramasan – Musi II – Macan Lindungan
- Jembatan Musi II
- Jalan Mas krebet
- Jalan Kebun Bunga
- Jalan Tembus Jalan Sudirman ke Sako
- Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya
- Reklamasi Seberang Ulu I
- Jalan Menuju tanjung Api-api
- Jalan tembus Jalan Jend. A. Yani ke Dusun Rambuatan
- Jalan Lingkar Selatan
- Jalan Gandus ke Jalan raya Palembang – Betung
- Jalan Musi II ke Pembuangan sampah Kelurahan Keramasan
- Jalan Tembus Jalan Macan Lindungan ke Jalan haji Burlian
- Pembangunan Pemakaman Kebun Bunga (Silk Air)
- Pembangunan Retaining Wall depan Benteng Kuto Besak

 
 
 
 
 
 
0 komentar: