PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA
Nusantara Dalam Jalur Pelayaran dan Perdagangan Dunia
Pada bidang ekonomi, bangasa Indonesia
menjadi unsur penetu terjadinya revolusi perdagangan dunia. Dengan pengembangan
kapal bercadik menjdi jung, sektor perdagangan laut tumbuh dengan pesat. Dengan
menggunakan jung sebagai armada transportasi dagang pada jalur laut, minimal
tiga keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu :
- Kapasitas angkut. Masyarakat Nusantara dapat mengangkut barang dagangan yang jumlahnya berlipat apabila dibandingkan dengan perlatan sebelumnya. Dengan kapasitas angkut yang dimiliki jung, pedagang menjadi lebih menghemat waktu, tenaga, dan modal.
- Keamana lebih terjamin. Dengan mempergunakan kapal jung, pelyaran menjadi lebih nyaman dan aman karena lwbuh mampu mengahadapi berbagai halangan di tengah laut, seperti badai dan perompak.
- Jangkauan lebih luas. Kekuatan yang dimiliki kapal jung menjadikannya mampu menempuh pelayaran dengan jarak jauh. Pedagang Nusantara menjadi mampu menjangkau berbagai bangsa yang belum pernah dikunjungi.
Berbagai
keuntungan yang disediakan oleh jalur perdagangan mengakibatkan para pedagang internasional
berangsur-berangsur lebih memilih jalur jalur laut sejak zaman Sriwijaya. Peran
besar yang dimainkan oleh bangsa Indonesia dalam perdagangan laut
internasional mendorong berbagai bangsa untuk ikut melibatkan diri.
Pelabuhan-pelabuhan yang dibangun berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan
dunia. Bangsa-bangsa yang tercatat aktif melakukan transaksi dagang adalah
bangsa Cina dan India.
Sudah sejak lama kedua bangsa ini menjali nhubungan dagang dengan
kerajaan-kerajaan Nusantara. Pada masa-masa selanjutnya semakin banyak bangsa
asing yang ikut terlibat, seperti Jepang dan bangsa-bangsa yang beragama Islam.
Pedagang Islam itu tidak berasal dari satu bangsa, melainkan dari berbagai
bangsa di sekitar Arab, antara lain Persia (Iran), Gujarat (India),
dan Hadramaut (Yaman Selatan).
Para
pedagang Persia, Gujarat,
dan Hadramaut yang datang ke Indonesia
berupaya mencari simpati dari masyarakat setempat. Mereka mendekati para raja
dan bangsawan yang memegang peranan dalam dunia perdagangan. Mereka juga
bergaul akrab dengan para penduduk yang didatangi. Melalui upaya inilah,
komunikasi antara para pedagang dan
penduduk berlangsung dengan lancar. Selain itu, transaksi jual beli menjadi
sesuatu yang saling menguntungkan.
Ketika
hendak kembali, para pedagang asing itu menunggu perubahan arah mata angin
sambil duduk dengan berbagi pengalaman dan tukar menukar pendapat. Dari sini
ajaran Islam tersampaikan. Banyak penduduk yang mencoba memhaminya hingga
akhirnya memeluk Islam.
Dalam
Poses Islamisasi di Nusantara peranan
para pedagang muslim sangatlah penting artinya, baik pedagang dari golongan
Raja dan keturunannya, kaum hartawan yang menanamkan modalnya dalam suatu saha
perdagangan, ataupun sebagai golongan pedagang kelontongan yakni pedagang
keliling. Kondisi ini meyebabkan kedatangan Islam di berbagai daerah di Indonesia
tidakalah bersamaan, karena sangat bergantung pada persinggahn para pedagang
muslim. Penharuh ajaran Islam pun tidaklah sama antara daerah yang satu dengan
lainnya disebabkan adanya keterkaitan yang erat dengan daerah yang sudah
dipenagruhi oleh Hindu-Budha atau yang belum sama sekali mendapatkan pengaruh
Hindu-Budha.
Jadi
tidaklah salah jika awal sejarah masuknya Islam di Indonesia masih menjadi
problema dalam sejarah karena sedikitnya data yang memungkinkan untuk
merekontruksinya sejarah, “disamping tidak seragamnya pengenalan Islam terhadap
seluruh kawasan, juga tingkat penerimaan Islam pada satu bagian wilayah dengan
wilayah yang lain tidak hanya bergantung pada waktu pengeanalnnya, tetapi juga
bergantung pada watak budaya lokal yang dihadapi Islam” (Azra, 2002, hlm.19)
Fleksibiltas
ajaran Islam merupakan unsur penting dalam pelaksanaan Islamisasiny. Tetapi
yang perlu juga diperhatikan adalah bagaimana sebenarnya peranan Indonesia (Nusantara)
dalam jalur perdagangan dan pelyaran dunia dalam rangka penyebaran dakwah Islam
di kawasn ini sangatlah penting, karena dapat memberikan gambaran kapan dan
dimana pertama kali Islam masuk ke Indonesia.
Indonesia
yang terletak di bagian ujung Dunia Muslim, banyak memberikan kontribusi bagi
lalu lintas hubungan pelayaran dan perdagangan kawasan Nusantara dengan Timur
Tengah, Asia Timur, Asia Selatan dan Afrika termasuk dunia Barat. Srateginya
letak geografis Nusantara ini dapa dilihat pada “peta sejarah” dalam jalur
pelayaran dan perdagangan dunia yang berimplikasi pada masuknya Indonseia pada
abad ke-7 M” (Yamin, 1956, hlm. 7-9).
Indonesia
merupakan daerah khatulistiwa yang sangat strategis menghubungkan antara
kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Tengah, Asia Barat, Asia Selatan maupun
Afrika dan Teluk Persia. Dan sejak awal
Masehi dalam lalu lintas pelayaran dan perdagangan dunia dapat ditempuh melalui
dua jalur perdagangan yaitu sebagai berikut :
- Melalui jalur darat yang dikenal dengan sebutan “Jalur Sutera” yakni dari Cina melalui Asia Tengah dan Turkistan sampai Laut Tengah hingga jalan mengubungkan antara Cina dengan kafilah-kafilah dari India dan Persia. Barang niaganya tetutama adalah kain sutera.
- Melalui Laut yaitu dari Cina dan Indonesia melalui Selat Malaka ke India, Teluk Persia, Laut Merah dan Afrika. Atau sebaliknya dari Teluk Persia, Afrika, India, Indonesia, Selat Malaka dan Asia Timur. Komoditinya terutama adalah rempah-rempah.
Kepesatan
pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka dan pesisir
Barat Sumatera
sejak abad ke-7 M ini, sangat memungkinkan untuk terjadinya akulturasi
kebudayaan dan peradaban.
Perlak (Aceh) yang terletak di ujung pulau Sumatera merupakan terminal bagi
bertemunya anatar pedagang dari afrika, Arab, India dan Cina yang memberikan
kontribusi kebudayaan terutama budaya Islam pada penduduk setempat, karean
aktivitas pelayaran dan perdagangan para saudagar Islam selain berniaga, mereka
juga banyak bertindak sebagai mubaligh. Sebagaiman yang dikayakan oleh J.
Paulus dalam Hasymy (1990, hlm.6) “(Aceh)
Perlak merupakan stasiun perantara bagi para pedagang Islam dan dakwah Islam.”.
Disinilah arti penting Aceh sebafgai kawasn Indonesia
pada awal abad ke-1 H atau abad ke-7 M yang turut serta dalam kancah
perdagangan dunia memberikan transformasi
dalam tatanan ekonmi, poltik dan sosial budaya dalam sejarah Indonesia. Aceh sebagai bagian dari
wilayah Indonseia yang terletak di Pulau Sumatera, sebelum masuknya Islam,
merupakan daerah yang sudah dihuni oleh manusia pemakan kerang yang bermukim di
sepanjang Pantai Sumatera Timur Laut, yang dapat dibuktikan dari sisa-sisa
makananya dan perlatan makan yang ditemukan, hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat Aceh telah memiliki kebudayaan.
Jika diperhatikan, ajaran suatu
agama akan membawa pegaruh besar bagi pola-poal budaya dalam segala aspek
kehidupan suatu masyarakat dalam mencapai suatu tujuan hidup secara utuh, hal
demikian menunjukkan bagaimana sebenarnya bahwa melalui agama yang dianut suatu
masyarakat dalam periode tertentu dapat memberikan gambaran sejarah tatanan
kehidupan masyarakatnya.
Konsep masuknya Islam di Nusantara
pun mencoba menelusuri artefak-artefak yang bercorak Islam sebagai peninggalan
budaya agama sehingga para ahli sejarah dapat berusaha menentukan kapan
hasil-hasil budaya ini dibuat oleh suatu masyarakat dan menentukan apakah corak
hasil budaya ini asli dari masyarakat itu sendiri atau ada hubungannya dengan
pola-pola budaya dari luar masyarakt itu sebagai damapk akulturasi. Tadisi
pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara dan Indonesia sebagai kawasan Nusantara
ini memberikan catatan sejarah dalam proses Islamisasi di Indonesia dengan
berbagai tahapan-tahapan yang dilaluinya.
Deskripsi Para Ahli Tentang Masuknya Islam di Nusantara
Sejarah masuknya Islam di Nusantara
menimbulkan banyak tafsiran dari para ahli sejarah dengan argumentasinya yang
mempertanyakan kapan, dimana dan bagaiaman proses masuknya Islam di Indonseia.
Wacana ini sudah diungkapkan melalui berbagai seminar yang dilakukan para ahli
sejarah baik Barat maupun Timur. Barat cenderung mengatakan masuknya Islam di
Nusantara abad ke-13 M, yang antara lain dipelopori oleh Snouck Hugronye, J.P.
Moquete, R.A. Kern Pijnappel. Sementara para ahli Sejarah Timur lebih
memusatkan perhatian pada baad ke-7 M dipelopori oleh Prof. Hamka, T. W.
Arnold, Syed Naguib Al Atta yang berpendapat bahwa sebelum abd ke-7 M sudah
terjalin hubunngan perdagangan dan pelayaran bangsa Arab, India dan Cina di
Indonesia (Nusantara), melalui Pantai Timur Sumatera. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada beberapa teori yang diungkapakan para ahli sejarah tentang
deskripsi masuknya Islam di Nusantara yaitu sebagai berikut :
1. Teori Gujarat (India)
Teori
ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonseia pada abad ke-13 dan
pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar teori ini adalah: Pertama, kurangnya fakta yamg
menjelasakan peranan bangsa Aab dalam penyebaran di Indonesia. Kedua, karena adanya hubungan dagang Indonesia
dengan India
telah lama melalui jalur Indonesia-Cambay-Timur Tengah-Eropa. Ketiga, adanya batu nisan Sultan
Samudera Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat (Azra, 2002, hlm 22).
Pendukung
teori Gujarat (India) ini
antara lain dikemukakan oleh beberapa sarjana Belanda seperti Pijnapel, Snouck
Hourgronje, Moqutte yang juga memiliki pandangan yang berbeda bahwa Islam
pertama kali datang ke Indonesia
sekitar abad ke-13 berasal dari India.
Pinnapel berpendapat bahwa Islamisasi di Indonesia dilakukan oleh orang-orang
Arab melalui India, terutama Gujarat dan Malabar, dengan argumentasinya bahwa
“ada persamaan antara mazhab Syafi’i di India dengan Indonesia. Mazhab Syafi’I
ini dibawa oleh orang Arab yang bermigrasi dan menetap di Gujarat dan Malabar
dan kemudian melalui perdagangan membawa Islam ke Indonesia” (Azra, 2002, hlm.24).
Sementara Snouck hourgronje berpendapat bhawa “Islam pertama kali masuk ke
Indonesia bukan berasal dari Arab, tetapi dari India karena sudah lama terjalin
hubungan dagang antara India dengan Indonesia dan adanya inskripsi tertua
tentang Islam yang terdapat di Sumatera mengindikasikan adanya hubungan antara
Sumatera dengan Gujarat” (Suryanegara, 1996, hlm.75).
Tampak
perbedaan yang nyata dari kedua ahli Belanda ini menelusuri asala masuknya
Islam ke Nusantara dengan berbagai argumen yang diajukan dan tetap berspekulasi
antara abad ke-12 dan ke-13 merupakan awal masuknya Islam ke Indonesia, meskipun
akhirnya Snouck mengatakan “Muslim Dhaka adalah sebagai perantara dalam
perdagangan antara Muslim Arab terutama yang mengaku sebagai keturunan
Rasulullah Saw. dan menjalankan dakwah Islam dengan Indonseia (Azra, 2002:25).
Jelas di sini Snouck secara impilsit menagkui bahwa Islam tetap berasal dari
Muslim Arab.
Sementara
itu Moquette mengatakan bahwa “memang ada persamaan antara gaya
batu nisan Makam Sultan Nahrasyah yang ada di Pasai (Aceh) 1428 M dan di Gresik
1419 M (Jawa Timur) nisan Makam Malik Ibrahim dengan batu nisan yang ada di
Cambay (Gujarat) nisan Makam Umar Ibn AL
kazaruni tahun 1333 M. Sehingga hal ini menunjukkan ada hubungan antara
Indonesia dengan Gujarat” (Yusuf, 2006, hlm.36). spekulasi Moquette ini jelas
menunjukkan batu nisan dari Gujarat tidak hanya diproduksi untuk pasar loakal
tetapi juga untuk di ekspor ke luar negeri seperti indonesia,
dengan demikian Moquette menganggap secara tidak langsung orang Indonesia juga mengambil Islam dari wilayah Gujarat. Tetapi ada yang mengganjal jika diperhatikan
tahun pada batu niasan di Pasai dengan di Gresik seolah-olah pengaruh Islam
pertama kali masuk di Gresik. Deskripsi para ahli yang mendudkung teori Gujarat ini lebih memusatkan perhatiannya pada saat
timbulnya kekuasaan politik Islam.
2. Teori Arab (Mekkah)
Teori
ini merupakan teori yang baru muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama
yaitu Gujarat. Teori Makkah berpendapat Islam
masuk ke Indonesia
pada abad ke-7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah
: Pertama, pada abad ke-7 yaitu tahun
674 di panatai Barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab), dengan
pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak
abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina. Kedua, Kerajaan Samudera Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i,
dimana pengaruh mazhab Syafi’I terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.
Sedangkan Gujarat atau India
adalah penganut mazhab Hanafi. Ketiga,
Raja-raja Samudera Pasai menggunakan gelar Al-Malik, yaitu gelar tersebut
bersala dari Mesir.
Demikian Hamka dalam seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan
1963, “menolak kesimpulan Gujarat yang mengabaikan pernan orang Arab dalam
penyebaran agama Islam di Indonesia, sementara orang Arab memiliki kekuatan
perdagangan dan pelayaran, sedangkan Gujarat hanya merupakan kota persinggahan”
(Hasymy. 1981, hlm. 222). Selanjutnya Hamka (Hasymy, 1981, hlm. 221)mengatakan
tidaklah salah jika dikatakan “Aceh sebagai Serambi Mekkah, karena merupakan
suatu kenyataan sejarah, Aceh adalah tempat awal kerajann Islam di Indonesia,
dan sebagai tempat pusat pendidikan Agama Islam”, di sini Hamka bertitik tolak
pada Ulama Besar yang dimiliki Aceh yaitu Syaikh Aminuddin dan Abdurrauf as
Sinkily, Hamzah Fanshuri, Nurruddin ar-Raniry, yang banyak memberikan ilmu
Syariat dan Haqiqat pada masyarakatnya yang berpengaruh terhadap perkembangan
Islam di Indonesia.
Untuk meluruskan pandangan para ahli
sejarah di atas ada baiknya memperhatikan pandangan dari Thomas Arnold yang
mengatakan “Islam masuk ke Indonesia berasal dari Arab, dimana para pedagang
Arab membawa Islam saat mereka menguasai perdagangan antara Barat dan Timur
sejak awal abad ke-7 M dan abad ke-8 M. Dapat diduga mereka juga menyebarakan
agama Islam ke Indonesia” (Yusuf, 2006, hlm. 38). Pandangan Arnold ini dapat
dipertimbangkan, karena berdasarkan sumber Cina, menyatakan “menjelang abad
ke-7 M seorang Arab pernah menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir
Barat Sumatera. Beberapa orang Arab ini melakuakan kawin campur dengan penduduk
pribumi sehingga kemudian membentuk sebuah komunitas Muslim” (Azra, 2002:27).
Dalam historigrafi tradisional,
seperti dalam Hikayat Raja-Raja Pasai
(1350 M), disebutkan bahwa Syaikh Ismail datang dari Mekkah melalui Malabar
menuju Pasai dan mengislamkan raja Pasai Merah
Silu yang kemudian bergelar Malik al Shalih. Dalam Sejarah Melayu (1500 M) menerangkan tentang Parameswara penguasa
Malaka, diislamkan oleh Sayyid Abd al-Aziz
seorang Arab yang berasal dari Jedah, setelah menganut agama Islam, Parameswara
bergelar Sultan Muhammad Syah.
Kemudian dalam Hikayat Merong Mahawangsa
menjelaskan bahwa penguasa Kedah Phra Ong
Mahawangsa, para menteri dan rakyatnya diislamkan oleh Syaikh Abd Allah
Yamani yang datang dari Mekkah. Setelah menganut agama Islam Phra Ong Mahawangsa bergelar Muzafah Syah. Jelas sekali dalam
pengislaman di wilayah jalur pelayaran dan perdagangan internasional” (Hamka,
1963, hlm. 17). Demikian Azra (2002, hlm. 31) mengungkapakan empat hal yang
disampaiakn historiografi tradisional yang berkaitan dengan Islamisasi di
Indonesia yaitu :
1.
Islam Indonesia
dibawa langsung dari tanah Arab.
2.
Islam diperkenalkan oleh para guru atau juru dakwah yang
profesional.
3.
Yang pertama kali masuk Islam berasal dari kalangan
penguasa.
4.
Sebagian besar juru dakwah itu datang ke Indonesia pada
abad ke-12 M dan abad ke-13 M, walaupun sejak abad ke-1 H atau abad ke-7 M
sudah ada orang Indonesia yang menganut agama Islam, tetapi masih dalam taraf
pengenalan dan baru pada abad ke-12 s/d abad ke-16 pengaruh Islam di Indonseia
tamapak lebih jelas dan meluas.
Dari
keterangan di atas dapat dipahami, argumentasi dalam teori Arab lebih
menekankan pada peranan kaum Muslim Arab sendiri yang melakuakn Islamisasi baik
karena adanya motif ekonomi, sosial-budaya maupun politik.
3. Teori Cina
Teori ini menyatakan bahwa Islam
datang bukan dari Timur Tengah, Arab maupun Gujarat ataupun India tetapi dari
daratan Cina, dimana pada abad ke-9 M banyak orang Muslim Cina di Kanton dan
wilayah Cina Selatan yang mengungsi ke Jawa, sebagian ke Kedah dan Sumatera
karena “pada masa pemrintahan Huan Chou terjadi penumpasan terhadap penduduk
Kanton dan wilayah Cina Selatan yang mayoritas pendudknya beragama Islam”
(Alqurtuby, 2003, hlm. 215).
Memang tidak dapat dipungkiri
penagruh Cina sangat kental dalam arsitektur pada Masjid kuno di Demak, Banten.
Selain itu perlu diketahui juga “pada abad ke-8 M s/d 11 M sudah ada pemukiman
Arab Muslim di wilayah Cina dan di Campa
yang memnag sudah mengadakan hubungan perdagangan dengan Indonesia” (Yusuf,
2006, hlm.42).
Pada teori Cina ini telah
menunjukkan bahwa berdasarkan fakta sejarah dengan artefak-artefak yang antara
alin terdapat arsitektur Masjid, juga memberikan gambaran hubungan antara
Cina dan wilayah Indonesia memang sudah
terjalin sebelum abad ke-7 M dan berdasarkan beberapa catatan sejarah, Raden
Fatah sebagai sultan yang berperan dalam penyiaran agama Islam adalah keturunan
Cina yang mempunyai nam Cina Jin Bun,
Sunan Ampel atau Raden Rahmat nama Cinanya Bong
Swi Hoo (de Graaf, 1998, hlm. Vii). Jadi teori ini memberikan juga gambaran
bahwa Islam pun kemungkinan besar bersal dari daratan Cina.
4. Teori Persia
Dalam teori ini
lebih menekankan pada Islam masuk ke Indonsia abad ke-13 dan pembawanya berasal
dari Persia (Iran).
Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia
dengan budaya masyarakat Islam Indonesia.
Yang diungkapakan oleh Hosein Djajadininggrat (1963, hlm. 102) menyatakan bahwa
:
“Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke-13 M di Sumatera yang berpusat di Samudera Pasai, pembawanya bersal dari
Persia (Iran) dengan argumentasinya adanya persamaan budaya yang berkembang
dikalangan masyarakat Indonesia dengan budayua yang ada di Persia seperti
adanya peringatan 10 Muhram atau Asyura yang merupakan tradisi yang berkembang
dalam masyarakat Syiah untuk memperingati hari kematian Hasan dan Husein cucu
Nabi Muhammad. Di Sumatera Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara
Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
Kemudian adanya persamaan antara ajaran al-Hallaj, tokoh sufi Iran Syeikh Siti
Jenar”.
Teori ini ditunjang dengan pendapat
Mueas dalam Boekhari (1971, hlm. 22) yang menyatakan “pada abad ke-5 M, pada
masa raja-raja Sasanid, banyak orang-orang Persia dan ulamanya sperti Tajuddin
al-Syirazi dan Syyaid Syarif al-ashbahani yang berada di Aceh dan kata Pasai
bersal dari kata Persia”. Sebagaimana pendapat dari Pijnapel mengatakan bahwa
Islam di indonesia, “disamping dari Arab juga mendapat pengaruh dari Persia,
dengan bukti adanya jalur perdagangan dari Teluk Persia ke Pantai Barat India
dan terus menuju kawasan Asia Tenggara melalui selat Malaka” (Boekhari.
1971, hlm. 21).
Menyimak uraian di atas, dapatlah
dipahami bagaimana masing-masing para sejarawan menyimpulkan dengan teori-teori
yang dikemukakannya lebih banyak merefleksikan argumentasinya pada masalah
masuknya Islam di Indonesia sebagai akibat dari adanya hubungan antara para
pedagang Arab, India, Cina, Persia, yang didukung oleh letak geografis
Indonesia yang sangat strategis sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar
pedagang anatar pedagang tersebut, yang lebih terfokuskan pada wilayah ujung
Barat dan Timur Sumatera karena daerah ini sebagai kota bandar yang harus
disinggahi lebih dahulu sebelum selat Malaka menuju kawasan Asia Timur terutama
daratan Cina.
Tentu keempat teori tersebut
masing-masing memliki kebenaran dan kelemahannya. Dengan berbagai deskripsi
yang dipaparkan maka Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada
abad ke-7 dan mengalami perkembangannya pada abad ke-13 sebagai kekuatan
politik. Yang memegang peranan dalam penyebarannya adalah para pedagang bangsa Arab, Persia
dan Gujarat (India)
dan para pedagang Cina yang sudah memeluk ajaarn Islam.
post yang sangat bagus.... lanjutkan gan..
BalasHapusgood
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapushahahahaha artikel apik booooossss ckckckckckcckkcckkckc
BalasHapusapik
BalasHapussubernya dari mna ya kak kox tidak di cantumkan
BalasHapusinfo menarik
BalasHapus