Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi
Kerajaan-Kerajaan
Islam di Sulawesi - Di daerah Sulawesi juga tumbuh kerajaan-kerajaan
bercorak Islam. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari
perdagangan yang berlangsung ketika itu. Berikut ini adalah beberapa kerajaan
Islam di Sulawesi di antaranya Gowa Tallo, Bone, Wajo dan Sopeng, dan Kesultanan
Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yang terkenal antara lain Kerajaan
Gowa Tallo.
Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Gowa Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering
berperang dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone,
Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo ditaklukan oleh
Kerajaan Gowa Tallo. Kemudian Kerajaan Wajo menjadi daerah taklukan Gowa
menurut Hikayat Wajo. Dalam serangan terhadap Kerajaan Gowa Tallo Karaeng Gowa
meninggal dan seorang lagi terbunuh sekitar pada 1565. Ketiga kerajaan Bone,
Wajo, dan Soppeng mengadakan persatuan untuk mempertahankan kemerdekaannya yang
disebut perjanjian Tellumpocco, sekitar 1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai
kerajaan bercorak Islam pada 1605, maka Gowa meluaskan pengaruh politiknya, agar
kerajaan-kerajaan lainnya juga memeluk Islam dan tunduk kepada Kerajaan Gowa
Tallo. Kerajaan-kerajaan yang tunduk kepada kerajaan Gowa Tallo antara lain
Wajo pada 10 Mei 1610, dan Bone pada 23 Nopember 1611. Di daerah Sulawesi Selatan
proses Islamisasi makin mantap dengan adanya para mubalig yang disebut Datto Tallu
(Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri
Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad
alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari Kolo Tengah, Minangkabau.
Para mubalig itulah yang mengislamkan Raja Luwu yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng
Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari
1605 M). Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari
Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat
pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar
Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’rangi Daeng Manrabbia
mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M.
Perkembangan agama Islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat
sebaikbaiknya bahkan ajaran sufisme Khalwatiyah dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga
tersebar di Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17. Karena
banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa maka ia meninggalkan Sulawesi Selatan
dan pergi ke Banten. Di Banten ia terima oleh Sultan Ageng Tirtayasa bahkan
dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti di Kesultanan Banten.
Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang sejarah
perjuangan Sultan Hasanuddin dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya
penjajahan politik dan ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VOC tidak menaruh
perhatian terhadap Kerajaan Gowa Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam
bidang perdagangan. Setelah kapal Portugis yang dirampas oleh VOC pada masa Gubernur
Jendral J. P. Coen di dekat perairan Malaka ternyata di kapal tersebut ada orang
Makassar. Dari orang Makassar itulah ia mendapat berita tentang pentingnya
pelabuhan Sombaopu sebagai pelabuhan transit terutama untuk mendatangkan
rempah-rempah dari Maluku. Pada 1634 VOC memblokir Kerajaan Gowa tetapi tidak
berhasil. Peristiwa peperangan dari waktu ke waktu berjalan terus dan baru berhenti
antara 1637-1638. Tetapi perjanjian damai itu tidak kekal karena pada 1638
terjadi perampokan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu cendana, dan muatannya
tersebut telah dijual kepada orang Portugis. Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti
setelah terjadi perjanjian Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa
Tallo.
0 komentar: