PERJUANGAN RAKYAT MUSI RAWAS DALAM MEMPERTAHAKAN KEMERDEKAAN RI (1945-1949)
2. 1. Tanggapan Rakyat
Kabupaten Musi Rawas Setelah Proklamasi 17 Agustus
1945
Pada awal Perang Asia Timur
Raya (1941) Pasukan Jepang berhasil melancarkan serangan militernya secara
opensif ke wilayah yang dikuasai Sekutu (Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan China).
Memasuki tahun 1944 kondisi Jepang dalam perang Asia Timur Raya semakin buruk. Pasukan Sekutu dengan intinya tentara
Amerika Serikat, di bawah pimpinan Jenderal Mac. Arthur melakukan serbuan
balasan terhadap pertahanan Jepang. Pasukan Jepang semakin terjepit dan selama itu
pula Jepang tetap berusaha untuk melakukan perlawanan terhadap Sekutu. Dalam
menghadapi situasi yang sangat kritis, pemerintaah Jepang membutuhkan tenaga
dan dukungan rakyat terutama setelah jatuhnya kepualaun Saipan ke tangan Sekutu
pada tahun 1944 (Perwiranegara, 1987:89).
Jatuhnya
kepualaun Saipan tersebut mengakibatkan bobolnya seluruh garis pertahanan
Jepang di wilayah Pasifik. Dengan semakin terdesaknya
Jepang dalam Perang Asia Timur Raya tersebut, semakin banyak pula tuntutan
Jepang terhadap bangsa Indonesia.
Jepang memerlukan rakyat Indonesia
untuk dijadikan tentara militernya, juga bahan-bahan makanan (sandang dan
pangan) guna menunjang kegiatan perangnya. Selain itu, Jepang juga membentuk
“Badan Kebangkitan Rakyat”
dalam bahasa Jepang “Hokokai” (Perwiranegara, 1987:89).
Sehubungan dengan
maksud di atas, untuk menarik simpati rakyat Inodonesia agar ingin membantu
Jepang, maka pemerintahan Jepang menjanjikan bahwa kemerdekaan Indonesia
akan segera diberikan. Untuk itu perlu adanya suatu panitia yang bertugas
menyusun persiapan kemerdekaan Indonesia.
Maka pada tanggal 1 Maret 1945 di bawah pimpinan Jenderal Kumakici Harada telah
menyususn pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai. Badan ini diketuai oleh Dr.
Radjiman Widiodiningrat yang tugasnya menyusun rencana persiapan kemrdekaan Indonesia.
Panitia ini tugasnya mempersiapkan segala sesuatu dalam rangka peralihan
kekuasaan dari Jepang ke Indonesia
(Notosusanto dan MD. Poesponegoro jilid VI, 1984:77).
Pada tanggal 9
Agustus 1945 Jenderal Terauci memanggil tiga tokoh nasional yaitu, Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Htta dan Dr. Radjiman Widiodininggrat ke Saigon untuk
membicarakan masalah kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini
berlangsung pada tanggal 12 Agustus 1945 di markas besar Terauci di di Dallat.
Dalam pidatonya ia mengatakan bahwa cepat atau lambat, kemerdekaan Indonesia
segera akan diberikan. Pada saat itu juga Terauci melantik ketiga tokoh
teresbut sebagai panitia resmi dari PPKI dan sekligus menetapkan
anggota-anggotanya yang terdiri wakil-wakil dari Jawa (12 orang), Sumatera (3
orang), Sulawesi (2 orang), Maluku (1 orang)
dan dari Sunda Kecil serta golongan Cina masing-masing satu orang
(Perwiranegara, 1989:15).
Sementara ketiga pimpinan
tersebut di atas berada di Saigon (Dallat).
sekutu dengan tentara intinya di Amerika Serikat telah menjatuhkan bom atom di Nagasaki tanggal 6 Agustus 1945 dan Hiroshima tanggal 9 Agustus 1945. Dengan
dibomnya kedua kota
tersebut membuat Jepang semakin panik dan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Penyerahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu ini terjadi pada tanggal 14
Agustus 1945 yang secara resmi dilaksanakan tanggal 2 Sepetmeber di Teluk Tokyo
(Notosusanto dan MD Poesponegoro, jilid VI, 1984:87).
Di Indonesia
penyerahan Jepang tersebut didengar oleh Sutan Syahrir. Ia mendengar dari radio
yang tidak disegel pemerintah Jepang, maka ia mengetahui bahwa Jepang
memutuskan untuk menyerah tanggal 15 Agustus 1945. Berita penyerahan Jepang
tersebut telah memberikan kesempatan pada bangsa Indonesia terutama golongan mudanya
untuk segera memproklamasikan kemerdekaan RI. Semenatar itu ketiga pemimpin
bangsa Indonesia yang sedang
di Saigon belum mengetahui berita penyerahan
tersebut. Pada saat ketiganya kembali ke Indonesia pada tanggal 14 Agustus
1945, Sutan Syahrir yang mewakili golongan muda, mendesak Soekarno-Hatta untuk
segera memproklamasikan kemerdekaan RI. Tetapi Soekarno-Hatta akan mengecek
kebenarannya terlebih adahulu. Para
pemuda-pemuda yang dipmpin Sukarni dan Chairul Saleh memutuskan untuk merebut
kekuasaan dari tangan Jepang dan mengamankan Soekarno-Hatta ke Rengasdeklok
(Notosusanyo dan MD Poesponegoro, jilid 1984:80-84).
Atas jasa Mr. Ahmad
Subardjo yang mengatakan bahwa ia menjamin dengan taruhan nyawa, bahwa
kemerdekaan RI akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan jaminan
tersebut komanadan kompi Cudanco Subeno yang menjaga keamana Soekarno-Hatta di
Rengasdengklok, melepaskan Soekarno-Hatta kemabli ke Jakarta (Notosusanto dan MD Poesponegoro,
1984:81-82).
Pada malam harinya
di ruang makan rumah Laksamana Maeda dirumuskan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia
oleh Soekarno-Hatta (Notosusanto dan MD Poesponegoro, jilid VI, 1984:84).
Keesokan harinya pukul 10.00 wib naskah proklamasi tersebut ditanda tangani
oleh Soekarno Hatta atas nama bangs Indonsesia. Naskah tersebut langsung
dibacakan di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta diiringi pengibaran sang merah
putih (Notosusanto dan MD Poseponegroro, jilid VI 1984:87).
Berita proklamasi
tersebut tidak serentak dpat didengar sampai ke seluruh pelosok tanah air. Hal
ini disebutkan sulinya komunikasi antara Jakarta
maupun daerah-daerah lainnya dan masih terbatasnya masyarakt yang emiliki
pesawat radio. Sedangkan instansi-instansi sosial yang memilki radio masih
diduduki Jepang (Pemda TK I Sumsel, 197:100).
Rakyat di Sumatea
Bagian Selatan termasuk terlambat mendengar berita proklamasi tersebut baru
dapat didengar mereka beberapa hari sesudah tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan
penduduk yang tinggal di daerah pedalamn dan terpencil yang komunikasinya
kurang lancar atau sama sekali belum ada sarana komunikasinya, baru mendengar
sampai dua atau tiga bulan kemudian (Pemda TK I Sumsel, 1987:101).
Masyarakat kota Palembang baru mendengar
Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 22 Agustus 1945. Berita itu tidak
disampaikan secara terbuka, karena kekuasaan balatentara Jepang masih terdapat
di mana-maan. Tetapi di kalangan politisi dan pemuda pejuang telah lebih dahulu
mengetahui berita tersebut melalui pemuda bernama Mailan yang bekerja pada
operator radio Domei dan Nungtjik AR yang dipercaya memegang radio Hodohan
untuk kepentingan Palembang Shinbun. Berita itu mereka dengar pada tanggal 18
Agustus 1945. Keesokan harinya tanggal 19 Agustus 1945, atas anjuran Nungtjik
AR berita proklamasi yang kurang jelas dan meragukan itu dilaporkan Mailan
kepada Dr. A. K. Gani. Atas berita yang kurang jelas itu, maka Dr. A. K. Gani
memanggil para pemimpin masyarakat, dan pemuda-pemuda eks Gyugun antara lain:
Dr. M. Isa, Komisaris polisi Marsodo, Nungtjik AR, Abdul Rozak, RZ. Fanani, M.
Dani Efendi, Raden Abdullah, Rivai Nawawi, M. Arief dan Hasan Kasim untuk
berkumpul di rumahnya. Dalam pertemuan itu Dr. A. K. Gani menyampaikan berita
proklamaso yang telah diterimanya dari Mailan kepada hadirin, tetapi belum
diambil suatu keputusan atas berita tersebut karena berita yang didengar kurang
jelas (Pemda TK I Sumsel, 1987:102).
Seemnatar
pemimpin sedang mempertimbangkan keputusan apa yang akan diambil dengan adanya
berita tersebut, tiba-tiba pada tanggal 22Agustus datang udangan untuk datang
ke rumah Tyokan Myoko Tioso. Mula-mula undangan itu
ditanggapi dengan perasaan was-was dan curiga. Sebab para pemimpin kita masih
dihantui oleh kejadian pembunuhan yang terjadi di Kalimantan.
Tetapi setealh mereka sampai di rumah Tyokan Myoko Tosio, mereka melihat para
pembesar Jepang antaar lain: Matsubara (kepala bagian pemerintahan),
Syiomubutjo, Tokokatyo (P.I.D Jepang) dan sinilah para pemimpin kita menyadari
apa yang terjadi. Dalam pertemuan itu disampaikanlah kepada pemimpin kita
tentang penyerahan Jepang kepada Sekutu. Pemerintah Jepang meminta supaya
keamanan di dalam negeri dapat dijaga bersama-sama. Sedangkan masalah
kemerdekaan Indonesia
tidak dibicarakan. Stelah pertemuan itu para pemimpin kita segera mengambil
tindakan. Diputuskan supaya saudar Nungtjik
AR untuk datang kembali pada
Tyokan guna menyampain:
a.
Masalah kemanan pihak kita akan
bertanggung jawab.
b.
Tetapi dituntut terhadap pihak
Jepang agar keamanan dan keselematan para pemimpin dan rakyat, tidak boleh
bertindak sepengetahuan kita.
c.
Masalah kemerdekaan Indonesia
adalah masalah kita sendiri dan tidak boleh dihalangi (Kempen RI, 1954:36).
Malam itu juga para pemimpin yang di luar kota dipanggil ke Palembang,
dan diadakan pertemuan di rumah A. K. Gani. Dalam pertemuan itu diputuskan
untuk segera mengambil alih beberapa kekuasaan atas terdengarnya berita
proklamasi tersebut. Rapat
tersebut berlangsung selama 2 haru (tanggal 22 sampai 23 Agustus 1945). Berita
proklamasi yang kurang jelas itu menjadi terang dengan kedatangan para pemimpin
revolusioner dari Jakarta yaitu: dr. Amir, Mr. Teuku
Moh. Hassan dan Mr. Abbas yang sengaja diutus untuk menyampaikan berita
tersebut. Maka pada tanggal 22 Agustus itu juga berita proklamasi diumumkan di Palembang, dan pada hari itu juga berita itu
disebarluaskan ke seluruh daerah di keresidenan Palembang melalui para pemimpin dan pemuda
pejuang (Pemda TK I Sumsel, 1987:104).
Berita penyerahan Jepang disusul dengan
proklamasi kemerdekaan disambut dengan perasaan gembira oleh rakyat Palembang. Di
samping rasa gembira, terselip pula rasa keragu-raguan terutama pada masyarakat
awam dan masyarakat pedalamn. Mereka belum percaya bahwa Dai-Nippon telah
bertekuk lutut kepada Sekutu, sebab mereka telah melihat betapa gigih dan
kuatnya keprajuritan Jepang. Selain itu ada isu-isu tentang pembunuhan yang
akan dilakukan pemerintah Jepang. Kekejaman kompetai Jepang di luar peri
kemanusiaan telah melekat di hati rakyat terutama masyarakat pedalaman (Pemda
TK I Sumsel, 1987:104-106).
Tetapi
situaasi kemudia berubah, rakyat menjadi tenang setelah kedatangan tiga anggota
PPKI pusat pada tanggal 22 Agustus 1945 dari Jakarta (yaitu dr. Amir, Mr. Teuku
Moh. Hassan dan Mr. Abbas) yang membawa copy teks proklamasi kemerdekaan
Indonesia yang tidak ada kaitannya dengan Jepang. Selanjutnya, berita
proklamasi yang telah jelas itu disebarluaskan ke seluruh penduduk di Palembang
(Pemda TK I Sumsel, 1987:108).
Di
Lubuk Linggau, berita proklamasi teresbut didengar oleh para pemuda pejuang
disampaikan oleh pemuda pejuang yang datang dari Palembang pada tanggal 22
Agustus 1945 sore hari. Keeskon harinya pukul 09.00 WIB bertempat d i Lapangan Merdeka Lubuk Linggau telah
didakan penyerahan kekuasaan dari pemerintah Jepang yang diwakili oelh
Bunsyu-co Sewada kepada pemerintah RI di Lubuk Linggau yang diwakili oleh Raden
Ahmad Abusamah disaksikan beberapa tokoh pemuda antara lain: dr. Soefaat,
Zaikadir, Ki Agus Anwar, Noersaman, Pangeran Ramitan, Nawawi Ramitan, Demang
Ahmad dan lain-lain (Pemda TK II MURA dalam Kirana, 197:45).
Mendegar
berita prokalamsi tersebut, amsyrakat di Musi Rawas meras gembira, terutama
para pemuda pejuangnya. Dengan gembira mereka bersama rakyat bersorak-sorak di
jalan dengan mengumandangkan pekik ”merdeka”. Di pelosok-pelosok kampung
terdengar pekiki ”merdeka”. Rakyat Musi Rawas merasa dengan berakhirnya
penjajahan berarti berakhir pula penderitaan mereka sebagi bangsa terjajah.
Dalam menanggapi berita proklamasi kemerdekaan tersebut, tidak semua rakyat
Musi Rawas menyambut gembura. Segolongan kecil masyarakat ada yang kurang
senang, sebab dengan berakhirnya penjajahan berarti berakhir pula kesenangan
dankemewahan yang mereka dapat. Umumnya mereka ini tergolong orang yang bekerja
sama dengan Belanda (kaki tangan Belanda) untuk kepentingan pribadi. Selain itu
pula sebagian kecil masyrakat yang bersikap baisa-biasa saja, sebab kemerdekaan
tidak begitu berpengaruh pada kehidupan mereka (Pemda TK II MURA dalam Kirana,
1997:46).
2. 2. Lahirnya Badan Keaman Rakyat (BKR) dan Proses Pembentukan Komite
Nasional Daerah (KNID)
2. 2. 1. Proses Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR)
Teori politik negara menurut Max weber negara
merupakan satu-satunya lembaga yang berhak mengatur negara dan warga negaranya
(Budiman, 1996:14).
Tanggal 18 Agustus 1945 negara Republik Indonesia resmi berdiri seperti
tercantu, dalam Undang-Undang Dasar. Para pemimpin memikirkan pembentukan badan yang berfungsi sebagai alat
pembela negara. Berakitan dengan itu maka tanggal 19 Agustus 1945, PPKI
mengdakan sidang dan mengambil keputusan untuk membentuk tentara kebangsaan
sebagi barisan pertahan. Tetapi pada sidang tanggal 22 Agustus 1945 rencana
tersebut diubah dan diganti dengan membentuk Badan Penjaga Keaman Rakyat
(BPKR). Perubahan badan keamanan tersebut karena berdasarkan pertimbangan
politis. Keeskon harinya tanggal 23 Agustus 1945 dikeluarkan instruksi presiden
yang ditujukan kepada seluruh daerah-daerah di wilayah RI untuk membentuk Badan
Keamanan Rakyat (Notosusanto dan MD Poesponegoro, 1984:100).
Dengan
dikeluarkannya instruksi teresbut maka Dr. A. K. Gani segera mengambil tindakan
dengan memanggil para pemuda eks gyugun dan utusan-utusan dari daerah di
seluruh Sumatera Selatan agar berkumpul di kota Palembang untuk membicarakab langkah-langkah
yang akan ditempuh. Rapat antara tokoh-tokoh nasionalis
daerah Sumatera Selatan itu diadakan tanggal 22 Agustus dan 23 Agustus 1945. Rapat
ini menghasilkan dua keputusan yaitu: pertama adalah tindakan untuk segera
mengambil alih kekuasaan dalam pemerintah, yang kedua akan membentuk Badan
Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR).
Setelah rapat yang dilakukan di rumah dr. A.K.
Gani pada tanggal 22 dan 23 Agustus 1945 selesao, maka tindak lanjut yang
sering dilakukan para pemimpin tesebut menyusun konsepsi pemerintahan bansa
Indonesia pada hari itu juga. Nama-nama orang yang akan duduk dalam
pemerintahan di keresidenan Palembang terpilih dr. A.K. Gani dan wakilnya
diangkatlah Abdul Rozak (Kempen RI SumSel, 1954:36).
BPKR
di wilayah keresidenan Palembang diresmikan pada tanggal 4 September 1945.
Sebagai ketua BPKR adalah Hasan Kasim dan wakilnya Mohammad Arief. Tugas pokok
dari BPKR adalah membantu pejabat kepolisian dalam menjaga kemanan dan
ketertiban masyarakat. Usia BPKR ini
tidak alam, pada tanggal 13 September 1945 diubah namanya menjadi BKR.
Seusai
dengan instruksi presiden RI tanggal 23 Agustus 1945 untuk membentuk Badan
Keamanan Rakyat di seluruh wilayah RI, maka di Lubuk Linggau Kabupaten Musi
Rawas membentuk juga organisasi keamanan yang disebut BKR (Badan Keamanan
Rakyat). Pembentukan BKR di Musi Rawas ini dipelopori oleh pemuda-pemuda eks
Gyugun dan Heiho yang telah mendapat pendidikan militer Jepang. Setelah Gyugun
dan Heiho dibubarkan berkaitan dengan penyerahan Jepang pada Sekutu, maka pemuda-pemuda
eks Gyugun dan Heiho yang telah kembali ke kampung halaman masing-masing,
sesuai instruksi dari pemerintahan pusat RI dari Palembang masing-masing Marga
kewedanan Musi ulu dihimpun dan dimobilisir untuk memperkuat pasukan BKR. Para
pemuda-pemuda yang semula menjadi BPRI (Badan Pelopor RI) diseleksi dan
dijadikan anggota BKR.
Tokoh-tokoh
BKR untuk kewedanan Rawas:
§ Tokoh-tokoh BKR untuk kewedanan Rawas:
H. Hasan, M. Yusuf, M. Tohir, Lambun, M. Toha, Ibrahim, M.
Zaini, A. Hamid, Z. Alwi Efendi dan lain-lain.
§ Kewedanan Musi Ulu:
Kapten Sulaiman Amin, Letnan M. Zohir, Kapten Saihusin,
Mansyur Remayang, Beluluk, Ali Kuang dari BPRI Lubuk Linggau dan lain-lain.
§ Kewedanan Muara Beliti:
Kapten Sulaimam Amin, Letnan Zakaria Amin, Lettu Noer
Amin, Mahmdu Amin, Oemar Hassan, Deradjat Mantap, Sersan Adenan Kuris.
§ Kewedanan Muara Kelingi:
H. Djoened, Ali Abu Bakar, Said, H. Abu Kosim, Tap Iman
dan lain.
§ Kewedanan Lakitan:
Mo. Agem, Moh. Rus, H. Hisom dan lain-lain.
Selain badan-badam tersebut di atas terbentuk pula BPRI
di Palembang bulan September 1945, lalu diikuti Musi Rawas, menyusul pula
badan-badan sperti: Napindo, Pasindo, Hisbullah, Sabilillah dan lain-lain.
Timbulnya beberapa organisasi pemuda ini sebagai cerminan spontanitas semangat
juang yang tinggi dari para pemuda waktu itu untu menggalang persatuan dan
kekutan dalam meneruskan perjuangan (Pemda TK II MURA dalam Kirana, 1997:50).
2. 2. 2. Proses
Pembentukan Komite Nasional Daerah (KNID)
Setelah proklamasi
kemerdekaan RI tersiar ke seluruh dunia lewat radio maupun atas upaya para
pemuda, maka para pemimpin di Jakarta
disibukkan dengan menyusun tatanan kehdiupan kenegaraan. Hasil rapat PPKI yang
diadakan pada tanggal 18 Agustus 1945 selain mengesahkan Undang-Undang Dasar
1945 sert amengangkat presiden sementara waktu dibantu oleh Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) (Pemda TK I SumSel, 1987:139).
Ketika datang
instruksi dari pusat (Jakarta) agar masing-masing daerah di seluruh nusantara
melaksanakan pemindahan kekuasaan serta membentuk Komite Nasional Indonesia
Daerah sesuai dengan petunjuk dari pusat, maka pada tanggal 3 September 1945
ditetapkan berdirinya KNI Keresidenan Palembang. KNI diketuai oleh Dr. M. Isa,
sedangkan wakilnya adalah Abdul Saleh Matjik, Nungtjik AR sebagai sekretaris,
Hamid Husin sebagai wakil sekretaris dan Agus Rahman sebagai bendahara (Kempen
RI, 1954:39).
Tugas pokok dari
KNI ini adalah membantu pemerintah daerah atau residen dalam menyelenggarakan pemerintahan
umum serta bersama-sama residen melaksanakan pengambil alihan kekuasaaan
pemerintah dari tangan Jepang. Setiap anggota KNI juga bertugas untuk menysusun
organisasi perjuangan dan jika perlu menjabat berbagai pimpinan dalam instansi
(Pemda TK I SumSel, 1987:149).
Terbentuknya KNI di
kota Palembang
selanjutnya diikuti oleh pembentukan KNI di kewedanan-kewedanan dalam wilayah
keresidenan Palembang.
Komite Nasional Indonesia daerah di Musi Rawas dibentuk bulan September 1945
setelah di ibu kota
keresidenan terbentuk. Keanggotaan KNI terdiri dari pemuda-pemuda eks Gyugun, Pamong
Praja, Pegawai Negeri dan Pamong Marga (Pesirah Kepala Marga).
Termasuklah semua
pesirah, pegawai negeri, yang terdapat di kewedanan Musi Ulu dan Rawas yang
baru dapat dilaksanakan masih sangat terbatas sekali, antara lain pengsusulan
pergantian jabatan Kewedanan dari R. Ahmad Abusamah ke kantor residen
Palembang, kedua menyerukan kepada rakyat di Musi Rawas untuk patuh dan setia
kepada pemerintah RI, serta menggalang persatuan dan kesatuan untuk bahu
membahu dalam melanjutkan perjuangan. Perjuangan selanjutnya menyelenggarakan
pemerintah RI masih darurat (Pemda TK II MURA dalam Kirana, 1997:8).
2. 2. 3. Perebutan Senjata Jepang oleh Rakyat Musi Rawas
Masa pendudukan Jepang di Indoensia, rakyat sangat
menderita. kemelaratan dan kemiskinan merajalela. Disamping kerja paksa, para
pemuda dan pemudinya dilatih oleh Jepang untuk menjadi anggota militer Jepang.
Hal ini dilakukan Jepang untuk menambah kekuatan pasukannya dalam menghadapi
Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya. Masa pendudukan Jepang bangsa Indonesia
lebih menderita dibandingkan pada masa pendudukan Belanda. Selama pemerintahan
fasisme Jepang rakyat di Kewedanan Musi Rawas sangat menderita dan tertekan
sekali akibat penindasan fasisme Jepang dalam mengarahkan segala daya dan
tenaga yang ada untuk memperkaut perlawanan terhadap sekutu. Dengan semboyan
”Indonesia sama-sama Nippon bekerja sama untuk Dai Toa Serso dan kemerdekaan
bersama Asia Timur Raya.
Kekejaman tenatar Jepang terhadap rakyat Indonesia umunya, dan Musi Rawas
khusunya di latar belakangi oleh Perang Asia Timur Raya. Dalam situasi perang
yang sangat kritis bagi Jepang tahun 1944 itu, Jepang telah memaksa segenap
perhatian rakyat pada peperangan yang sedang dihadapi. Rakyat dikerahkan untuk
membangun prsasarana perang seperti: membuat jembatan, lapangan udara,
lubang-lubang pertahanan, goa-goa, benteng pertahanan, terowongan dan
lain-lain. Disamping itu Jepang menciptakan kerja paksa yang dikenal dengan
nama “Kuli BPP (Badan Pembantu Pemerintah)”. Ada pula yang dikirim untuk ikut berperang.
Hingga menjelang akhir kekuasaan Jepang di daerah ini, rakyat Musi Rawas
mengalami kesengsaraan dan penderitaan yang menyedihkan. Kemarahan dan
kebencian rakyat ini dinyatakan dengan perlawanan dan pemberontakan terhadap
tentara Jepang. para pejuang merampas senjata Jepang dan membunuh para opsir
Jepang.
Rencana penyerangan
terhadap tentaar Jepang dan merebut senajta Jepang di Lubuk Linggau, bertepatan
pula dengan adanya kunjungan panglima Emir Muhammad Noor di akhir bulan Oktober
tahun 1945 yang mengadakan perjalanan ke daerah-daerah di Suamtera Selatan
untuk menaikkan semangat juang rakyat melawan pendudukan Jepang. Pengaruh
perjalanan Emir Mohammad Noor ini sangatlah besar. Ini terlihat dari timbulnya
pemberontakan-pemberontakan dan penyerangan atas pangkalan-pangkalan militer
Jepang seperti di daerah Kepahyang yang mengakibatkan gugurnya masyor Santoso,
daerah Pagar Alam mengakibatkan gugurnya mayor Ruslan dan berbagai daerah
lainnya dengan tujuan merebut senjata Jepang (Subkoss MURA dalam Kirana,
1997:55).
Di kota Lubuk Linggau sekitar bulan
Desember 1945 terjadi bentrokan-bentrokan antara rakyat dengan tenatar Jepang. Terjadinya
bentrokan ini disebabkan Jepang menangkap beberapa pemuka masyrakat Lubuk
Linggau seperti:pangeran Amin, pangeran Ramitan dan pangeran Mantao. Tindakan
penangkapan pemuka masyarakat tersebut karena tentara Jepang menjadi penasaran
atas kegiatan pemuda-pemuda pejuang dari BPRI dan TKR dari Marga T.P. Kepungut
dan Marga Proatin V yang oleh tentara Jepang dicurigai telah melakukan kegiatan
pencurian senjata Jepang dan penculikan serdadu Jepang yang mengawasi wilayah
kelapa sawit di Air Msat Taba Pingin.
Sehubungan
dengan tanggung jawab pemerintah Jepang menurunkan bendera merah putih di Lubuk
Linggau. Penurunan bendera merah putih itu atas suruhan sekutu. Melihat
peristiwa itu meluaplah amarah rakyat Musi Rawas. Semangat rakyat waktu itu
meluap-luap, berkobar-kobar membenci dan mengutuk tindakan Jepang.
Setelah
peristiwa-peristiwa tersebut di atas maka direncanakanlah penyerangan terhadap
Jepang oleh rakyat Musi Rawas. Para pejuang Rawas Ulu yang telah terkoordinir
dengan kedatangan panglima Emir Muhammad Noor ke Sarolangun bulan Oktober siap
untuk bertempur dengan Jepang. Rencana penyerangan tentara Jepang di Lubuk
Linggau ditetapkan pada tanggal 29 Desember 1945. Beratus-ratus rakyat dan
warga masyarakat dengan penuh semangat mendaftarkan diri untuk ikut dalam
pertempuran tersebut, termasuk suku anak dalam.
Pemyerangan
terhadap tentara Jepang ini direncanakan secara serentak oleh rakya Musi Rawas
dari berbagai jurusan. Rencananya yaitu dari Muara Beliti, Muara Kelingi dan
Muara Kati dipimpin oleh Letnan Zakaria Amin, Ali Abu Bakar, Letnan Nur Amin,
Tap Iman dan Mahmud Amin. Tebing Tinggi yang dipimpin oleh Kapten Zainal Abidin
Ning. Dari jurusan Rawas, Muara Rapit, dan Selangit dipimpin oleh Kapten Hasan,
H. Tohir, Yusuf Cholidi, H. Kodar, Pesirah M. Sani dari Selangit, dan Matsyah
dari Lesung Batu Rawas. Dalam kota Lubuk Linggau sendiri dipimpin oleh Kapten
Sai Husin dan dibantu oleh Ali Kuang, Belulu, Mansyur Reamayang dan lain-lain.
Pasukan
berangkat dari desa Selangit pukul 22.30 dan tiba di dusun Megang pada pukul
06.00. Walaupun pasukan ini terlambat tiba di dusun Megang dari rencana yang
telah ditetapkan, rencana penyerangan tersebut ditetapkan pukul 05.00 tetapi
pasukan yang sudah berapi-api semangat tempurnya tetap bertekad ingin
meneruskan perjalanan penyerangan di pagi tanggal 29 Desember 1945 (Pemda TK II
MURA dalam Kirana, 1997:59).
Meskipun
pasukan TKR dan rakyat Musi Rawas menyerang dengan senjata minim dan sangat
tidak seimbang dibadingkan kekuatan yang ada pada pihak Jepang. Namun dengan
semangat patriotisme yang heroik pasukan TKR menewaskan cukup banyak tentara
Jepang sebelum mereka dapat menyusun dan mengatur perlawanan. Pertempuran
dengan tentara Jepang itu berlangsung satu hari satu malam lamanya.
Setelah
terjadinya peristiwa tersebut pemerintah daerah diLubuk Linggau mengadakan
perundingan dengan Jepang. Dari Palembang diutsu Kolonel M. Simbolom, Kolonel
Hasan Kasim, Kolonel N. S. Effendi dan Letnan Suprapto (dari kemiliteran).
Sedangkan dari kepolisian diutus Mayor Zen dan R. M. Mursodo Dari Lubuk Linggau
sendiri yang hadir adalah Kapten Sai Husin, Kapten Sulaiman Amun, H. Kodar,
Yusuf Cholidi, H. M. Tohir dan seluruh aparat kepollisian. Hasil perundingan
adalah sebagai berikut:
Halo kak, bsa tnya² ga ttg cerita perebutan senjata Jepang di Musi Rawas. Sya Berlian kak kbtulan dri Museum Subkoss, sbab lg mw mengumpulkan narasi sejarah ttg Musi Rawas kak.
BalasHapus