SEJARAH ISLAM
Perbedaan Kondisi Masyarakat
Arab pada Zaman Pra-Islam
dengan
Zaman
Sesudah Islam
Perbedaan antara zaman pra-Islam dengan zaman sesudah Islam ditinjau
dari aspek sosial, agama (ideologi) dan kebudayaan akan diuraikan dalam
penjelasan berikut :
1. Zaman pra-Islam
a. Aspek Sosial
Di jazirah Arabia, pada zaman sebelum Rasullulah bangsa Arab hidup dengan tenang jauh dari bentuk
keguncangan seperti yang terjadi pada negara-negara di sekitarnya (Persia, Romawi, Yunani dan India). Mereka tidak memiliki
kemewahan dan peradaban Persia
yang memungkinkan mereka kreatif dan pandai menciptakan
kemerosotan-kemerosotan, filsafat, keserbabolehan dan kebejatan moral yang
dikemas dalam bentuk agama. Mereka juga tidak memiliki kekuatan militer Romawi
yang mendorong mereka melakukan ekspansi ke negara-negara tetangga. Mereka juga
tidak memilki kemegahan filosofis dan dialektika Yunani, yang menjerat mereka
menjadi mangsa mitos dan khurafat.
Karakteristik bangsa Arab seperti bahan baku yang belum diolah dengan
bahan lain; masih menampakkan fitrah kemanusiaan dan kecenderungan yang sehat
dan kuat, serta cenderung kepada kemanusiaan yang mulia, seperti setia,
penolong, dermawan, rasa harga diri dan kesucian. Hanya saja mereka tidak
memiliki ma’rifat (pengetahuan) yang
akan mengungkapkan jalan ke arah itu. Karena mereka hidup di dalam kegelapan,
kebodohan dan alam fitrah yang pertama. Akibatnya, mereka sesat jalan, tidak
menemukan nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Masyarakat Arab pada zaman ini
belum terbentuk secara teratur, tertib dan disiplin, hal ini disebabkan belum
adanya penegakan hukum yang mengikat masyarakat tersebut.
Bangsa Arab sebelum Islam , hidup
bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri, satu sama lain
kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional;
yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar perhubungan dalam kabilah
itu ialah pertalian darah. Rasa ashabiyah
(kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga jika terjadi salah
seorang diantara mereka teraniaya maka seluruh anggota kabilah itu akan bangkit
membelanya. Semboyan mereka, “tolong saudaramu baik dia menganiaya atau
teraniaya. “
Zaman pra-Islam juga dikenal dengan
zaman Jahiliyah karena pada zaman itu mereka (masyarakat Arab) membunuh anak
dengan dalih kemuliaan dan kesucian; memusnahkan harta kekayaan dengan alasan
kedermawanan; main hakim sendiri-sendiri dan membangkitkan peperangan diantara
mereka dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Selain itu juga juga terjadi
bentuk-bentuk penyimpangan lainnya yang seringkali dilakukan oleh masyarakat
Arab seperti berzina dan mabuk-mabukan serta adanya jual-beli manusia
(perbudakan). Sehingga hak-hak asasi manusia, terutama bagi kaum wanita pada
saat itu terabaikan.
b. Aspek Agama (ideologi)
Bangsa Arab adalah anak-anak Ismail as. Karena itu, mereka mewarisi
millah dan minhaj yang pernah dibawa
oleh bapak mereka. Millah dan minhaj yang menyerukan tauhidullah, beribadah kepada-Nya,
mematuhi hukum-hukum-Nya, mengagungkan tempat-tempat suci-Nya, khususnya Baitul Haram, menghormati
syiar-syiar-Nya dan mempertahankannya.
Setelah kurun waktu, mereka mulai
mencampur-adukkan kebenaran yang diwarisinya itu dengan kebatilan yang menyusup
pada mereka. Seperti semua umat dan bangsa, apabila telah dikuasai kebodohan
dan dimasuki tukang-tukang sihir dan ahli kebatilan, maka tersusunlah
kemusyrikan kepada mereka. Mereka kembali menyembah berhala-berhala.
Tradisi-tradisi buruk dan kebejatan
moral pun tersebar luas. Akhirnya, mereka jauh dari cahaya tauhid dan ajaran hanifiyah. Selama beberapa abad mereka
hidup dalam kehidupan Jahiliyah samapi akhirnya datang bi’tsah Muhammad saw.
Orang yang pertama kali memasukkan
kemusyrikan kepada mereka dan mengajak mereka menyembah berhala adalah Amr bin Luhayyi bin Qam’ah, nenek moyang Bani Khuza’ah.
Penyrmbahan berhala dan kemusyrikan telah tersebar di jazirah Arab. Mereka
meninggalkan aqidah tauhid dan mengganti agama Ibrahim. Juga Ismail dan yang lainnya.
Akhirnya mereka mengalami kesesatan, meyakini berbagai keyakinan yang keliru,
dan melakukan tindakan-tindakan yang buruk, sebagaimana umat-umat lainnya.
Mereka melakukan itu semua karena
kebodohan, ke-ummiyan dan keinginan
membalas terhadap kabilah-kabilah dan bangsa-bangsa yang ada di sekitarnya.
Meskipun demikian diantara mereka masih terdapat orang-orang walaupun sedikit,
yang berpegang teguh dengan aqidah tauhid
dan berjalan sesuai ajaran hanifiyah:
meyakini hari kebangkitan, dan mempercayai bahwa Allah akan memberi pahala
kepada orang-orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, membenci
penyembahan berhala yang dilakukan oleh orang-orang Arab, dan mengecam
kesesatan pikiran dan tindakan-tindakan buruk lainnya. Di antara tokoh dan penganut
sisa-sisa hanifiyah ini yang terkenal
antara lain : Qais bi Sa’idah al Ayadi, Ri’ab asy Syani dan Pendeta Bahira.
Selain itu, dalam tradisi-tradisi
mereka juga masih terdapat “sisa-sisa” prinsip-prinsip agama hanif dan
syi’ar-syi’arnya, kendatipun kian lama kian berkurang. Karena itu kejahilan
mereka, dalam hal dan keadaan tertentu, masih ter-shibghah (terwarnai) oleh pengaruh, prinsip-prinsip dan
syi’ar-syi’ar hanifiyah sekalipun
syi’ar-syi’ar dan prinsip-prinsip tersebut hampir tidak terlihat di kehidupan
mereka, kecuali sudah dalam bentuknya yang tercemar.
c. Aspek Budaya
Masyarakat Arab pada zaman pra-Islam awalnya belum mengalami
perkembangan budaya yang maju. Mereka belum memiliki peradaban yang megah
seperti halnya di Pesia, mereka juga tidak memiliki kekuatan militer Romawi
yang mendorong mereka melakukan ekspansi ke negara-negara tetangga dan belum
pula memilki kemegahan filosofis dan dialektika seperti di Yunani. Sebelum
telah dijelaskan bahwa masyarakat Arab pada saat itu masih bersifat seperti bahan baku
yang belum diolah dengan bahan lain; masih menampakkan fitrah manusia dan
cenderung kepada kemanusiaan yang mulia. Namun karena mereka tidak memilki
pengetahuan, hidup dalam kegelapan, sihir dan kebodohan. Akibatnya, mereka
terbawa ke dalam ajaran-ajaran sesat. Mencampuradukan kebenaran yang ada dengan
kebatilan. Sehingga masuklah kemusyirikan kepada mereka untuk kembali pada
tradisi menyembah berhalah Kebudayaan
masyarakat Arab pada zaman pra-Islam yang diwarnai dengan adanya tradisi
menyembah patung-patung dan batu-batu berhala meyebar secara luas. Dalam menyembah
berhala terdapat tradisi memotong
telinga telinga binatang untuk dipersembahkan thagut-thagut, menyembelih binatang untuk tuhan-tuhan mereka,
membiarkan unta-unta untuk sesembahan.
Selain itu, adapula
tradisi-tradisi mereka yang masih
menggunakan prinsip-prinsip agama hanif dan
syiar-syiarnya, meskipun kian lama kian memudar. Seperi memuliakan Ka’bah, Thawaf, Haji, Umrah, Wuquf, di Arafah dan berqurban. Semua
itu merupakan syariat dan warisan peribadahan sejak Nabi Ibrahim as. tetapi
mereka melaksanakan tidak sesuai ajaran yang sebenarnya.
Dalam kehidupan masyarakat di zaman
pra-Islam juga terlihat telah membudayanya perbuatan-perbuatan menyimpang
(maksiat), seperti berzina, mabuk-mabukan, pembunuhan, perbudakan dan
sebagainya. Perbuatan-perbuatan tersebut telah dianggap sebagai hal biasa bagi
masyarakat, bahkan mereka merasa senang melakukannya karena ada kebanggaan dan kehormatan
tersendiri bagi mereka.
2. Zaman Islam
(Zaman Rasulullah saw)
a. Aspek Sosial
Satu pengaruh yang menonjol dari Islam terhadap mental bangsa Arab
ialah timbulnya kesadaran akan arti dan pentingnya disiplin dan ketaatan. Sebelum Islam, keinsyafan yang demikian itu
sangat tipis bagi mereka. Padahal untuk membina suatu masyarakat yang teratur
dan tertib amat diperlukan disiplin dan kepatuhan kepada pimpinan, hal ini pada
masa Jahiliyah belum jelas kelihatan. Dalam mengatur masyarakat, Islam
mengharamkan menumpahkan darah dan dilarangnya orang menuntut bela dengan cara
menjadi hakim sendiri-sendiri seperti zaman Jahiliyah, tetapi Islam menyerahkan
penuntutan bela itu kepada pemerintah. Islam pula banyak meletakkan dasar-dasar
umum masyarakat yang mengatur hubungan antara individu dengan individu, antara
individu dengan masyarakatnya, antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok
lainnya, hukum keluarga sampai kepada soal bernegara.
Islamlah yang pertama-pertama
mengangkat derajat wanita; memberikan hak-hak kepada wanita sesuai dengan wanitaannya.
Islam menegakkan pula ajaran persamaan antara manusia dan memberantas
perbudakan.
Sesudah bangsa Arab memeluk Islam
kekabilahan mulai ditinggalkan, dan timbullah kesatuan persaudaraan dan
kesatuan agama, yaitu kesatuan umat manusia di bawah satu naungan panji kalimat
syahadat. Dasar pertalian darah diganti dengan dasar pertalian agama.
Demikianlah bangsa Arab yang tadinya hidup bercerai berai,
berkelompok-kelompok, berkat agama Islam mereka menjadi satu kesatuan bangsa,
kesatuan umat, yang mempunyai pemerintahan pusat, dan mereka tunduk kepada satu
hukum yaitu hukum Allah dan Rasul-Nya.
b. Aspek Agama (Ideologi)
Ketika cahaya ad-Din al-hanif
merebak kembali, dengan bi’tsah penutup
para Nabi (Muhammad saw), wahyu Ilahi datang menyentuh segala kegelapan dan
kesesatan yang telah berakar selama rentang zaman tersebut. Kemudian
menghapuskan dan menyinarinya dengan cahaya iman tauhid dan prinsip-prinsip
keadilan, di samping menghidupkan kembali “sisa-sisa” hanifiyah yang ada. Maka
Jahiliyah sudah mulai “menyadari” jalan terbaik yang harus diikutinya, tidak
lama sebelum bi’tsah Rasulullah saw. Pemikiran-pemikiran Arab sudah mulai
menentang kemusyrikan, penyembahan berhala dan segala khurafat Jahiliyah. Puncak kesadaran dan revolusi ini tercermin dengan
bi’tsah Nabi saw dan dakwahnya yang
baru.
Makna dari epmikiran ini, bahwa
sejarah Jahiliyah semakin terbuka kepada hakekat-hakekat tauhid dan sinar
hidayah. Yakni semakin jauh dari zaman Ibrahim as. Mereka semakin dekat dengan
prinsip-prinsip dan dakwahnya, sehingga
mencapai titik puncaknya pada bi’tsah
Rasulullah saw. Reruntuhan rambu-rambu hanifiyah
pada bangsa Arab di masa bi’tsah Nabi
saw tercermin pada percikan-percikan kebenciab kepada berhala dan keengganan
untuk menyembahnya, atau keengganan menolak nilai-nilai Islam.
Rasulullah saw banyak
menetapkan tradisi-tradisi dan
prinsip-prinsip yang sebelumnya telah berkembang di kalangan orang Arab. Tetapi
pada waktu yang sama, Rasulullah juga menghapuskan dan memerangi yang lainnya.
Meskipun demikian, di zaman Rasulullah juga masih terdapat golongan
yang mempertahankan tradisi atau mereka yang lama (menyembah berhala) yaitu
kaum Quraisy. Mereka senantiasa beruapaya menentang ajaran Islam bahkan
seringkali mengganggu jalannya aktivitas dakwah Rasulullah. Namun hal itu tidak
membuat Rasul gentar bahkan semakin memperkuat dan memperkokoh perjuangannya
dalam menyiarkan Islam, terbukti dengan tersebar luasnya Islam hingga saat ini.
c. Aspek Budaya
Islam diturunkan kepada Rasulullah saw agar disampaikan kepada
seluruh umat manusia dan menjadi petunjuk kebenaran kepada seluruh umat manusia
sampai akhir masa. Rasulullah saw adalah orang Arab yang hidup dalam kebudayaan
Arab. Oleh karena itu beliau berbicara dalam bahasa Arab dan berpakaian
masyarakat Arab. Bagi umat Islam Arab, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang
dalam bentuk kebudayaan-peradaban Arab. Kebudayaan masyarakat Arab pada zaman
Islam mengalami perbaikan dan perkembangan sesuai dengan syariat Islam. Sedikit
demi sedikit budaya dan tradisi-tradisi lama yang dianggap menyimpang mulai
menghilang.
Perkembangan kebudayaan Islam yang paling menonjol dalam sejarah
adalah budaya intelektual Islam. Untuk itu dapat diketahui bahwa perkembangan
kebudayaan Islam beranjak dari perkembangan ilmu pengetahuan yang kemudian
banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual muslim.
Sejarah mencatat bahwa Islam lahir sekitar abad ketujuh masehi.
Generasi pertama muslim telah lahir ilmuan-ilmuan multidisiplin, seperti dalam
bidang bahasa dan sastra telah lahir banyak tokoh salah satunya Hasan bin
Tsabit, dalam bidang strategi perang lahir panglima-panglima yang tidak hanya
memiliki keberanian tetapi juga strategi yang jitu salah satu diantaranya
Khalid bin Walid yang mampu mengalahkan imperium Romawi sebagai negara adi daya
pada masa itu, begitu pula dalam bidang ekonomi, politik, kedokteran dan
lain-lain. Meskipun pada masa tersebut tidak secara tegas diklasifikasikan
tokoh-tokoh tersebut dalam berbagai disiplin, karena seorang ilmuwan kadang
menguasai lebih dari satu cabang.
Para ilmuwan
muslim juga telah melahirkan sistem berfikir atau metode berijtihad dalam
disiplin ilmu tertentu yang dikenal dengan mazhab. Diantara para ilmuwan
tersebut adalam Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Safi’i dan Imam Hambali dalam
disiplin ilmu Fikih. Perkembangan pemikiran Islam di bidang Fikih kemudian diiringi dengan perkembangan
pemikiran-pemikiran di bidang keilmuwan yang lain yang banyak melahirkan ilmuan
muslim, seperti Umar Khayyam, Ibnu Sina, Al-Gazhali, Al-Kindi, Al-Khawarizmi,
Al-Farabi dan lain-lain.
Selain budaya intelektual pada masyarakat Arab juga terdapat hasil
kebudayaan dalam bentuk bangunan (arsitektur), yakni masjid sebagai pusat
kebudayaan Islam. Aktivitas pertama Rasulullah ketika tiba di Madinah adalah
membangun Masjid karena masjid merupakan tempat yang dapat menghimpun berbagai
jenis kaum muslimin. Di dalam masjid, seluruh muslim dapat membahas dan memecahkan
persoalan hidup, bermusyawarah untuk mewujudkan berbagai tujuan, menjauhkan
diri dari kerusakkan, serta mengahadang berbagai penyelewengan akidah. Bahkan
masjid pun dapat menjadi tempat mereka berhubungan dengan Penciptanya dalam
rangka memohon ketentraman dan pertolongan Allah.
Berdasarkan uraian tersebut dapat jelas terlihat bahwasanya bangsa
Arab di zaman Islam telah mencapai kebudayaan dan peradaban tinggi. Bahkan
bangsa Arab yang sederhana akhirnya dapat menaklukkan kebudayaan bangsa lain
namun tidak luluh tehadap kebudayaan bangsa taklukannya melainkan telah memberi
bentuk yang lebih positif kepada kebudayaan bangsa lain.
Daftar
Pustaka
Aida Imtihana, Dkk. 2009. Buku
Ajar Mata Kuliah Pengembangan Kepriba-
dian (MPK) Pendidikan Agama
Islam untuk Perguruan Tinggi Umum. Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Universitas Sriwijaya.
Al Buthy,
Muhammad Sa’id Ramadhan. 1977. Sirah
Nabawiyah: Analisis
Ilmiah Manhajiah Sejarah
Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW. Terjemahan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid,
Lc. 1999. Jakarta:
Robbani Press.
Sejarah Ringkas
Nabi Muhammad SAW pada Al-Qu’ran terjemahan
0 komentar: