PEMIKIRAN PERADABAN ISLAM MASA MODERN
PEMIKIRAN
PERADABAN ISLAM MASA MODERN
(
1800 - SEKARANG )
1. Masa
Pembebasan dari Kolonial Barat
Dunia Islam abad XX ditandai dengan
kebangkitan dari kemunduran dan kelemahan secara budaya maupun politik setelah
kekuatan Eropa mendominasi mereka. Eropa bisa menjajah karena
keberhasilannya dalam menerapkan strategi ilmu pengetahuan dan teknologi serta
mengelola berbagai lembaga pemerintahan. Negeri-negeri Islam menjadi jajahan Eropa akibat keterbelakangan dalam berbagai
aspek kehidupan.
Terjadinya
penetrasi kolonial Barat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor intern
dan faktor ekstern. Disatu sisi kekuatan militer dan politik negara - negara
muslim menurun, perekonomian mereka merosot sebagai akibat monopoli perdagangan
antara timur dan barat tidak lagi ditangan mereka. Disamping itu pengetahuan di dunia muslim dalam kondisi stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi
oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistik1.
Pada sisi yang
lain, Eropa dalam
waktu yang sama menggunakan metode berpikir rasional, dan disana tumbuh
kelompok intelektual yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan Gereja; Barat
memasuki abad renaisanse. Sementara dalam bidang ekonomi dan perdagangan mereka
telah mengalami kemajuan pesat dengan ditemukannya Tanjung Harapan sebagai
jalur perdagangan maritim langsung ke Timur, demikian pula penemuan benua
Amerika. Dengan dua temuan ini Eropa
memperoleh kemajuan dalam dunia perdagangan karena tidak bergantung lagi kepada
jalur lama yang dikuasai Islam.
Pada permulaan
abad ini tumbuh kesadaran nasionalisme hampir disemua negeri muslim yang
menghasilkan pembentukan negara-negara nasional. Tetapi persoalan mendasar yang
dihadapi adalah keterbelakangan umat Islam, terutama menyangkut kemampuan menguasai dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat paling penting dalam
mempertahankan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tanpa
mengenyampingkan agama, politik dan ekonomi. Upaya kearah itu tidak lepas dari
pembaharuan pemikiran yang dapat mengantarkan Islam
terlepas dari cengkraman kolonialisme Barat.
a. Dunia Islam Abad XX
Keunggulan -
keunggulan Barat dalam bidang industri, teknologi, tatanan politik, dan militer
tidak hanya menghancurkan pemerintahan negara-negara muslim yang ada pada waktu
itu, tetapi lebih jauh dari itu, mereka bahkan menjajah negara - negara muslim
yang ditaklukkannya, sehingga pada penghujung abad XIX hampir tidak satu negeri
muslim pun yang tidak tersentuh penetrasi kolonial Barat. Sebagaimana diketahui
bahwa pada tahun 1798 M, Napoleon Bonaparte menduduki Mesir. Walaupun
pendudukan Perancis itu berakhir dalam tiga tahun, mereka dikalahkan oleh
kekuatan Angkatan Laut Inggris, bukan oleh perlawanan masyarakat muslim. Hal
ini menunjukkan ketidakberdayaan Mesir – salah satu pusat Islam untuk menghadapi
kekuatan Barat.
Sejak Napoleon
menduduki Mesir, umat Islam
mulai merasakan dan sadar akan kelemahan dan kemundurannya, sementara mereka
juga merasa kaget dengan kemajuan yang telah dicapai Barat. Gelombang ekspansi
Barat ke negaranegara muslim yang tidak dapat dibendung itu memaksa para pemuka
Islam untuk mulai
berpikir guna merebut kembali kemerdekaan yang dirampas. Salah seorang tokoh
yang pikirannya banyak mengilhami gerakan - gerakan kemerdekaan adalah
Sayyed Jamaluddin Al Afghani. Ia dilahirkan pada tahun 1839 di Afghanistan dan meninggal di Istambul 18973. Pemikiran
dan pergerakan yang dipelopori Afghani ini disebut Pan-Islamisme, yang dalam
pengertian luas berarti solidaritas antara seluruh umat muslim di dunia internasional.
Tema perjuangan
yang terus menerus dikobarkan oleh Afghani dalam kesempatan apa saja adalah
semangat melawankolonialisme dengan berpegang kepada tema-tema ajaran Islam sebagaistimulasinya.
Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa diskursus tema-tema itu
antara lain
diseputar: Perjuangan melawan absolutisme para penguasa;Melengkapi sains dan
teknologi modern; Kembali kepada ajaran
Islam yang
sebenarnya; Iman dan keyakinan aqidah; Perjuangan melawan kolonial asing;
Persatuan Islam;
Menginfuskan semangat perjuangan dan perlawanan kedalam tubuh masyarakat Islam yang sudah separo mati;
dan Perjuangan melawan ketakutan terhadap Barat4.
Disamping
Afghani, terdapat dua orang ahli pikir Arab lainnya yang telah mempengaruhi
hampir semua pemikiran politik Islam pada
masa berikutnya. Dua pemikir itu adalah Muhammad Abduh(1849-1905) dan Rasyid
Ridha(1865-1935). Mereka sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan guru mereka
yakni Afghani, dan berkat mereka berdualah pengaruh Afghani diteruskan untuk
mempengaruhi perkembangan nasionalisme Mesir. Seperti halnya Afghani dan Abduh,
Ridha percaya bahwa Islam bersifat
politis, sosial dan spiritual. Untuk membangkitkan sifat-sifat tersebut, umat Islam mesti kembali kepada Islam yang sebenarnya
sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya atau para salafiah.
Untuk
menyebarkan gagasan - gagasannya ini Ridha menuangkannya dalam bingkai tulisan
- tulisan yang terakumulasi dalam majalah Al Manar yang dipimpinnya. Di daratan Eropa, Syakib Arsalan selalu
memotori gerakan - gerakan guna kemerdekaan Arab. Misi Arsalan adalah
menginternasionalkan berbagai masalah pokok yang dihadapi negara-negara muslim
Arab yang berasal dari kekuasaannegara-negara Barat; dan menggalang pendapat
seluruh orang Islam
Arab sehingga membentuk berdasarkan ikatan keIslaman, mereka dapat memperoleh
kemerdekaan dan memperbaiki tata kehidupan sosial yang lebih baik5.
Sementara
pimpinan masyarakat Druze dan pembesar Usmaniyah yang mengasingkan diri ke Eropa setelah Istambul
diduduki Inggris ini menyebarluaskan propagandanya melalui berbagai penerbitan
berkala, diantarannya melalui jurnal La Nation Arabe yang dicetak di Annemasse Prancis.
Meskipun pada
awalnya Arsalan mengambil alih konsep - konsep Pan-Islamismenya Afghani karena
merasakan perlunaya pemabaharuan dalam masyarakat, namun dalam praktiknya, ia
lebih menitikberatkan perjuanggannya pada Pan - Arabisme. Gerakan perjuangan
yang dilakukan oleh para tokoh tersebut, walaupun belum mencapai hasil yang
diinginkan yakni kemerdekaan, namun gema pemikiran Islam mereka sangat mewarnai era generasi
selanjutnya, untuk membebaskan negerinya dari penetrasi kolonial Barat.
b. Pembebasan
Diri dari Kolonial Barat
Gerakan
kemerdekaan yang dilakukan oleh umat Islam
selalu kandas ketika berhadapan dengan kolonialis Barat, tentu saja, karena
teknologi dan militer mereka jauh lebih maju dari yang dimiliki umat Islam. Menurut Afghani, untuk
menanggapi tantangan Barat, umat Islam
harus mempelajari contoh - contoh darinya. Tentu saja tidak semua komunitas Islam sependapat dengan yang
dimaksud belajar atau berguru kepada Barat. Para
ulama tradisional tetap mempertahankan corak non-koperatifnya, sementara putra
- putra negeri jajahan gelombang demi gelombang belajar kepada penjajah atau di sekolah-sekolah yang
sengaja diadakan
di negeri
jajahannya.
Dengan demikian,
terdapat dua kelompok pejuang kemerdekaan dengan basisnya masing-masing, ada
yang sifatnya nonkoperatif yang basisnya lembaga - lembaga pendidikan agama - di Indonesia pesantren,
sedang di Asia
Tengah dan Barat serta Afrika basisnya pada kelompok - kelompok tarekat-dan
yang bercorak kooperatif yaitu pakar terpelajar dengan pendidikan Barat.
Pada pertengahan
pertama abad XX terjadi perang dunia kedua yang melibatkan seluruh negara
kolonialis. Seluruh daratan Eropa dilanda
peperangan, disamping Amerika, Rusia dan Jepang. Kecamuk perang ini disatu sisi
melibatkan Jepang, Hitler dengan Nazi Jermannya, dan Mussolini dengan Fasis
Italianya, dan disisi lain terdapat Inggris, Perancis, dan Amerika yang
bersekutu, serta Rusia.
Konsekuensi atas
terjadinya peperangan ini adalah terpusatnya konsentrasi kekuatan militer di kubu masing-masing negara,
baik untuk keperluan ofensif maupun defensif. Pengkonsentrasian kekuatan
militer tersebut mengakibatkan ditarik dan berkurangnya kekuatan militer
kolonialis dinegeri-negeri jajahan mereka.
Dalam pada itu,
negara muslim tidak terlibat langsung dalam perang dunia keduasehingga
pemikiran mereka waktu itu terkonsentrasi pada perjuangan untuk kemerdekaan
negerinya masing-masing, dan kondisi
dunia yang berkembang pada saat itu memungkinkan tercapainya cita-cita luhur
tersebut. Mulai saat itu negara negara muslim yang terjajah memproklamirkan
kemerdekaannya.
Usaha untuk
memulihkan kembali kekuatan Islam
pada umumnya yang dikenal dengan gerakan pembaharuan didorong oleh dua faktor
yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang
sebagai penyebab kemunduran Islam,
dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat.
Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memandang tidak bisa
dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah
gagasan Pan - Islamisme yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahabiyah dan
Sanusiah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaluddin Al
Afghani [1839-1897 M].
Jika di Mesir bangkit dengan
nasionalismenya, dibagian negeri Arab lainnya lahir gagasan nasionalisme Arab
yang segera menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme itu
terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikianlah yang terjadi di
Mesir, Syria,
Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuweit. Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir gagasan Pan - Islamisme
yang dikenal dengan gerakan Khilafat juga mendapat pengikut, pelopornya adalah
Syed Amir Ali ( 1848 - 1928 M ). Gagasan itu tidak mampu bertahan lama, karena
terbukti dengan ditinggalkannya gagasan-gagasan tersebut oleh sebagian besar
tokoh-tokoh Islam. Maka,
umat Islam di
anak benua India ini tidak
menganut nasionalisme, tetapi Islamisme yang dalam masyarakat India dikenal
dengan nama komunalisme.
Sementara di Indonesia, partai politik
besar yang menentang penjajahan adalah Sarekat Islam [SI], didirikan pada tahun 1912 dibawah
pimpinan HOS Tjokroaminoto. Partai ini merupakan kelajutan dari Sarekat Dagang Islam [SDI] yang didirikan
oleh H. Samanhudi pada tahun 1911.
Tidak lama
kemudian, partaipartai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional Indonesia
[PNI] didirikan oleh Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia [PNI-Baru],
didirikan oleh Muhammad Hatta [1931], Persatuan Muslimin Indonesia [PERMI] yang
baru menjadi partai politik pada tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtamar Luthfi8.
Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai
politik merupakan modal utama umat Islam
dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh
politik Barat, dalam kenyataannya, memang partai-partai itulah yang berjuang
melepaskan diri dari kekuasaan penjajah.
Perjuangan
mereka biasanya teraplikasi dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti gerakan
politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun dalam bentuk pendidikan dan
propaganda yang tujuannya adalah mempersiapkan masyarakat untuk menyambut dan
mengisi kemerdekaan.Adapun negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama
kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitu pada
tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia
merdeka dari pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh tentara sekutu.
Akan tetapi, rakyat Indonesia
harus mempertahankan kemerdekaannya itu dengan perjuangan bersenjata selama lima tahun berturut-turut
karena Belanda yang didukung oleh tentara sekutu berusaha menguasai kembali
kepulauan ini.
Negara muslim
kedua yang merdeka dari penjajahan adalah Pakistan, yaitu tanggal 15 Agustus
1947 ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua Dewan Konstitusi, satu untuk
India dan lainnya untuk Pakistan-waktu itu terdiri dari Pakistan dan Bangladesh
sekarang-. Di Timur
Tengah, Mesir misalnya, secara resmi memperoleh kemerdekaannya dari Inggris
pada tahun 1922. akan tetapi, pada saat kendali pemerintahan dipegang oleh Raja
Farouk pengaruh Inggris sangat besar. Baru pada waktu pemerintahan Jamal Abd al
Nasser yang menggulingkan raja Farouk 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya
benar - benar merdeka. Mirip dengan Mesir, Irak merdeka secara formal pada
tahun 1932, tetapi rakyatnya baru merasakan benar-benar merdeka pada tahun
1958. sebelum itu, negara-negara sekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya
seperti Syria,
Yordania, dan Libanon pada tahun 1946. Di Afrika, Libya merdeka pada tahun 1951 M, Sudan dan
Maroko tahun 1956 M, serta Aljazair merdeka pada tahun 1962 M yang kesemuanya
itu membebaskan diri dari Perancis. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Yaman
Utara dan Yaman Selatan, serta Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula. Di Asia Tenggara, Malaysia
yang waktu itu merupakan bagian dari Singapura mendapat kemerdekaan dari
Inggris pada tahun 1957, dan Brunei Darussalam baru pada tahun 1984 M9.
Demikianlah satu
persatu negara-negara muslim memerdekakan dirinya dari penjajahan. Bahkan
beberapa diantaranya baru mendapat kemerdekaan pada tahun-tahun terakhir,
seperti negara-negara muslim yang dahulunya bersatu dalam Uni Soviet, yaitu
Uzbekistan, Turkmenia, Kirghistan, Kazakhstan, Tajikistan, dan Azerbaijan baru
merdeka pada tahun 1992, serta Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia pada
tahun 199210.
Namun, sampai
saat ini masih ada umat muslim yang berharap mendapatkan otonomi sendiri, atau
paling tidak menjadi penguasa atas masyarakat mereka sendiri. Mereka itu adalah
penduduk minoritas muslim dalam negara-negara nasional, misalnya Kasymir di India dan Moro di Filipina. Alasan mereka menuntut kebebasan
dan kemerdekaan itu adalah karena status minoritas seringkali mendapatkan
kesulitan dalam memperoleh kesejahteraan hidup dan kebebasan dalam menjalankan
ajaran agama mereka.
Pada zaman modern itu memang muncul dan dimulai di Eropa barat laut, yakni Inggris dan
Prancis. Eropa barat laut, bahkan
seluruh Eropa,
adalah daerah pinggiran. Maka timbul persepsi bahwa daerah pinggiran tidak
semestinya menjadi tempat lahirnya suatu terobosan sejarah yang begitu dasyat
seperti zaman modern
ini. Zaman modern itu tidak muncul dari
Eropa barat alut,
tentu akan muncul dalam waktunya yang tepat, entah di negeri China (karena industrialismenya)
atau di dunia Islam (karena etos
intelektualnya). Dan dari dua kemungkinan itu, dunia Islam memiliki peluang lebih besar, sebab
etos intelektual atau keilmuan adalah dasar dari pengembangan peradaban modern berkepentingan untuk memacu pembaruan,
peningkatan dan pengembangan kehidupan. ia berkepentingan mendorong seluruh
potensi manusia agar dapat berkreasi, agar membesar dan meningkat. Islam bukan hanya sebagai
ritus-ritus yang haruskan dilaksanakan, bukan hanya da’wah akhlak,bukan hanya
sebagai suatu sistem pemerintahan, sistem perekonomian atau sistem hubungan
internalsional. Islam merupakan
gerakan inopatif dan kreatif. Untuk mewujudkan sebuah kehidupan yang belum
pernah ada sebelumnya dan belum pernah diatur oleh perundang-undang yan dibuat
orang pada zaman sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Daya inopasi dan kreasi yang dibawa oleh Islam itu ditunjukan kepada
setiap hati atau kalbu, dan kalbu selanjutnya mengejawatahkannya dalam
kenyataan.
Dalam memahami kedudukan dan
fungsi ilmu pengetahuan dan informasi-informasi ilmiah (terutama di zaman sekarang yang sering
disebut era informasi), pengertian Qur’ani tentang “ayat” itu perlu dipahami
dengan baik dan direnungkan secara mendalam. tetapi dalam telaah lebih lanjut,
perkataan “ayat” juga mengandung makna “sumber pelajaran” atau” sumber mencari
dan menemukan kebenaran”, seperti perkataan itu digunakan dalam rangkaian frase
“ayat al-qur’an”.
Gerakan kebangkitan yang
dipelopori al-jabarti di
atas terputus beberapa tahun ketika terjadi penduduk Napoleon dari prancis atas
mesir (1798-1802 M). Namun pendudukan itu sendiri memberikan saham yang tidak
dapat dikatakan kecil bagi kebangkitan mesir pada masa selanjutnya, termasuk
dalam bidang sejarah. Setelah prancis meninggalkan mesir, penguasa baru mesir
Muhammad Ali Pasya bertekad untuk memulai pembangunan mesir dengan meniru
barat. Sekolah-sekolah baru dibuka dan para mahasiswa dikrim ke Eropa. Pada masa ini gerakan
penulisan sejarah yang dipelopori al-jabarti disusul oleh Isma’il al-Kasyasyaf
dan al-athathar yang mulai mendapat pengikut di al-azhar juga terhenti sebagaimana pada
masapendudukan napoleon tersebut. Di
awal paroan kedua abad ke-19, muncul dua kelompok yang menjadi pelopor kedua
setelah al-jabarti dalam kebangkitan penulisan sejarah.
Modernisasi di Wilayah Turki
Negara Turki adalah negara di dua
benua. Dengan luas wilayah sekitar 814.578 kilometer persegi, 97% (790.200 km
persegi) wilayahnya terletak di benua Asia dan sisanya sekitar 3% (24.378 km
persegi) terletak di benua Eropa. Posisi geografi yang strategis itu menjadikan
Turki jembatan antara Timur dan Barat.
Bangsa Turki
diperkirakan berasal dari Asia Tengah. Secara historis, bangsa Turki mewarisi peradaban
Romawi di Anatolia, peradaban Islam, Arab dan Persia sebagai warisan dari
Imperium Usmani dan pengaruh negara-negara Barat Modern. Hingga saat ini bangunan-bangunan
bersejarah masa Bizantium masih banyak ditemukan di Istanbul dan kota-kota lainnya di Turki. Yang paling terkenal
adalah Aya Sofya, suatu gereja di masa Bizantium yang berubah fungsinya menjadi
mesjid pada masa Khalifah Usmani dan sejak pemerintahan Mustafa Kemal hingga
kini dijadikan musium.
Peradaban Islam dengan pengaruh
Arab dan Persia
menjadi warisan yang mendalam bagi masyarakat Turki sebagai peninggalan Dinasti Usmani. Islam
di masa kekhalifahan diterapkan sebagai agama yang mengatur hubungan antara
manusia sebagai makhluk dengan Allah SWT sebagai Khalik, Sang Pencipta; dan
juga suatu sistem sosial yang melandasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Islam yang muncul di Jazirah Arab dan telah berkembang lama di wilayah Persia,
berkembang di wilayah kekuasaan Kekhalifahan Turki dengan membawa peradaban dua bangsa
tersebut. Perkembangan selanjutnya memperlihatkan pengaruh yang kuat kedua
peradaban tersebut ke dalam kebudayaan bangsa Turki. Kondisi ini menimbulkan kekeliruan pada masyarakat awam
yang sering menganggap bahwa bangsa Turki
sama dengan bangsa Arab. Suatu anggapan yang keliru yang selalu ingin
diluruskan oleh bangsa Turki
sejak tumbuhnya nasionalisme pada abad ke-19. Selanjutnya arah modernisasi yang
berkiblat ke Barat telah menyerap unsur-unsur budaya Barat yang dianggap modern. Campuran peradaban Turki, Islam dan Barat, inilah yang telah
mewarnai identitas masyarakat Turki.
Masyarakat Indonesia
mengenal Turki
sebagai suatu negara berpenduduk mayoritas Muslim. Kita juga mengenal Turki sebagai bangsa yang
pernah memimpin dunia Islam selama tujuh ratus tahun, dari permulaan abad ke-13
hingga jatuhnya Kekhalifahan Usmani pada awal abad ke-20. Fenomena kehidupan
masyarakat Turki
menjadi menarik ketika negara Turki
yang berdiri tahun 1923 menyatakan sebagai sebuah negara sekuler, di mana Islam
yang telah berfungsi sebagai agama dan sistem hidup bermasyarakat dan bernegara
selama lebih dari tujuh abad, dijauhkan peranannya dan digantikan oleh sistem
Barat. Tulisan ini mencoba memaparkan fenomena tersebut dari pandangan
sosiologi sejarah.
Dari Westernisasi menuju Sekularisasi
Yang dianggap sebagai momentum
pertama kontak antara Turki
dengan dunia Barat adalah jatuhnya konstantinopel, ibukota Bizantium, ke tangan
pasukan Turki Usmani dibawah pimpinan
Sultan Muhammad II pada tahun 1453. Konstantinopel yang selanjutnya diganti
menjadi Istanbul, adalah suatu kota
metropolis yang berada di benua Asia dan
Eropa. Inilah titik awal masa keemasan Turki
Usmani, yang terus cemerlang hingga abad ke-18 dengan wilayah kekuasaan yang
sangat luas membentang dari Hongaria Utara di Barat hingga Iran di Timur; dari
Ukrania di Utara hingga Lautan India di Selatan.
Turki Usmani berhasil membentuk
suatu Imperium besar dengan masyarakat yang multi-etnis dan multi-religi.
Kebebasan dan otonomi kultural yang diberikan Imperium kepada rakyatnya yang
non-muslim, adalah suatu bukti bagi dunia kontemporer bahwa sistem kekhalifahan
dengan konsep Islam telah mempertunjukkan sikap toleransi dan keadilan yang
luhur.
Sultan adalah sekaligus
khalifah, artinya sebagai pemimpin negara, Ia juga memegang jabatan sebagai
pemimpin agama. Kekhalifahan Turki
Usmani didukung oleh kekuatan ulama (Syeikhul Islam) sebagai pemegang hukum
syariah dan kekuatan tentara, yang dikenal dengan sebutan tentara Janisssari.
Kekuatan militer yang disiplin inilah yang mendukung perluasan Imperium Usmani,
dan juga yang menyebabkan keruntuhannya pada abad ke-20.
Kegagalan pasukan Turki dalam usaha penaklukan
Wina pada tahun 1683, merupakan suatu awal memudarnya kecermelangan Imperium Turki. Kekalahan tersebut
dimaknai sebagai melemahnya kekuatan pasukan Turki dan menguatnya pasukan Eropa. Lebih
disadari lagi bahwa kekalahan itu menandai kelemahan teknik dan militer pasukan
Turki. Inilah yang menjadi awal
munculnya upaya mencontoh teknologi militer Barat yang dianggap telah maju.
Selanjutnya kondisi
ini membawa Turki Usmani pada suatu
masa pembaruan atau modernisasi.
Setelah Perang Dunia I pada
tahun 1918, dengan kekalahan pihak Sentral yang didukung oleh Turki, Imperium Turki Usmani mengalami masa
kemuduran yang sangat menyedihkan. Satu persatu wilayah kekuasaan yang jauh
dari pusat membebaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani. Bahkan lebih buruk lagi
negara-negara sekutu berupaya membagi-bagi wilayah kekuasaan Turki untuk dijadikan negara
koloni mereka. Kondisi
porak porandanya Imperium menumbuhkan semangat nasionalisme pada generasi muda Turki ketika itu. Pemikiran tentang identitasa
bangsa dan pentingnya suatu negara nasionalis yang meliputi bangsa Turki menjadi wacana yang
banyak diperdebatkan.
Pada tahun 1919-1923 terjadi
revolusi Turki di bawah pimpinan
Mustafa Kemal. Kecemerlangan karier politik Mustafa Kemal dalam peperangan,
yang dikenal sebagai perang kemerdekaan Turki,
mengantarkannya menjadi pemimpin dan juru bicara gerakan nasionalisme Turki. Gerakan nasionalisme ini, yang pada waktu
itu merupakan leburan dari berbagai kelompok gerakan kemerdekaan di Turki, semula bertujuan untuk
mempertahankan kemerdekaan Turki
dari rebutan negara-negara sekutu. Namun pada perkembangan selanjutnya gerakan
ini diarahkan untuk menentang Sultan.
Mustafa Kemal mendirikan Negara
Republik Turki di
atas puing-puing reruntuhan kekhalifahan Turki
Usmani dengan prinsip sekularisme, modernisme dan nasionalisme. Meskipun
demikian, Mustafa Kemal bukanlah yang pertama kali memperkenalkan ide-ide
tersebut di Turki.
Gagasan sekularisme Mustafa Kemal banyak mendapat inspirasi dari pemikiran Ziya
Gokalp, seorang sosiolog Turki yang
diakui sebagai Bapak Nasionalisme Turki.
Pemikiran Ziya Gokalp adalah sintesa antara tiga unsur yang membentuk karakter
bangsa Turki, yaitu ke-Turki-an, Islam dan
Modernisasi.
Kronologi sejarah di atas,
penulis uraikan untuk menerangkan suatu kondisi
sosial politik Imperium Usmani yang membentuk pemikiran dan gerakan sekuler
Mustafa Kemal. Dengan demikian Mustafa dan pengikutnya menggerakkan
reformasi-reformasi di Turki
dengan dasar-dasar yang telah diletakkan oleh para pembaru-pembaru di
kekhalifahan Turki.
Pada perkembangan selanjutnya ide-ide reformasi Mustafa Kemal menjadi suatu
gerakan politik pemerintah yang dikenal dengan sebutan Kemalisme.
Kemalisme: Suatu Revolusi Budaya dan Negara (1923-1950)
Politik Kemalis ingin memutuskan
hubungan Turki
dengan sejarahnya yang lalu supaya Turki
dapat masuk dalam peradaban Barat. Oleh karena itulah penghapusan kekhalifahan
merupakan agenda pertama yang dilaksanakan. Pada tanggal 1 November 1922 Dewan
Agung Nasional pimpinan Mustafa Kemal menghapuskan kekhalifahan. Selanjutnya
pada tanggal 13 Oktober 1923 memindahkan pusat pemerintahan dari Istanbul ke Ankara.
Akhirnya Dewan Nasional Agung pada tanggal 29 Oktober 1923 memproklamasikan
terbentuknya negara Republik Turki
dan mengangkat Mustafa Kemal sebagai Presiden Republik Turki.
Setelah meniadakan kekhalifahan,
politik Kemalisme menghapuskan lembaga-lembaga syariah, meskipun sebenarnya
peranan lembaga ini sudah sangat dibatasi oleh para pembaru Kerajaan Usmani.
Bagi Kemalis, syariat adalah benteng terakhir yang masih tersisa dari sistem
keagamaan tradisional. Lebih lanjut lagi Kemalis menutup sekolah-sekolah
madrasah yang sudah ada sejak tahun 1300-an sebagai suatu lembaga pendidikan
Islam.
Reformasi agama adalah salah
satu contoh tindakan ekstrim dari rezim Kemalis setelah penghapusan khalifah.
Reformasi ini bertujuan untuk memisahkan agama dari kehidupan politik negara
dan mengakhiri kekuatan tokoh-tokoh agama dalam masalah politik, sosial dan
kebudayaan. Selain itu Mustafa Kemal juga mengajukan pemikiran tentang
nasionalisme agama. Menurutnya agama merupakan suatu lembaga sosial dan karena
itu harus disesuaikan dengan sosial dan budaya masyarakat Turki.
Suatu komite dibentuk di
Fakultas Teologi di Universitas Istanbul
untuk memodernisasikan Islam. Komite ini menyebarkan keinginan Mustafa kemal
untuk mengganti bentuk dan suasana mesjid seperti bentuk dan suasana gereja di
negara-negara Barat, dengan menekankan pada: pentingnya mesjid yang bersih,
dengan bangku-bangku dan ruang tempat menyimpan mantel; mewajibkan jamaah masuk
dengan sepatu yang bersih; menggantikan bahasa Arab dengan bahasa Turki; menyediakan alat-alat musik ditempat
shalat untuk memperindah bentuk shalat, dan mengubah teks-teks khutbah yang
telah ada dengan khutbah yang berisi pemikiran agama berdasarkan filsafat
Barat. Pada tahun 1932 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengganti pengucapan azan
ke dalam bahasa Turki,
yang amat ditentang oleh mayoritas masyarakat Muslim Turki.
Reformasi agama, yang bentuknya
upaya Turkifikasi Islam atau nasionalisasi Islam ini merupakan bentuk campur
tangan pemerintah Kemalis dalam kehidupan beragama di masyarakat Turki. Sekularisme yang
sejatinya memisahkan hubungan agama dengan pemerintahan, di mana negara
menjamin kebebasan beribadah, bagi warga negara, pada pelaksanaannya dijalankan
dengan semangat nasionalisme yang radikal dan dipaksakan oleh Kemalis. Namun
penerapan nasionalisasi agama ini hanya bertahan hingga akhir pemerintahan
Kemalis (Partai Rakyat Republik). Sejak tahun 1950, azan kembali diucapkan
dalam bahasa Arab. Mesjid-mesjid di Turki pun hingga saat ini tetap menunjukkan bentuk-bentuk
yang umum sebagaimana mesjid di negara-negara lainnya.
Peradaban menurut Mustafa Kemal,
berarti peradaban Barat. Tema utama dari pandangannya tentang pem-Barat-an
adalah bahwa Turki
harus menjadi bangsa Barat dalam segala tingkah laku. Untuk itu Pemerintah
Kemalis mengeluarkan kebijakan larangan menggunakan pakaian-pakaian yang
dianggap pakaian agama di tempat-tempat umum dan menganjurkan masyarakat Turki menggunakan pakaian
sebagaimana orang-orang Barat berpakaian (berjas dan bertopi). Peraturan ini
mulai efektif pada November 1925 dan hingga saat ini masyarakat Turki menggunakan pakaian
a-la Barat. Sampai saat ini pemakaian jas sudah menjadi ciri umum dari
masyarakat Turki.
Sedangkan pemakaian topi menghilang bersamaan dengan menghilangnya kebiasaan
memakai topi itu pada masyarakat Eropa.
Mustafa Kemal juga mengkritik
pemakaian jilbab oleh wanita-wanita Turki, tapi semasa hidupnya tidak ada undang-undang yang
secara tegas melarang pemakaian jilbab tersebut. Pelarangan jilbab secara
konstitusional baru terjadi pada tahun 1998, sebagai reaksi militer atas
munculnya fenomena kesadaran yang tinggi dari muslimah-muslimah Turki dalam menggunakan
jilbab dan juga reaksi atas kemenangan Partai Islam Refah pada pemilu tahun
1995.
Selain reformasi agama,
reformasi yang paling penting dari rezim Kemalis adalah reformasi bahasa.
Tulisan Arab diganti dengan tulisan Latin, berdasarkan undang-undang yang
diputuskan oleh Dewan Nasional Agung pada 3 Novemeber 1928. Tujuan reformasi
bahasa adalah membebaskan bahasa Turki
dari ‘belenggu’ bahasa asing. Penekanannya adalah pemurnian bahasa Turki dari bahasa Arab dan
Persi. Mustafa Kemal mengadakan kunjungan di banyak tempat untuk mengajar
secara langsung tulisan baru pada rakyat Turki.
Reformasi bahasa ini memberi
sumbangan yang berharga bagi perkembangan linguistik bahasa Turki saat ini. Penelitian
yang mendalam terhadap akar bahasa dan struktur bahasa Turki membuktikan bahwa
bahasa Turki termasuk kelompok bahasa
Altay, yaitu bahasa-bahasa yang dipergunakan bangsa-bangsa yang mendiami wilayah
yang membentang dari Finlandia hingga Manchuria. Dari segi gramatikal, bahasa Turki termasuk bahasa
aglutinatif, yaitu bahasa berimbuhan. Struktur sintaksis memperlihatkan pola
Objek-Predikat, dimana Predikat selalu berada di akhir kalimat. Ciri-ciri struktural
bahasa Turki
memperlihatkan perbedaannya yang jelas dengan bahasa Arab.
Komite ahli hukum mengambil
Undang-Undang sipil Swiss untuk memenuhi keperluan hukum di Turki menggantikan
Undang-Undang Syariah, berdasarkan keputusan Dewan Nasional agung tanggal 17
februari 1926. Undang-Undang Sipil yang mulai diberlakukan pada tanggal 4
Oktober 1926 ini antara lain tentang: menerapkan monogami; melarang poligami
dan memberikan persamaan hak antara pria dan wanita dalam memutuskan perkawinan
dan perceraian. Sebagai konsekuensi dari persaman hak dan kewajiban ini hukum
waris berdasarkan Islam dihapuskan. Selain itu undang-undang sipil juga memberi
kebebasan bagi perkawinan antar agama.
Pada I Januari 1935, pemerintah
mengharuskan pemakaian nama keluarga bagi setiap orang Turki dan melarang pemakaian gelar-gelar yang
biasa dipakai pada masa Turki
Usmani. Mustafa Kemal menambahkan nama Ataturk, yang berarti Bapak Bangsa Turki, sebagai nama keluarga.
Pada tahun 1935 sistem kalender hijriyah diganti dengan sistem kalender masehi;
hari Minggu dijadikan sebagai hari libur menggantikan hari libur sebelumnya
yaitu hari Jumat.
Tentang sekularisasi dan
modernisasi di Turki
pada masa Rezim Kemalis seperti diuraikan di atas, Bryan S. Turner, seorang
guru besar sosiologi di Universitas Flinders (Australia Selatan), menyimpulkan
bahwa sekularisme tersebut merupakan suatu bentuk pemaksaan dari pemerintah
rezim, bukanlah sekularisasi yang tumbuh sebagai suatu konsekuensi dari proses
modernisasi seperti di negara-negara Eropa. Selain itu sekularisasi di Turki pada saat itu merupakan
peniruan secara sadar pola tingkah laku masyarakat Eropa yang dianggap modern dan lebih maju
(1984:318). Bagi kemalis, manusia Turki
baru tidak saja harus berpikiran rasional seperti orang-orang Eropa, tetapi
juga harus meniru tatacara berperrilaku dan berpakaian seperti mereka.
Masyarakat Turki Pasca Kemalisme
Mustafa Kemal meninggal dunia
pada tanggal 10 November 1938, setelah tiga kali menjabat sebagai presiden
Republik Turki,
yaitu pada tahun1927, 1931 dan 1935. Mustafa Kemal diakui berhasil menciptakan
sistem pemerintahan parlementer dan meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi
kehidupan demokratisasi di Turki.
Partai Republik rakyat adalah partai politik yang dibentuk Mustafa Kemal untuk
menjalankan roda Pemerintahan. Meskipun demikian, sejarah Turki menunjukkan
pemerintahan Kemal dengan sistem pemerintahan satu partai tidak memberi ruang
bagi kemunculan partai oposisi. Iklim Demokrasi muncul kemudian sejak Turki menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 dan terus berkembang
menunjukkan kemajuan yang pesat. Daniel Lerner (di dalam Memudarnya Masyrakat
Tradisional, 1983) telah melakukan penelitian yang mendalam di suatu kota dekat Ankara
pada tahun 1950-an, dan menyimpulkan bahwa negara Turki telah tumbuh menjadi negara yang relatif
lebih stabil dan demokratis di banding dengan negara-negara lain di kawasan
Timur Tengah.
Reformasi budaya, terutama
sekularisasi agama dan pemakaian hukum Barat menggantikan hukum Islam,
memperlihatkan proses dinamis dari penerimaan dan penolakan masyarakat Turki. Sekularisasi agama
pada masa Kemalis (1923-1950) melahirkan generasi Turki yang jauh dari agamanya. Bahasa Turki yang ditulis dalam bahasa latin telah
menjadi bahasa nasional Turki.
Sedangkan pemakaian hukum-hukum Barat juga diadaftasi dengan berbagai tingkatan
kesulitan di berbagai lapisan msyarakat.
Pada pemilu 1950, kekuasaan
tunggal Partai Republik Rakyat berakhir dan digantikan oleh partai sekuler
beraliran liberal, yaitu Partai Demokrat. Partai pimpinan Adnan Menderes ini mencoba mngoreksi penyimpangan-penyimpangan
sekularisasi yang sudah dijalankan oleh Partai Republik Rakyat sejak berdirinya
negara Turki. Namun
Adnan menderes juga tidak ingin Kemalisme digantikan dengan ideologi lain.
Sejak masa pemerintahan Partai Demokrat inilah masyarakat Muslim yang merupakan
mayoritas (98 persen dari 70 juta jiwa) penduduk Turki dapat melakukan shalat di mesjid-mesjid
umum, berpuasa dan melakukan ibadah naik haji, yang pada masa Rezim Kemalis sulit
dilakukan. Selain itu madrasah-madrasah kembali di buka, sehingga para orang
tua dapat kembali menyekolahkan anak mereka di sekolah agama, setelah mereka
menyadari bahwa mereka tumbuh sebagai suatu generasi yang kering dari nilai dan
ilmu agama. Madrasah-madrasah ini kembali ditutup pada tahun 1998 setelah
dianggap sebagai lembaga yang mendidik kelompok Islam fundamental yang
keberadaannya menguat dan mengancam ideologi sekuler Turki.
Perkembangan masyarakat di Turki menemukan karakter
sendiri yang unik sebagai suatu bentuk pertentangan yang rumit antara pemikiran
Kemalisme, yang fundamental dan radikal, pemikiran liberalis yang meskipun
menentang Kemalisme tetapi tidak ingin ideologi ini diganti, dan pemikiran
Islam, baik yang konservatif maupun moderat. Semangat masyarakat Turki modern
untuk menjadi suatu bangsa yang modern
dan demokratis, selalu disertai dengan kesadaran yang mendalam tentang watak
dan idealisme ke-Turki-an dan ke
Islaman. Penulis melihat bahwa gagasan sintesa tentang Islam, Turki dan Barat yang pernah
dimunculkan oleh Ziya Gokalp (Bapak naasionalis Turki) mulai terimplementasikan dengan wajar dan
alami, sedangkan Kemalisme dijadikan ideologi negara yang keberadaannya sangat
dijaga oleh kekuatan militer Turki.
Militer Turki mengambil peran sebagai
penjaga ideologi Kemalisme sebagai prinsip negara. Jatuhnya pemerintahan Partai
Islam Refah pada tahun 1998 adalah suatu bukti masih dominannya pengaruh
politik militer di Turki. Namun
kebangkitan Islam, baik itu suatu fenomena kesadaran umat Islam Turki untuk kembali mempelajari nilai-nilai
Islam di tengah kebijakan sekuler pemerintah dan fenomena dukungan masyarakat
Islam terhadap kemenangan partai politik yang dianggap membawa aspirasi Islam
terus memperlihatkan kemajuan ke arah yang positif. Aspirasi dan dukungan yang
besar dari masyarakat Turki
kembali mengantarkan kemenangan partai berbasis Islam: Partai Keadilan dan
Pembangunan dalam pemilu 2002. Meskipun secara tegas pemimpin partai ini
menyatakan bahwa Partai Keadilan dan Pembangunan bukanlah partai Islam dan
mereka menyatakan komitmennya yang sungguh-sungguh menjaga ideologi sekularisme
di Turki, nampaknya
Rakyat Turki lebih melihat mereka
sebagai sosok-sosok muslim yang shaleh yang diharapkan dapat membawa Turki ke arah yang lebih
maju.
Sebagai penutup, dari pengalaman
hidup di negara Turki,
penulis menarik satu kesimpulan bahwa opini masyarakat Turki hingga saat ini masih
terpecah dalam penilaian terhadap Mustafa Kemal Ataturk: Ia dihormati sebagai
penyelamat bangsa dan pendiri negara modern Turki,
dan dikecam sebagai pengkhianat yang bertanggung jawab atas hilangnya
kekahlifahan Islam. Kontradiksi ini menjadi bagian dari sejarah Turki yang
tidak mudah disepahamkan.
Sumber:
0 komentar: