FLUAKTIF HUBUNGAN INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DARI MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN SAMPAI SEKARANG

1. Hubungan Masa Perjuangan Kemerdekaan
Pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942, dibentuk pemerintah kolonial Belanda dalam pengasingan di Australia. Sebagai anggota Sekutu pemerintah pengasingan ini mendapatkan kekuasaan ekstrateritorial serta dibantu oleh pemerintah Australia. Pada masa ini banyak pengungsi Indonesia yang berkumpul di Australia, diantara pengungsi itu terdapat pelaut dan pramugara Indonesia dari kapal-kapal Belanda, tentara Indonesia dari angkatan bersenjata Belanda serta petugas kesehatan.
            Bersamaan dengan terbentuknya pemerintah Belanda banyak melakukan pengiriman orang-orang Indonesia dan keluarganya yang menjadi tahanan politik Belanda, mereka mendapat perlakuan yang kurang baik dari Belanda. Perlakuan Belanda tersebut banyak mendapat simpati masyarakat Australia khsusnya anggota serikat buruh kereta api. Bahkan tahun 1943 Australia memaksa Belanda membebaskan tawanan eks-Digulis itu. Mereka dipekerjakan din lembaga sipil dan militer Belanda dan Australia di Australia. Mereka ini dapat menjalin hubungan baik dengan orang-orang Autralia terutama yang menetang kolonialisme seperti serikat-serikat buruh, partai komunis Australia, partai buruh dan organissi-organisasi lainnya untuk memperjuangkan republik merdeka. Berkat bantuan serikat buruh Australia, buruh-buruh yang bekerja pada Belanda melakukan pemogokan luas di Australia sehingga Belanda memperhatikan kaum buruh ini. Serikat-serikat Buruh Australia ini mendukung orang kuat Indonesia dalam melawan Belanda.
            Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, tentara Autralia diberi tanggung jawab menduduki seluruh Indonesia bagian timur dan Kalimantan dengan tugas memulihkan kolonialisme Belanda, tetapi di lapangan mereka sangat bersimpati kepada penduduk sehingga penduduk sangat menyukai tentara Autralia. Banyak prajurit Australia menganggap orang Indonesia sebagai rakyat yang tertindas sehingga mereka mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan rakyat Indonesia di Sulawesi dan Kalimantan dibantu tentara Autralia melawan NICA Belanda, sehngga sebagian rakyat menyadari bahwa Australia tidak suka terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia.
            Kekalahan Jepang terhadap Sekutu 1945 yang diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Pemerintah Australia segera mengeluarkan pernyataan resmi negaranya mendukung kemerdekaan RI, dan masyarakat Australia juga memberikan dukungan seperti ditulis oleh The Tribune. Serikat buruh Autalia pun memberikan dukungan kuat terhadap RI, pada tanggal 24 Agustus 1945 pelaut Indonesia dan buruh pelabuhan Autralia memboikot kapal-kapal Belanda akan menuju Indonesia yang sedang berlabuh di Australia. Pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda ini berulang kali dilakukan karena didukung oleh pemerintah Australia, sehingga meambah semnagat orang Indonesia di Australia menetang kedatangan kembali penjajah Belanda di        Indonesia.
            Di forum inernasional Australia juga ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hal ini merupakan wujud perhatian politik luar negeri pemerintahan Chifley. Wakil Australia di PBB Sir. Richard Kirby dan wakilnya Tom Critchley memberikat perhatian untu Indonesia di PBB. Bahkan Menlu Evatt pada kahir tahun 1945 membuat rencana akan menjadi perantara antara Indonesia dan Belanda. Pada bulan Juni A.D. Brooks membawa permasalahan  Indonesia ke forum PBB. Pada bulan Oktober 1945, Pemerintah Indonesia mulai memulangkan orang-orang Indonesia ke beberapa daerah di Indonesia yang dikuasai oleh tentara Republik, meskipun usaha ini ditentang oleh Belanda.
2. Masa Pemerintahan Soekarno
            Hubungan antara Indonesia dengan Australia pada tahun 1945-1950 sangat kuat. Pada saat itu, Australia mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Pada awal usaha mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda melalui perundingan yang dirangkum dalam perwakilan tiga negara, Indonesia menunjuk Australia sebagai mediator dalam perundingan. Australia membantu para pejuang nasionalis Indonesia dalam perjuangan mereka mencapai kemerdekaan. Pada tahun 1947, Indonesia meminta Australia untuk mewakili Indonesia dalam Komisi Tiga Negara yang diusahakan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Australia mewakili Indonesia dalam perundingan-perundingan yang menuju ke pengakuan Belanda terhadap Indonesia pada tahun 1949. Australia juga mensponsori masuknya Indonesia ke PBB pada tahun 1950. Australia dan Indonesia tetap menjaga hubungan baik sejak saat itu. Namun, terdapat juga beberapa perbedaan pendapat. Salah satu perbedaan tersebut berkenaan dengan perselisihan yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan Belanda atas Nugini Barat (Irian Jaya sekarang).
2. 1. Masa Perjuangan Irian Barat
            Perjalanan hubungan Indonesia dan Australia pertama kali ditandai pada masa perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan. Pada masa kepresidenan Soekarno, Indonesia menjalankan politik luar negeri yang militan dalam usaha menggalakkan kampanye pembebasan Irian Barat, hubungan diplomatik keduanya pun dinilai dingin (Suryadinata, 1998,p115.).
            Pada tahun 1949, terjadi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Akan tetapi muncul isu Belanda tidak berniat melepaskan Irian Barat. Sebaliknya Soekarno bersikeras ingin menjadikan Irian Barat masuk dalam Indonesia karena Irian Barat bekas jajahan Belanda. Pada poin ini, hubungan antara Indonesia dengan Australia merenggang karena Australia mendukung Belanda. Australia dibawah pemerintahan Menzies Australia melihat tindakan Soekarno sebagai ekspansi teritori yang dikawatirkan menjadi ancaman keamanan Australia (Suryadinata, 1998).
            Pada tahun 1961, sikap Australia terhadap Indonesia perlahan-lahan melunak. Bila terjadi perjanjian yang damai dan sah antara Indonesia dengan belanda tentang masa depan Irian Barat, maka Australia akan menyetujui keputusan tersebut. Kemudian pada tahun itu pula menteri luar negeri Australia Barwick menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi Australia untuk takut terhadap klaim Indonesia atas irian Barat. Barwick juga mengubah haluan Australia yang kemudian mendukung Indonesia asal semua berjalan dengan damai. Menzies sepakat dengan Barwick dan setuju atas kontrol Indonesia terhadap Irian Barat walaupun banyak dikritik oleh opini publik. Pertimbangan Australia mendukung Indonesia adalah karena kerjasama dengan Indonesia akan lebih menguntungkan dari pada dengan Belanda, Australia ingin menghindari peperangan dengan negara tetangga terdekat dan persepsi tentang Indonesia. Masalah tersebut di atas menimbulkan ketegangan terhadap hubungan antara Australia dan Indonesia. Akhirnya dirundingkanlah penyelesaian pada tahun 1962, dengan bantuan PBB, dan Irian Jaya menjadi propinsi Indonesia yang ke-26. Sejak tahun 1962, Australia telah mengakui Irian Jaya (yang sejak awal tahun 2002 disebut Papua) sebagai bagian integral dari Republik Indonesia.
2. 2. Masa Konfrontasi dengan Malaysia
Dalam periode tahun 1963-65 terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Australia dan Indonesia mempunyai pandangan yang berlainan mengenai pembentukan negara Malaysia. Daerah bekas jajahan Inggris ini meliputi Malaya, Sarawak, Sabah, dan Singapura. Namun, pada tahun 1965 Singapura keluar dari Malaysia.
Sebagai sebuah negara Persemakmuran, Malaysia mempunyai kaitan yang penting dalam hubungan militer dan pendidikan dengan Australia. Angkatan Bersenjata Australia sebelumnya telah membantu tentara Malaysia dan Inggris dalam perjuangannya melawan gerilya komunis yang aktif di Malaysia. Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno waktu itu menyebut Malaysia sebagai rezim ciptaan neo-kolonialis dan menganggapnya ancaman bagi Indonesia.
Australia waktu itu terus mendukung Malaysia dan semakin mengkhawatirkan perkembangan komunisme di Indonesia. Australia juga mengkhawatirkan adanya pendekatan konfrontasi yang digunakan Indonesia untuk menghadapi Malaysia. Akhirnya tentara Australia, yang mendukung Pemerintah Malaysia, terlibat dalam pertempuran dengan tentara Indonesia di Borneo (sekarang Kalimantan).
Masalah tersebut di atas terpecahkan dengan adanya kudeta yang gagal di Indonesia pada tahun 1965, dan dengan diangkatnya President Soeharto sebagai pemimpin. Sesudah tahun 1965 hubungan antara Australia-Indonesia mulai berkembang lagi, dan menjelang tahun 1967 Australia memberikan dana bantuan untuk membantu membangun kembali ekonomi Indonesia.
3. Masa Pemerintahan Soeharto
Masa Pemerintahan Orde Baru di Indonesia merupakan suatu masa berkembangnya hubungan antara Australia-Indonesia. Hubungan kita telah berkembang semakin luas dan semakin dalam. Pada masa pemerintahan Soeharto, yang menjadi isu dalam hubungan diplomatik Indonesia-Australia adalah Timor timur (pemberontakan Fretilin) 1974-1982, peristiwa D Jenkins yang berbuntut pertentangan dengan pers Australia 1976-1986, Timor timur II 1991, Hubungan diplomatik sepanjang 1974 antara pemerintahan Soeharto dan PM Australia, Gough Whitlam tercermin dalam sikap kooperatif Australia manakala Timor timur hendak diintegrasikan ke dalam wilayah Indonesia secara damai (Suryadinata, 1998, p.116). akan tetapi, tindakan Indonesia yang melakukan pendudukan agresif di Timor timur dikritik publik Australia dan akhirnya pemerintah Australia pun mengkritiknya di PBB. Kritik ini diyakini muncul akibat aksi invasif Indonesia yang mengakibatkan lima wartawan Australia tewas. Sejak saat itu, pers Australia gencar melakukan pemberitaan yang konfrontatif dan kritis terhadap Indonesia.
            Ketika kursi perdana menteri dipegang oleh Malcolm Fraser pada 1976. Indonesia masih kerap mendapatkan kritik tajam dari Australia, antara lain Fraser dan James Dunn, mantan konsul Australia di Timor Timur 1977. Pada 1982, hubungan diplomatik Indonesia-Australia mulai meninggalkan isu Timor Timur, ketika PM Australia, Anthony Street mengajak masyarakat Internasional untuk mulai mengesampingkan isu tersebut (Suryadinata, 1998, 118).
            Konflik pers Australia menyusul pemberitaan oleh D Jenkins (1986) mengakibatkan pembekuan hubungan Indonesia dengan Australia secara sepihak (Suryadinata, 1998, p. 118-120). Hal itu dianggap oleh pemerintah Indonesia sebagai cermin dari kemarahan dari rasa tersinggung terhadap pemberitaan yang mengungkap jaringan usaha Soeharto, singkat kata nepotisme. konflik Indonesia melawan publik pers Australia semata-mata merupakan mispersepsi yang terjadi seputar arti dan implementasi demokrasi masing-masing, yang mana demokrasi di Australia mengijinkan seluas-luasnya kebebasan pers dan berpendapat di daerahnya, sementara saat itu pemerintah Indonesia masih tertutup dari keterbukaan yang demikian yang menjadi karakter era Soeharto yang terlalu proteksionis.
            Masa Menteri Luar Negeri Ali Alatas, menggunakan pendekatan personal antara Alatas dengan PM Australia Gareth Evans, hubungan bilateral kedua negara pun melunak kembali hingga isu Timor Timur untuk kedua kalinya muncul ke permukaan di tahun 1991 (Suryadinata, 1998, p.122). Meskipun isu Timor timur tidak menghilang, peran PM Australia Paul Keating dalam menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia dinilai sangat akomodatif dan kooperatif, lebih singkat Suryadinata (1998) menjelaskan bahwa semata-mata dikarenakan adanya pergeseran kepentingan Australia terhadap isu pembangunan blok kepentingan ekonomi non-China yang memposisikan Indonesia sejajar dengan Vietnam dan Australia untuk tidak terlibat ke dalam orbit China. Kemudian hubungan baik Indonesia-Australia dengan berhasil diimplementasikan ke dalam penandatangan perjanjian seputar penghormatan keamanan kemerdekaan politik dan keutuhan wilayah kedua negara (Suryadinata, 1998, p.124).

3. 1. Wisatawan Australia memilih Indonesia

Sejak awal 1970-an Indonesia telah menjadi tujuan utama wisata bagi orang Australia. Penerbangan Garuda, Qantas, Sempati dan Merpati mengangkut penumpang dari Australia ke Indonesia dan sebaliknya. Australia telah menjadi sumber wisatawan yang penting bagi Indonesia. Bali merupakan propinsi yang paling dikenal. Ada sebuah lagu populer di Australia berjudul "I've been to Bali too" (Saya juga pernah ke Bali).
Sekarang, orang Australia mulai tertarik mengunjungi daerah-daerah lain di Indonesia. Semakin banyak yang mulai mengunjungi kota-kota, seperti Jakarta, Medan, Yogyakarta, Surabaya, Ujung Pandang dan Kupang, selain Denpasar. Kepariwisataan telah menjadi cara yang penting untuk meningkatkan pengetahuan orang Australia tentang bahasa dan budaya Indonesia.
3. 2 Kepentingan Australia di Timor-Timur
Beberapa kepentingan Australia di Timor-Timur yaitu:
1. Kepentingan Politik
Isu Timtim sejak lama telah menjadi bagian dari politik dalam negeri Australia. Suara pro dan kontra tentang kebijakan Australia terhadap Indonesia datang silih berganti. Puncaknya, pada masa PM Paul Keating kebijakan Australia terhadap Indonesia sangat dekat. Bahkan hampir-hampir dikatakan bahwa Keating itu adalah salah seorang sahabat Indonesia ditengah masyarakat Australia yang kritis terhadap kekuasaan Presiden Soeharto. Kepentingan politik Australia yang paling kentara terhadap Timtim pertama-tama adalah menghindari tidak melebarnya konflik di Timtim pada masa tahun 1970-an itumenjadi ancaman bagi wilayah Australia. Negeri Kangguru menghendaki Timtim stabil sehingga hubungan politik RI-Australia tidak terganggu. Oleh karena itu pada masa awal Australia seperti "memihak" Indonesia dengan mengakui batas-batas wilayah di daerah Timtim. Puncak pengakuan itu adalah disepakatinya pembagian Celah Timor berdasarkan ketentuan yang disepakati kedua pihak oleh Menlu Ali Alatas dan Menlu Gareth Evans. Secara eksplisit adanya pengaturan batas laut di wilayah yang kaya minyak itu menjadikan Australia negara yang pertama mengakui eksistensi Indonesia atas Timtim.
Namun dengan hadirnya PM John Howard sikap Australia berubah total. Mereka mulai menyatakan bahwa Timtim untuk jangka panjang harus merdeka. Australia mulai mengubah kebijakannya atas Timtim dengan dasar bahwa otonomi luas harus diberikan kepada Timtim sebelum merdeka penuh. Sikap ini dilandasi oleh kepentingan jangka panjang Australia terhadap Timtim dan Indonesia. Terhadap Timtim, Australia seolah-olah ingin membalas kesalahan masa lalu dengan mengakui eksistensi Indonesia di Timtim yang sampai tahun 1998 tidak diakui PBB. Australia juga menilai dengan pendekatan ke Timtim diharapkan bisa menanamkan pengaruhnya di wilayah berpenduduk 800.000 jiwa ini. Pengaruh Australia di Timtim ini seperti halnya pengaruh Australia di Papua Niugini melebarkan lingkungan pengaruh politiknya yang dianggapnya sudah layak diperbesar. Di tengah krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia, termasuk Indonesia, posisi Australia sangat menguntungkan. Krisis ekonomi tidak menyebar ke Australia sehingga ketika posisi negara Asia lemah, negeri ini berada dalam kondisi sehat baik militer, politik, maupun ekonomi. Kepentingan Australia terhadap Indonesia adalah melakukan unjuk kekuatan politik atas Timtim. Dengan intervensi militer ke Timtim, Australia mengirim pesan kepada Jakarta tentang kemampuan diplomatiknya yang berskala global. Dengan pendekatan kepada Amerika Serikat dan Eropa, Australia dapat menggolkan rencananya untuk memaksa masuk ke Timtim di bawah payung PBB.
Sikap Australia paling akhir ini dapat dilihat dari "Doktrin Howard" yang kemudian direvisi sendiri. Menurut Ismet Fanany dalam tulisannya Doktrin Howard dalam Konteks Sejarah, doktrin itu merupakan pedoman politik luar negeri Australia. Howard menjelaskan doktrinnya dalam wawancara dengan Fred Brenchley dalam majalah The Bulletin edisi 28 September 1999. Doktrin ini adalah politik regional yang bersandar pada pandangan politik internasional Australia yang ingin menjadi wakil atau 'deputy' penjaga keamanan dan perdamaian di kawasan ini. Yang dinobatkan sebagai 'ketua'-nya adalah Amerika Serikat. Dengan demikian, sasarannya adalah negara-negara Asia, termasuk Indonesia tentunya. Inti dan dasar pemikiran Doktrin Howard ini telah mengundang, berbagai reaksi dari kawasan Asia dan di Australia sendiri. Di antara inti dan dasar pemikiran tersebut; a) Australia adalah bangsa Eropa yang karenanya punya special characteristics dan occupies a special place di kawasan Asia; ciri istimewa dan memiliki tempat istimewa ini dihubungkan Howard dengan 'nilai' yang dimiliki Australia yang harus dipertahankan dan dipromosikan di kawasan ini; b) untuk menjamin kehidupan nilai yang menjadi pedoman benar/salah dalam kebijakan dan perilaku kebijakan luar negerinya di kawasan ini, Howard menunjuk Australia sebagai wakil Amerika Serikat dalam peranannya sebagai 'polisi' internasional di kawasan ini.
Terjemahannya, seperti dikatakan Greg Sheridan dalam The Australian 24 September lalu, Australia akan memasuki setiap daerah di kawasan ini, memaksakan wawasan demokrasi dan hak asasi manusia yang dianutnya, kalau perlu dengan menggunakan senjata. Di dalam wawancara dengan Brenchley dari The Bulletin itu, Howard menyebutkan peranan Australia di Timtim sebagai contoh kebijakannya.
2. Kepentingan ekonomi
Dibalik sikap Australia itu terdapat keinginan menguasai sumber minyak di perbatasan. Akses terhadap energi ini tak bisa disangkal menjadi pendorong semangat Australia campur tangan dalam menangani gejolak di Timtim pasca jajak pendapat. Minyak yang dilukiskan sangat besar kandungannya di perbatasan Timtim-Australia merupakan aset penting bagi perkembangan ekonomi masa depan negeri Kangguru. Mudrajad Kuncoro, kandidat PhD University of Melbourne, dalam diskusi 22 Oktober 1999 menjelaskan, keterlibatan Australia tak lepas dari isu klasik money and power. Ia menilai, Australia mau membantu Timtim bukan untuk membalas jasa rakyat Timtim yang pernah membantu mencegah invasi ke Australia saat Perang Dunia II, melainkan punya kepentingan bisnis yang dikemas dengan wadah humanis. Mudrajat menulis, "Kalau Australia memang pejuang hak-hak asasi manusia dan humanis tulen, hal pertama yang dilakukan sebelum terjun ke Timtim adalah meminta maaf dan memberi referendum kepada suku Aborigin yang nasibnya mirip dengan suku Indian di Amerika Serikat. Menurut Mudrajad, kesepakatan Celah Timor (Timor Gap) yang ditandatangani Indonesia-Australia tahun 1989 menyetujui pembagian 62.000 km persegi zona kerja sama menjadi tiga wilayah.
Wilayah joint development merupakan wilayah yang berada di tengah dan terbesar dimana kedua negara berhak mengontrol eksplorasi dan produksi migas. Dua zona lainnya dibagi secara tidak merata yang masing-masing negara secara terpisah diberi hak mengatur dan menguasainya. Sampai sekaran dari 41 sumur yang telah dibor di zona kerja sama, sekitar 10 ditemukan cadangan migas. Secara ekonomis, kelayakannya relatif kecil. Namun kandungan gas dan hidrokarbon tidak bisa diabaikan. Sebagai contoh, tulis Mudrajad, di ladang Bayu-Undan, ditaksir punya cadangan minyak 400 juta barel, tiga trilyun kubik gas alam dan 370 juta barel cairan (kondensat dan LPG).
Menurut Oil & Gas Joournal edisi 1999, cadangan hidrokarbon ini dinilai paling kaya di luar Timur Tengah dan merupakan ladang minyak terbesar Australia di luar selat Bass, Menurut Mudrajad, sejumlah perusahaan Amerika, Australia, Belanda sudah aktif di wilayah Celah Timor ini.Di Ladang Bayu-Undan, kerja sama perusahaan AS Phillips Petroleum Co. dan perusahaan tambang Australia, Broken Hill Propietary (BHP Ltd., mencanangkan akan beroperasi penuh mulai tahun 2002. Kabar terakhir, BHP telah menjual sahamnya di Bayu-Undan dan Elang kepada Phillips sebagai bagian dari restrukturisasi perusahaan Australia ini. Saat ini Phillips baru mencari pelanggan atas rencananya membangun jarring pipa gas bawah laut dari Bayu-Undan ke Darwin, wilayah utara Australia. Nick Beams dalam World Socialist Web Site (1999) menyebutkan pula kepentingan Australia akan minyak. Ia menyebutkan awal 1990 kepentingan Portugal bangkit kembali ke Timtim setelah ditemukan cadangan minyak yang nilainya diperkirakan antara 11 sampai 19 milyar dollar AS. Tahun 1991, Portugal mengadukan Australia ke Pengadilan Internasional karena menandatangani perjanjian Celah Timor bulan Desember 1989. Beams mengutip pernyataan Portugal yang menyebutkan, "Perjanjian itu dirancang untuk mendapatkan minyak Timtim yang melebihi kepentingan lainnya.
Hanya kerakusan (Australia) seperti itu dapat menjelaskan pengakuan secara de jure aneksasi oleh kekuatan yang memakan korban 100.000 tewas." Namun Beams juga melihat, perilaku Portugal itu juga dimotivasi oleh ketamakan serupa yang dilakukan Australia terhadap sumber minyak.Portugal lalu berusaha merebut kembali wilayah Timtim yang dikuasai Indonesia dengan mendorong penentuan nasib sendiri rakyat Timtim.
3. 3. Hubungan Australia dengan Indonesia Menyangkut Masalah Timor-Timur
Pada tahun 1972 sampai 1988 hubungan Australia dan IndonesiaH diwarnai oleh beberapa masalah yang mengakibatkan berfluktuasinya hubungan tersebut. Soal pertama yang paling menggangu hubungan kedua negara adalah masalah Timor-Timur. Persoalan Timor-Timor mewarnai kebijakan luar negeri Australia selama jabatan kedua PM Buruh “Whitlam” (1974-1975), selama masa PM Koalisi Liberal-Nasional, Fraser (1975-1983), dan ketika PM Buruh “Hawker” berkuasa sejak 1983. Sekalipun terjadi perdebatan seru di parlemen, pemerintah di Australia mempunyai pandangan sama mengenai masalah penggabungan Timor-Timur kedalam wilayah Indonesia. Bagi kedua pemerintahan tersebut prioritas tertinggi adalah memelihara hubungan persahabatan dengan Indonesia dan tidak menghendaki adanya isu-isu yang dapat merusak hubungan tersebut. Pada bulan September 1974 PM Whitlam bertemu dengan Presiden Soeharto di Yogyakarta dan membahas masalah Timor-Timur untuk pertama kalinya. Dalam pernyataannya PM Whitlam melihat Timor-Timur tidak akan menjadi negara merdeka yang berdiri sendiri, yang akan menjadi ancaman bagi kestabilan di kawasan tersebut. Akan tetapi ia juga menghendaki agar rakyat Timor-Timur diberikan hak sepenuhnya untuk menentukan masa depannya sendiri. Ini berarti PM Whitlam juga tidak ingin adanya negara lain, dalam hal ini Indonesia untuk mengambil alih wilayah itu secara paksa.
Sekalipun mentri luar negeri Australia Andrew Peacok dalam pemerintahan baru dibawah PM Fraser menyatakan kekecewaannya terhadap masalah bergabungnya Timor-Timur ke Indonesia, namun duta besar Australia di Indonesia “Richard Woolcott” mendesak agar Australia dapat menerima pernyataan politik Timor-Timur. Akhirnya pemerintah Australia mengakui secara de jure penggabungan Timor-Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia pada bulan Januari 1978. Pengakuan ini juga sebenarnya berkaitan dengan penyelesaian persoalan lintas batas kontinen dibagian Barat Laut Australia dan pulau Timor (Timor Gap). Pada tahun 1979 Australia memulai pembicaraan mengenai persoalan Timor Gap dengan pihak Indonesia. Seperti diketahui pembicaraan masalah Timor Gap ini tidak selesai sampai berakhirnya pemerintahan koalisi Liberal Nasional dibawah PM Fraser pada tahun 1983. Persoalan Timor Gap baru diselesaikan pada masa pemerintahan pimpinan Bob Hawke dengan pemerintah Indonesia pada tanggal 3 sampai 4 September 1988, dengan disepakatinya pembentukan suatu zona kerjasama di dalam wilayah yang dipersengketakan guna eksploitasi dan eksplorasi minyak bumi.
Sepanjang tahun 1980an, hubungan Australia-Indonesia selalu diganggu oleh persoalan Timor-Timur. Sekalipun pemerintah Australia berusaha memelihara hubungan baik dengan Indonesia, namun media Australia dan beberapa kelompok penekan tidak menghendaki masalah Timor-Timur dihentikan. Kepentingan media Australia tampaknya bertemu dengan aspirasi dari kelompok-kelompok orang Timor-Timur yang bermukim di Australia yang menentang penggabungan Timor-Timur ke wilayah Indonesia. Mereka menggunakan hampir seluruh pers Australia yang berpengaruh untuk melaksanakan kampanye mengecam penggabungan Timor-Timur yang oleh mereka diistilahkan dengan pendudukan atau pencaplokkan ke dalam wilayah Indonesia. Genjarnya kecaman kelompok tersebut dan media Australia menimbulkan persepsi yang keliru dari pemerintah Indonesia. Sikap pemerintah Australia yang membiarkan kecaman-kecaman pers Australia terhadap persoalan Timor-Timur dipandang pemerintah Indonesia sebagai sikap yang tidak bersahabat serta mendukung kepentingan kelompok anti Indonesia.
Akibatnya hubungan kedua negara memburuk antara 1980-1983 pemerintah Indonesia mengambil langkah keras terhadap perwakilan media Australia di Indonesia. Kunjungan para pejabat tinggi kedua negara ditunda selama beberapa waktu, yang mengakibatkan pembicaraan Timor Gap mengambang. Hubungan kedua negara membaik kembali setelah Australia memberikan suara mendukung Indonesia dalam pemungutan suara untuk menghapus persoalan Timor-Timur dari agenda sidang umum PBB bulan Oktober 1983.
Kenyataan bahwa Timor-Timur bergerak menuju kemerdekaan dan Indonesia mereformasi dirinya sebagai sebuah negara demokrasi dinamis haruslah menjadi elemen untuk sebuah hubungan yang dekat dan produktif antara Australia dan Indonesia. Namun, hubungan bilateral masih dalam kondisi yang rentan ini adalah sebuah ironi yang menyedihkan. Perubahan pemerintahan John Howard di Timor-Timur dikendalikan oleh tujuan strategis guna memindahkan isu yang telah terdistorsi, terkompromi dan merusak hubungan selama seperempat abad. Howard menggunakan kesempatan yang muncul dengan jatuhnya Soeharto dan minat Habibie untuk mencari bentuk penyelesaian di Timor-Timur. Namun kepemimpinan Australia atas intervensi internasional di Timor-Timur telah menjadi fokus sakit hati Indonesia yang sangat pahit. Duta besar Australia “John McCarhty” optimis kalau hubungan akan membaik dengan adanya pemerintahan yang demokratis di Canbera dan Jakarta, serta keluarnya Timor-Timur dari agenda prioritas kedua negara. Sulit untuk menepis pendapat bahwa sebuah negara Timor Leste yang independen dan berakhirnya penguasa otoriter di Jakarta merupakan perkembangan dalam kepentingan nasional jangka panjang Australia.

3. 4. Lembaga Australia-Indonesia

Lembaga Australia-Indonesia didirikan pada tahun 1989.
Lembaga ini bertujuan untuk:
  • ikut mengembangkan hubungan yang stabil antara kedua negara kita;
  • memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia mengenai keanekaragaman budaya di Australia, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi;
  • mengembangkan pengertian masyarakat Australia mengenai keanekaragaman budaya di Indonesia dan peluang kerja sama ekonomi.
Lembaga ini mendorong adanya hubungan antara orang Australia dan Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, media, perniagaan, ilmu pengetahuan, teknologi, olahraga, dan kesenian.
Lambang Yayasan Australia-Indonesia
Gambar 11.4: Lambang Lembaga Australia-Indonesia

Wisatawan Indonesia menemukan Australia

Sekarang Australia menjadi tujuan wisata yang semakin populer bagi wisatawan Indonesia. Sejak tahun 1991, jumlah orang Indonesia yang mengunjungi Australia telah meningkat rata-rata 55% setiap tahun.
Lebih dari 106.000 orang Indonesia yang mengunjungi Australia di tahun 1994/1995. Kebanyakan orang-orang ini berkunjung sebagai bagian dari suatu kelompok orang yang sedang berlibur. Tujuan utama bagi orang Indonesia yang mengunjungi Australia adalah untuk berlibur, melanjutkan pendidikan, dan untuk berniaga.

APEC

APEC atau Asia-Pacific Economic Cooperation (Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik) adalah kelompok 18 negara di kawasan Asia-Pasifik.  APEC pertama kali disarankan oleh Australia pada tahun 1989. APEC bertujuan untuk mendorong kerjasama ekonomi, penanaman modal dan perdagangan di kawasan ini. Kawasan Asia-Pasifik menghasilkan kira-kira 50% dari barang dan jasa di dunia dan merupakan 40% dari perdagangan dunia.
APEC telah sangat didukung oleh Australia dan Indonesia. Pada tahun 1994 para pemimpin APEC mengadakan pertemuan di Bogor dan sepakat untuk melakukan penanaman modal dan perdagangan bebas di kawasan tersebut menjelang tahun 2020.


Perkembangan dalam perdagangan

Indonesia telah menjadi mitra dagang yang berharga bagi Australia. Ekonomi Industri Indonesia yang berkembang pesat dan tenaga kerja yang besar, digabung dengan teknologi tinggi Australia dan sumber daya alamnya telah memberikan banyak peluang usaha.

Hubungan perniagaan dan perdagangan

Perdagangan dan perniagaan antara Australia dan Indonesia semakin tumbuh. Perdagangan dua-arah telah meningkat menjadi 25, 2% selama tahun 2000-2002. Lebih dari 400 perusahaan Australia sedang melakukan perniagaan di Indonesia, mulai dari usaha pertambangan sampai telekomunikasi. Perusahaan-perusahaan ini bekerja sebagai mitra dagang dengan perusahaan dan pemerintah Indonesia.
Sejak berkembangnya hubungan niaga, jumlah perdagangan antara Australia dan Indonesia semakin meningkat.

Jual-beli dalam bidang jasa

Bidang terbaru dalam perdagangan yang semakin meningkat tersebut adalah bidang jasa. Australia menyediakan berbagai ragam jasa bagi usaha perniagaan di Indonesia. Beberapa dari jenis jasa yang disediakan oleh perusahaan Australia mencakup:
  • jasa perbankan dan keuangan
  • pendidikan dan pelatihan
  • perencanaan perkotaan
  • rancangan arsitektur

Bantuan dari Australia ke Indonesia

Pada tahun 2001–02 Australia akan menyediakan bantuan pembangunan kepada negara-negara lain sejumlah 1,725 juta dolar Australia. Indonesia akan menerima kira-kira 7,04% dari dana bantuan ini, yang berjumlah 121,5 juta dolar, melalui Program Kerjasama Pembangunan.
Australia merupakan negara pemberi donor terbesar kelima kepada Indonesia. Australia telah menyumbang 1.5% sampai 6% dana bantuan luar negeri Indonesia.

Tujuan bantuan Australia

Tujuan bantuan Australia adalah pengurangan kemiskinan dengan bantuan yang melalui dua aliran:
  • memperbaiki Pemerintahan termasuk administrasi pemerintah, lembaga perbankan, keuangan dan keadilan.
  • pengembangan sumber daya manusia masyarakat yang miskin dengan memperbaiki pendidikan;
  • kesehatan, khususnya ibu dan anak serta pengendalian HIV/AIDS; dan penyediaan air minum.
Banyak sumbangan Australia yang diarahkan ke Indonesia bagian timur, terutama ke Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya sebab daerah-daerah ini merupakan daerah yang paling miskin dan paling ketinggalan di Indonesia. Kebanyakan bantuan Australia berbentuk program pendidikan dan pelatihan. Dalam sektor pendidikan di Indonesia, Australia menyediakan program beasiswa yang terbesar.
4. Masa Pemerintahan B.J. Habibie
Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden ketiga Indonesia (1998-1999)  setelah lengsernya Soeharto dari jabatannya. Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda ini, harus kehilangan bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan jantung.
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius.Akan tetapi, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui beragam cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia. Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut. Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestik. Habibie mendapatkan kembali kepercayaan dari dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga tersebut memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar. Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik tidak terlampau kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.
Keinginan Habibi mengakselerasi pembangunan sesungguhnya sudah dimulainya di Industri pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dengan menjalankan program evolusi empat tahapan alih tehnologi yang dipercepat “berawal dari akhir dan berakhir diawal.
Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi. Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru. Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur. Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum. Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
5. Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga menjadi contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik (hubungan sipil militer) dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar negeri). Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan saling ketergantungan antara pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang subyektif sifatnya.
Pasca reformasi, ketika Abdurrahman Wahid memimpin Indonesia, politik luar negeri Indonesia cenderung mirip dengan politik luar negeri Indonesia yang dijalankan oleh Soekarno pada masa orde lama, dimana lebih menekankan pada peningkatan citra Indonesia pada dunia internasional. Pada masa pemerintahannya, politik internasional RI menjadi tidak jelas arahnya. Hubungan RI dengan dunia Barat mengalami kemunduran setelah lepasnya Timor Timur. Salah satu yang paling menonjol adalah memburuknya hubungan antara RI dengan Australia. Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu dia melakukan banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi. Namun, sebagian besar kunjungan – kunjungannya itu tidak memiliki agenda yang jelas. Bahkan, dengan alasan yang absurd, Wahid berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah rencana yang mendapat reaksi keras di dalam negeri. Dan dengan tipe politik luar negeri Indonesia yang seperti ini membuat politik luar negeri Indonesia menjadi tidak fokus yang pada akhirnya hanya membuat berbagai usaha yang telah dijalankan oleh Gus Dur menjadi sia-sia karena kurang adanya implementasi yang konkrit.
6. Masa Pemerintahan Megawati
Belajar dari pemerintah presiden yang sebelumnya, Megawati lebih memperhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945. Seperti diketahui, selama ini Komisi I DPR telah menjalankan peran cukup signifikan dan tegas dalam mempengaruhi dan mengontrol pelaksanaan aktivitas diplomasi Indonesia.  Karena itu, Megawati  mengupayakan sebuah “mekanisme  kerja” yang lebih solid dengan Komisi I DPR sehingga diharapkan dapat memunculkan concerted and united foreign policy sebagai hasil kerja bersama lembaga eksekutif dan legislatif yang lebih konstruktif dan bertanggung jawab atas dasar prinsip check and balance. Andaikata memungkinkan, dapat diterapkan bipartisanship foreign policy yang berlandaskan kolaborasi partai-partai yang ada.
Terlepas dari pentingnya politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu platform pemerintahan baru dalam membantu upaya pemulihan ekonomi dan stabilitas keamanan di dalam negeri, Megawati lebih memprioritaskan diri mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat di mana nasib ratusan ribu atau mungkin jutaan pengungsi dalam kondisi  amat memprihatinkan. Dengan kata lain, anggaran Presiden ke luar negeri lebih diperhemat dan dialokasikan untuk membantu mengurangi penderitaan rakyat di daerah-daerah itu, tanpa harus mengabaikan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu aspek penting penyelenggaraan pemerintah yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Menteri Luar Negeri. Dan yang lebih penting, untuk membuktikan kepada rakyat bahwa pemerintah Megawati memiliki sense of urgency dan sense of crisis yang belum berhasil dibangun pemerintahan sebelumnya.
Namun masa pemerintahan presiden Abdurachman Wahid mewarisi pemerintahan yang lemah dan diperburuk oleh kondisi keamanan yang tengah diambang separatism atau communal violence. Dan pada akhirnya Megawati sebagai presiden selanjutnya juga tak mampu membawa pemerintahan pada stabilitas yang lebih besar kendati perpolitikan Megawati pada masa pemerintahannya jauh memiliki temper serta filosofi politik yang jauh lebih berkualifikasi dalam menjalankan konsiliasi nasional dan kohesi daripada alternatif. Tapi sangat disayangkan ia tidak memiliki kemampuan untuk memaksa dan mengkohenren admistrasinya. Hasilnya adalah perbaikan ekonomi yang tak jauh lebih membaik dari sebelumnya
7. Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Bagaimanapun selama masa pemerintahan yang terdahulu SBY telah berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa pemerintahannya, antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan global pun dijadikannya sebagai opportunities.
Jika PLNRI yang diterjemahkan Bung Hatta adalah ‘bagaikan mendayung di antara 2 karang’, maka Pak Banto mengatakan bahwa PLNRI di masa SBY adalah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani 2 karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah.
Kemudian, terdapat aktivisme baru dalam PLNRI masa SBY. Ini dilihat pada: komitmen Indonesia dalam reformasi DK PBB, atau  gagasan SBY untuk mengirim pasukan perdamaian di Irak yang terdiri dari negara-negara Muslim (gagasan ini belum terlaksana hingga kini).
Selain itu, terdapat ciri-ciri khas PLNRI di masa SBY, yaitu:
  • terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India, dll).
  • terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia pada perubahan-perubahan domestik dan perubahan-perubahan di luar negeri.
  • ‘prakmatis kreatif’ dan ‘oportunis’, artinya Indonesia mencoba menjalim hubungan dengan siapa saja yang bersedia membantu dan menguntungkan pihak Indonesia.
  • TRUST, yaitu: membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Yakni: unity, harmony, security, leadership, prosperity.
5 Hal dalam konsep TRUST ini kemudian menjadi sasaran PLNRI di tahun 2008 dan selanjutnya. Pak Banto terlihat menilai sangat positif kinerja dari PLNRI SBY pada masa pemerintahannya yang terdahulu. Namun kemudian, ia pun menyebutkan sisi kekurangan dari PLNRI SBY. Menurut beliau, PLNRI SBY kurang bisa menyelesaikan masalah-masalah di dalam negeri. Di sini kita dapat melihatnya dari bertambah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Padahal, jika secara konseptual PLN disebut sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan domestik, seharusnya PLNRI bisa menjadi media penyelesaian masalah di dalam negeri. Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap PLNRI SBY dengan sebutan: It’s about Image. Karena SBY berlaku hanya untuk memulihkan citra baik Indonesia di luar negeri, dan kurang memperhatikan ke dalam negeri.
                                                                                        

8. Perjanjian Australia-Indonesia di bidang Pertahanan Keamanan

Pada tahun 1996 Australia dan Indonesia membuat Perjanjian Pertahanan Keamanan. Perjanjian tersebut dibuat karena kedua negara ingin memperkuat persahabatan yang ada di antara keduanya. Perjanjian itu juga mengakui pentingnya jaminan perdamaian dan stabilitas kawasan sebagai cara untuk menjamin adanya pembangunan ekonomi dan kesejahteraan bagi kedua negara.
Kedua negara menyepakati bahwa:
  • para menteri negara akan secara tetap berkonsultasi mengenai masalah-masalah keamanan;
  • mereka akan saling berkonsultasi jika terjadi tantangan yang sifatnya bermusuhan terhadap kepentingan keamanan bersama, dan mempertimbangkan tindakan individual atau tindakan bersama yang mungkin diambil; dan,
  • mereka akan bekerjasama dalam masalah-masalah keamanan.
  • Perjanjian ini mulai berlaku sejak tanggal 15 Juli 1996.
Perjanjian ini tidak berlaku terhadap komitmen internasional yang ada pada kedua negara. Perjanjian itu juga didasarkan atas kesepakatan mengenai perlunya menghormati kedaulatan, kemandirian politik, dan integritas kawasan bagi semua negara.
            Indonesia adalah tetangga Australia yang terdekat. Hubungan antara kedua negara ini mempunyai sejarah yangpanjang. Dalam perjalanannya, hubungan antara Indonesia dan Australia tidak terlepas dari konflik, namum padaakhirnya konflik itu menjadi sebuah jembatan untuk menjadikan dua negara sebagai sahabat karib. Layaknya sepasangkekasih yang mengawali kisah cintanya dengan saling membenci, tapi toh pada akhirnya saling cinta. Itulah Indonesiadan Australia saat ini.
            Dari tahun ke tahun, hubungan Indonesia dan Austraila terus harmonis. Sehingga di era saat ini, lahirlah AustraliaCalling, sebuah organisasai independen yang tercipta dari sebuah karya anak bangsa, lahir untuk menindak lanjuti pidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kunjungannya ke Australia, dan khususnya pidato pertemuan dengan masyarakat Indonesia di Sydney yang menghimbau persahabatan dan kerjasama antar bangsa.Tentunya, poin penting pembicaraan Presiden SBY dengan Premier NSW Kristina Keneally dan Governor Marie Bashir untuk meningkatkan kerjasama antara Sydney dengan Jakarta sebagai Sister Cities, yang didukung oleh faktafakta sebagai berikut antara lain Memorandum of Understanding (MoU) Sister City antara Jakarta dan Sydney pada 30 Mei 1994 yang ditandatangani oleh Gubernur DKI Surjadi Soedirdja dan Premier NSW John Fahey. Australia adalah negara 'western' yang paling banyak dikunjungi oleh orang Indonesia. Dan populasi masyarakat Indonesia di NSW sajasudah melebihi 40,000. Ini tentunya tidak lepas dari kerjasama yang baik antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia. Menelisik ke belakang, pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menteri (PM) Australia yang baru menggantikan John Howard. Dengan terpilihnya Kevin Rudd, ada sebuah harapan akan terbukanya lembaran baru bagi hubungan Indonesia-Australia sekalipun disadari bahwa di sana-sini masih banyak perbedaan. Perbedaan yang tidak harus memisahkan dan menjauhkan kesamaan pandangan, kepentingan bersama, dan kenyataan geografis bahwa keduanya harus bertetangga baik.
Secara historis, Australia adalah negara persemakmuran (British Commonwealth) yang paling lama bergantung padaInggris. Ketika negara-negara persemakmuran lainnya telah mulai melepaskan diri dari bayang-bayang Inggris, Australia dalam jangka waktu yang cukup lama belum juga dapat lepas dari pengaruh Inggris, khususnya dalamkebijakan politik luar negeri. Memasuki era 1980-an, Australia mulai menyadari pentingnya menjalin hubungan dengan Asia. Dalam hal relasi dengan Asia, kepentingan utama Australia adalah persoalan keamanan (security). Instabilitas yang terjadi di Asia mutlak turut berdampak pada kondisi Australia. Australia tidak ingin terkena imbas negatif dari negara-negara tetangganya di benua Asia. Dalam konteks Indonesia, misalnya, stabilitas Indonesia secara sosial, politik, dan ekonomi menjadi penting artinya bagi Australia. Karena itu, pada masa-masa ini Australia merasa sangat berkepentingan untuk lebih merapat ke Asia ketimbang Barat.
Terpilihnya Kevin Rudd sebagai PM Australia yang baru sangat mungkin akan menjadi awal bagi sebuah era baru relasi Indonesia-Australia yang selama satu dekade ini kerap diwarnai berbagai ketegangan diplomatik. Kemenangan Kevin Rudd segera membangkitkan kembali memori kolektif bangsa Indonesia pada era kepemimpinan Paul Keating. Yakni ketika Australia memberi prioritas hubungan diplomatiknya dengan Asia lebih tinggi ketimbang dengan Inggris dan AS. Di tengah suka cita Kevin Rudd dan para pendukungnya menyambut kemenangan bersejarah, Presiden SBY justru mengukir sejarah lain dalam momen bahagia pemimpin baru Australia itu. Presiden SBY, seperti diakui Kevin Rudd, merupakan pemimpin negara sahabat pertama yang menelepon dirinya untuk memberikan ucapan selamat atas keberhasilannya sekaligus mengundangnya untuk ikut menghadiri konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali. Pertukaran kunjungan pun intens dilakukan kedua pemimpin ini. Tentu perubahan hubungan dengan Indonesia itu akan mencakup nuansa, cara, dan diharapkan secara substansial kembali mesra sebagaimana tercatat dalam sejarah dimana pendekatan kultural lebih mengutamakan menjaga keharmonisan hubungan Indonesia-Australia.
Lebih jauh ke belakang semasa PM Ben Chifley, dukungan Australia kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia begitu besar, sehingga Australia ditunjuk Indonesia duduk dalam Komite Jasa-jasa Baik (Good Offices Committee) PBB. Komite itu dibentuk untuk mengakhiri penjajahan Belanda di Indonesia dan mengusahakan pengkauan atas kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agusutus 1945. Begitu juga semasa PM Paul Keating, Australia menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat Asia dan menjadikan Indonesia sebagai tetangga utama Australia. Tampaknya, bagi kedua tokoh itu dan kita harapkan juga mayoritas warga Australia menyadari bahwa sudah menjadi takdir (destiny) kedua negara, Indonesia dan Australia menjadi bertetangga.
Pepatah mengungkapkan bahwa kita dapat memilih siapa-siapa yang menjadi teman kita, tapi kita tak dapat memilih tetangga (we can choose our friends but we can't choose our neighbours). Bahkan, menurut tata pergaulan, kalau kita mempunyai tetangga yang ramah, penuh pengertian dan kerja sama itu lebih baik dari saudara dekat yang tinggal jauh dari kita. Fakta lain menunjukkan, betapa hubungan Indonesia-Australia saling membutuhkan dalam menjalankan roda ekonomi dan pendidikan. Di bidang perdagangan, nilai perdagangan bilateral, pada tahun 2006 telah mencapai 10,4 miliar dolar Australia. Begitu juga di bidang investasi dan bisnis, di mana Australia cukup banyak mendapat kesempatan berinvestasi di Indonesia dengan nilai investasi pada tahun 2006 sebesar 3 miliar dolar Australia yang dilakukan oleh sekitar 400 pengusaha Australia.
Di bidang sosial budaya, sekitar 15 ribu pelajar/mahasiswa Indonesia kini sedang menuntut ilmu di berbagai perguruan menengah dan tinggi, yang tentu saja memberikan kontribusi, baik secara ekonomi dan budaya kepada masyarakat Australia. Sebaliknya minat dan perhatian dari warga Australia terhadap masalah-masalah sosial, budaya, dan politik Indonesia cukup besar terlihat dari banyaknya kajian-kajian tentang Indonesia di berbagai akademi dan universitas di Australia. Begitu pun kajian-kajian tentang Australia cukup berkembang di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Selepas PM Kevin Rudd, kini Australia dimpimpin seorang perempuan, juga dari Partai Buruh, Julia Gillard. Karena itu, sama-sama dari Partai Buruh, PM Julia Gillard yang menggantikan Kevin Rudd akan tetap menjalin hubungan yang baik dengan Indonesia. Malahan Jakarta-Canberra diramaikan makin hot saja di bawah PM Julia Gillard. Menurut peneliti bidang politik internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Nuke Pudjiastuti, hubungan Indonesia-Australia kemungkinan akan lebih baik dengan kepemimpinan Gillard. "Julia Gillard dan Kevin Rudd berasal dari partai yang sama. Saya pikir (hubungan Indonesia-Australia) akan lebih baik," ungkap Tri kepada Rakyat Merdeka. Anggota Komisi I DPR RI Max Sopacua juga sempat berujar bahwa, Indonesia dan Australia sudah mempunyai landasan dan latar belakang yang kuat dalam hubungan kedua negara. "Hubungan Indonesia dan Australia pada dasarnya sudah baik, tinggal memantapkannya saja," ujar Sopacua. Dan, sama dengan apa yang dilakukan Presiden SBY pada PM Kevin Rudd, SBY juga langsung menelepon PM Julia Gillard dan mengucapkan selamat atas terpilihnya dia sebagai PM Australia. "Sehubungan dengan apa yang terjadi di Australia, atas nama Pemerintah RI, saya ucapkan selamat kepada PM Julia Gillard," kata Presiden SBY usai mendengar Gillard di angkat jadi PM Australia. Presiden SBY pun berharap pada PM Julia Gillard agar hubungan baik antara Indonesia dan Australia yang selama ini berjalan dengan baik dapat terus berlanjut. "Saya berharap hubungan dan kerja sama yang baik ini bisa dilanjutkan dan bisa menemukan peluang-peluang baru," ujar Presiden SBY. Tak lupa Presiden juga memberikan apresiasinya atas kepemimpinan Kevin Rudd selama menjabat. Tidak hanya itu, hubungan Indonesia dan Negeri Kanguru dapat terbina dengan baik. Jika terdapat masalah bilateral, kedua negara mampu menyelesaikan dengan baik dan konstruktif.
Kini, Australia Calling tinggal melanjut-lanjutkan hubungan baik antara dua negara ini. “Australia Calling lahir karena kita sebagai putra-putri Indonesia di Australia merasa terpanggil untuk mengembangkan kerjasama yang sudah tercipta baik antara Indonesia dan Australia. Apakah itu dari segi sejarah, seni dan budaya, pariwisata, properti, serta hubungan kemasyarakatan,” kata Ratih Luhur, Co-Founder Australia Calling, kepada Swara Kita di Manado, Kamis (7/10) lalu. Dan yang paling dibanggakan adalah, tampilnya putra berdarah Kawanua—sebutan untuk orang berdarah Sulawesi Utara—, yakni Ravotti Achmad Asikin Natanegara (cucu alm Prof Mr GMA Inkiriwang) sebagai Co-Founder dan Program Director Australia Calling. Tampilnya Ravotti tentunya menjadi kebanggan tersendiri bagi sang ibunda tercinta, Dr Inria Asikin Natanegara-Inkiriwang, yang mendorong putra pertamanya ini untuk meningkatkan kemajuan Sulawesi Utara. Dalam waktu yang cukup singkat sejak menginjakkan kakinya di Australia, Ravotti—yang sebetulnya berlatar belakang pendidikan hukum sebagaimana penuturan ibunya menjelmah jadi fotografer—, karena karya-karyanya maka oleh masyarakat Sydney diberi kepercayaan dan kehormatan sebagai consultant project photography stories from our street. “Ravotti bukan saja menjadi kebanggan keluarga, tapi juga menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Utara,” kata Dr Inria Inkiriwang.












Daftar Referensi:
Hudaidah. 2004. Sejarah Australia dan Oceania. Palembang: FKIP Sejarah Universitas Sriwijaya
Website:



0 komentar: