Pengaruh Revolusi Industri di Indonesia
Pengaruh Revolusi Industri di Indonesia - Revolusi industri
yang terjadi di Eropa berhasil mendorong terjadinya perubahanperubahan dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi
kehidupan masyarakat Eropa, akan tetapi juga masyarakat di belahan dunia lainnya,
termasuk Indonesia. Apalagi dengan perubahan paradigma filsafat yang diterapkan
oleh imperialisme Barat pada saat itu. Daerah jajahan tidak hanya merupakan
daerah taklukan saja tetapi fungsinya lebih diberdayakan dari sekedar daerah
penghasil bahan baku dan pemasaran hasil industri, tetapi juga secara aktif
dijadikan sebagai tempat penanaman modal (investasi).
Selain karena desakan kebutuhan aman yang menuntut
diikutinya arus revolusi industri, muncul pula kritikan dari kaum humanis dan
demokrat di negeri Belanda tentang pemberlakuan sistem tanam paksa di
Indonesia. Desakandesakan tersebut pada akhirnya mendorong untuk dihapuskannya
sistem tanam paksa pada tahun 1870. Sebagai penggantinya, diterapkanlah sistem
ekonomi terbuka di Hindia Belanda. Dengan sistem ekonomi tersebut, dimulailah
aman liberalisasi dalam perekonomian Indonesia yang ditandai dengan derasnya arus
pemasukan modal yang ditanamkan oleh pengusaha-pengusaha asing.
Sistem ekonomi terbuka memungkinkankan siapa saja dapat
menanamkan modalnya di Indonesia, tidak hanya orang-orang Belanda saja.
Akibatnya, pengusaha-pengusaha di luar Belanda seperti Inggris, Perancis,
Belgia, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang turut menanamkan modalnya di
Indonesia. Tentu saja penanaman modal tersebut dilandasi dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Kondisi ini pada akhirnya menciptakan
cara baru dalam hal penindasan dan pengisapan bangsa Indonesia. Kalau dulu yang
melakukan penindasan adalah orang-orang Belanda maka pada masa ini Indonesia
dieksploitasi oleh kaum swasta dan para kapitalis asing lainnya. Penanaman
modal di Indonesia, sebagian besar diarahkan untuk pembangunan
perkebunan-perkebunan yang dapat menghasilkan komoditi yang diperlukan bagi
bahan dasar industri. Lalu dibangunlah perkebunanperkebunan yang sebagian besar
dibangun di daerah Jawa dan Sumatera.
Pembangunan perkebunan ini membutuhkan tenaga kerja yang
akan digunakan untuk mengurus perkebunan. Dengan demikian, banyak penduduk yang
diangkat menjadi tenaga kerja perkebunan, bahkan untuk perkebunan di Sumatera diangkat
tenaga kerja yang berasal dari Jawa. Terjadilan arus transmigrasi dari pulau
Jawa ke Sumatera yang dilakukan secara paksa. Bahkan ada di antara orang-orang
Jawa ini yang dikirim ke daerah Madagaskar dan Suriname. Eksploitasi yang
dilakukan oleh para kapitalis terhadap penduduk Indonesia dilakukan dengan gaya
baru. Para pekerja dipaksa untuk bekerja di perkebunan-perkebunan dengan upah
yang sangat minim dengan beban kerja yang sangat tinggi. Mereka tidak bisa
menghindar dari ketentuan tersebut karena mereka terikat kontrak kerja. Pada
tahun 1881, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang Koelie
Ordonantie yang mengatur para pekerja. Berdasarkan undang-undang tersebut, para
kuli bekerja sesuai dengan kontrak. Bagi mereka yang melanggar ketentuan
tersebut akan dijatuhkan hukuman berupa poenale sanctie. Para pengusaha
diberikan kewenangan dan hak yang besar untuk memperlakukan dan menjatuhkan hukuman
para pekerja sesuai dengan keinginannya. Untuk mendukung program perkebunan
tersebut, pemerintah colonial Hindia Belanda membangun berbagai prasarana,
seperti irigasi, waduk, jalan raya, jalan kereta api, serta pelabuhan-pelabuhan.
Pembangunan sarana-sarana tersebut seringkali memakan korban jiwa yang sangat
banyak dari penduduk Indonesia karena mereka dipekerjakan secara paksa. Akan
tetapi dengan pembangunan prasarana tersebut, terutama pembangunan jaringan
jalan raya telah menimbulkan pengaruh bagi tumbuhnya mobilitas penduduk.
Pembangunan jalan raya dan kereta api memungkinkan pertumbuhan dan hubungan
antarkota secara cepat. Dampaknya adalah lahirnya kota-kota baru di daerah
pedalaman seperti Malang, Bandung, Sukabumi, dan sebagainya. Lahirnya kota-kota
baru tersebut memicu pertumbuhan urbanisasi yaitu gerak perpindahan penduduk dari
desa ke kota.
Sementara itu, gerakan-gerakan humanis yang berkembang di
negeri Belanda mendorong diberlakukannya politik balas budi terhadap bangsa Indonesia.
Salah satu politik balas budi tersebut adalah program yang dikemukakan oleh Mr.
C. Th. Van Deventer. Gagasannya yang diterbitkan oleh majalah de Gids pada
tahun 1899 memaparkan perlunya bangsa Belanda melakukan balas budi terhadap
Indonesia. Balas budi dilakukan dengan jalan membantu bangsa Indonesia untuk
mencerdaskan dan memakmurkan rakyatnya. Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan
untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu:
1. memajukan pengajaran (edukasi);
2. memperbaiki pengairan (irigasi);
3. melakukan perpindahan penduduk (transmigrasi).
Ide yang dikemukakan oleh van Deventer ini kemudian lebih
dikenal dengan politik etis. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang
akhirnya politik etis ini mulai dijalankan di Indonesia menurut tafsiran dan
kemauan pemerintah kolonial Belanda. Program pendidikan tidak ditujukan untuk mencerdaskan
bangsa Indonesia, tetapi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga
administrasi rendahan yang akan ditempatkan di industri-industri perkebunan.
Program irigasi tidak diarahkan untuk peningkatan pertanian penduduk Indonesia,
tetapi diarahkan untuk menunjang perkebunan-perkebunan milik para kapitalis.
Sementara itu, program transmigrasi bukan diarahkan untuk pemerataan penduduk
dan peningkatan kualitas hidup penduduk Indonesia, melainkan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan milik Belanda. Lambat laun
program politik etis ini memberikan manfaat yang sangat besar bagi bangsa
Indonesia, terutama dalam hal program pendidikan (edukasi). Program pendidikan
yang awalnya ditujukan untuk menghasilkan tenaga administratif rendahan, pada
akhirnya semakin berkembang. Tidak hanya jenjang pendidikan semakin tinggi,
tetapi juga menjangkau spesialisasi bidang pendidikan lainnya seperti
kedokteran, keguruan, teknik, pertanian, dan sebagainya. Dengan demikian,
masyarakat Indonesia semakin mengenal pola pendidikan Barat.
Pendidikan Barat yang diberikan oleh Belanda pada umumnya
hanya diperoleh masyarakat Indonesia yang berasal dari kelas bangsawan atau
priyayi. Secara umum yang mempergunakan kesempatan ini ialah mereka yang
berasal dari golongan priyayi kelas rendahan. Pada akhirnya dengan semakin berkembangnya
pendidikan Barat akan mengubah struktur masyarakat Indonesia. Muncullah
golongan baru dalam masyarakat Indonesia yang oleh seorang sejarawan, Sartono
Kartodirdjo, disebut sebagai homines novi. Kelompok masyarakat ini adalah
kelompok masyarakat baru yang lahir karena pendidikan Barat yang mereka terima.
Lambat laun, golongan ini telah menggeser kedudukan kelas-kelas priyayi atas
lainnya yang tidak berpendidikan Barat. Apalagi setelah Belanda memberlakukan
peraturan bahwa pejabat-pejabat yang akan memegang jabatan pemerintahan harus
memiliki ija ah pendidikan Barat, sehingga tertutuplah jalan kelas priyayi
tersebut dari jabatan-jabatan yang sebelumnya mereka peroleh dengan cara
turun-temurun. Hal ini pada akhirnya menghapuskan sistem feodalisme yang selama
ini sangat kental berlaku dalam pola hubungan antara priyayi dan rakyat jelata.
Perubahan yang sangat penting terjadi dalam struktur
masyarakat Indonesia pada saat itu adalah dengan munculnya gerakan-gerakan
emansipasi wanita. Gerakan-gerakan ini dipelopori oleh tokoh-tokoh perempuan,
seperti Raden Ajeng Kartini dan Raden Dewi Sartika. Gerakan emansipasi yang
dikembangkan oleh kedua tokoh perempuan ini berusaha untuk menempatkan
perempuan pada posisi sesungguhnya yang memiliki hak dan derajat yang sejajar
dengan kaum laki-laki. Pada masa sebelumnya, kedudukan perempuan sangat rendah dan
menjadi kelas kedua di bawah kaum laki-laki. Pengenalan masyarakat Indonesia
dengan pendidikan Barat semakin membuka cakrawala mereka tentang nasib
bangsanya. Kemampuan mereka untuk membaca hasil-hasil pemikiran yang berkembang
di Barat secara langsung menumbuhkan kesadaran tentang nasib bangsanya yang
sedang mengalami penjajahan.
Perkembangan paham-paham baru seperti nasionalisme, demokrasi, liberalisme, sosialisme serta penegakan hak-hak asasi manusia menumbuhkan keinginan untuk mendobrak kondisi pada saat itu dengan cara menegakkan kemerdekaan bagi bangsanya. Kita akan lihat bahwa munculnya organisasiorganisasi pergerakan nasional pada tahun 1908 dipelopori oleh golongan cendekiawan nasionalis, seperti Wahidin Sudirohusodo, Sutomo, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lain adalah orang-orang nasionalis yang mendapatkan pencerahan sebagai akibat proses pendidikan Barat yang mereka terima. Dengan kata lain, tidak akan muncul organisasi pergerakan nasional apabila tidak diawali dengan penerapan pendidikan Barat yang mereka terima pada saat itu.
0 komentar: