Hubungan Pusat dan daerah di awal kemerdekaan
Hubungan Pusat dan daerah di awal kemerdekaan Pengesahan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia
pada tanggal 18 Agustus 1945 memberikan titik terang dalam memandang hubungan
pusat dan daerah, khususnya dalam hal pemerintahan. Dengan merujuk pada pasal
18 UUD 1945 pemerintah Indonesia berusaha mengatasi permasalahan hubungan
antara pusat dan daerah. Pasal 18 UUD 1945 menyatakan ''Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam
daerah yang bersifat istimewa''.
Pada hari Minggu tanggal 19 Agustus 1945, PPKI
melanjutkan sidang kedua dengan hasil pembagian Wilayah RI menjadi 8 provinsi
Presiden Sukarno menindaklanjuti keputusan PPKI
tersebut (menetapkan delapan provinsi beserta gubenurnya) pada tanggal 2
September 1945,
- Mr. Teuku Moh Hasssan (Sumatera),
- Sutarjo Kartihadikusumo (JAwa Barat),
- R. Panji Suroso (Jawa Tengah),
- R.A Suryo (Jawa Timur),
- Mr. Gusti Ktut Puja (Nusa Tenggara), Mr. J. Lutaharhary (Maluku),
- Dr. G.S.S. J. Ratulangi (Sulawesi), dan
- Ir. Pangeran Moh .Noor (Kalimantan).
Untuk mengatur hubungan pusat dan daerah, pemerintah
Indonesia segera mengeluarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1945 yang mengatur
tentang Komite Nasional dan Komite Daerah. Hal ini disebabkan bahwa UUD 1945
menetapkan tentang demokrasi perwakilan yang dilaksanakan di Indonesia. Oleh
karena itu, diperlukan suatu lembaga yang berfungsi sebagai wakil rakyat.
Berhubung pemilu belum dilakukan maka sebagai lembaga pengganti wakil rakyat
itu digunakan Komite Gabungan Nasional dan Komite Daerah.
Kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus
1945 ternyata mendapat sambutan yang luar biasa di berbagai daerah, baik di
Jawa maupun luar Jawa. Di Sulawesi Selatan, Raja Bone (Arumpone) La Mappanjuki,
yang masih tetap ingat akan pertempuran-pertempuran melawan Belanda pada awal
abad XX, menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan dan Pemerintahan
Republik Indonesia. Mayoritas raja-raja suku Makasar dan Bugis mengikuti jejak
Raja Bone mengakui kekuasaan Dr. Sam Ratulangie yang ditunjuk pemerintah
sebagai Gubernur Republik di Sulawesi.
Raja-raja Bali juga mengakui kekuasaan Republik. Empat
raja di Jawa Tengah (Mangkunegaran, Kasunanan Surakarta, Kasultanan, dan Paku
Alaman Yogyakarta) menyatakan dukungan mereka kepada Republik Indonesia pada
awal September 1945. Dukungan yang sangat penting ditunjukkan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dari Kasultanan Yogyakarta yang nampak dalam pernyataannya
tanggal 5 September 1945. Dalam pernyataan tersebut Sri Sultan Hamengku Buwono
IX menegaskan bahwa Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan
sebagai Daerah Istimewa dalam Negara Republik Indonesia. Pernyataan tersebut
merupakan suatu keputusan yang cukup berani dan bijak di dalam negara kerajaan
yang berdaulat. Sesuai dengan konsep negara kesatuan yang dianut Indonesia,
tidak akan ada negara di dalam negara. Kalau hal tersebut terjadi akan
memudahkan bangsa asing mengadu domba.
Dukungan terhadap negara kesatuan dan pemerintah
Republik Indonesia juga datang dari rakyat dan pemuda. Di Sulawesi Selatan,
pada tanggal 19 Agustus 1945, rombongan Dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi,
mendarat di Sapiria, Bulukumba. Setelah sampai di Ujungpandang, gubernur segera
membentuk pemerintahan daerah. Mr. Andi Zainal Abidin diangkat sebagai
Sekretaris Daerah. Tindakan gubernur oleh para pemuda dianggap terlalu
berhatihati, kemudian para pemuda mengorganisasi diri dan merencanakan merebut
gedung-gedung vital seperti studio radio dan tangsi polisi. Kelompok pemuda
tersebut terdiri dari kelompok Barisan Berani Mati (Bo-ei Taishin), bekas
kaigun Heiho dan pelajar SMP. Pada tanggal 28 Oktober 1945 mereka bergerak
menuju sasaran. Akibat peristiwa tersebut, pasukan Australia yang telah ada
bergerak dan melucuti mereka. Sejak peristiwa tersebut gerakan pemuda
dipindahkan dari Ujungpandang ke Polombangkeng.
Di Bali para pemuda secara sponan membentuk berbagai
organisasi pemuda, seperti AMI, Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada akhir
Agustus 1945. Mereka berusaha untuk menegakkan Republik Indonesia melalui
perundingan tetapi mendapat hambatan dari pasukan Jepang. Pada tanggal 13
Desember 1945 mereka melakukan gerakan serentak untuk merebut kekuasaan dari
tangan Jepang, meskipun gerakan ini gagal. Pada tanggal 13 September 1945 di
Gorontalo terjadi perebutan senjata terhadap markas-markas Jepang. Kedaulatan
Republik Indonesia berhasil ditegakkan dan para pemimpin Republik menolak
ajakan untuk berunding dengan pasukan pendudukan Australia
Rapat Raksasa dilaksanakan di Lapangan Ikada (Ikatan
Atletik Djakarta) tanggal 19 September 1945. Sekitar 200.000 orang hadir dalam
pertemuan tersebut. Pada peristiwa ini, kekuatan Jepang, termasuk tank-tank,
berjaga-jaga dengan mengelilingi rapat umum tersebut. Rapat Ikada dihadiri oleh
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta sejumlah menteri.
Untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah, Presiden Soekarno menyampaikan
pidato yang intinya berisi permintaan agar rakyat memberi kepercayaan dan
dukungan kepada pemerintah RI, mematuhi perintahnya dan tunduk kepada disiplin.
Setelah itu Presiden Soekarno meminta rakyat yang hadir bubar dan tenang.
Pada tanggal 19 September 1945, ketika orang-orang
Belanda bekas tawanan Jepang menduduki Hotel Yamato, dengan dibantu
segerombolan pasukan Serikat. Orang-orang Belanda tersebut mengibarkan bendera
mereka di puncak Hotel Yamato. Hal tersebut memancing kemarahan para pemuda.
Hotel tersebut diserbu para pemuda, setelah permintaan Residen Sudirman untuk
menurunkan bendera Belanda ditolak penghuni hotel. Bentrokan tidak dapat
dihindarkan. Beberapa pemuda berhasil memanjat atap hotel serta menurunkan
bendera Belanda yang berkibar di atasnya. Mereka merobek warna birunya dan
mengibarkan kembali sebagai Merah Putih.
Di Yogyakarta perebutan kekuasaan secara serentak
dimulai tanggal 26 September 1945. Sejak pukul 10 pagi semua pegawai instansi
pemerintah dan perusahaan yang dikuasai Jepang melaksanakan aksi mogok. Mereka
memaksa agar orang-orang Jepang menyerahkan aset dan kantornya kepada orang
Indonesia. Tanggal 27 September 1945 Komite Nasional Indonesia Daerah
Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah tersebut telah berada di
tangan Pemerintah Republik Indonesia. Pada hari itu juga di Yogyakarta
diterbitkan surat kabar Kedaulatan Rakyat.
Dukungan dan perebutan kekuasaan terjadi di Sumatra
Selatan pada tanggal 8 Oktober 1945, ketika Residen Sumatra Selatan dr. A.K.
Gani bersama seluruh pegawai Gunseibu dalam suatu upacara menaikkan bendera
Merah Putih. Setelah upacara selesai, para pegawai kembali ke kantornya
masing-masing. Pada hari itu juga diumumkan bahwa di seluruh Karesidenan
Palembang hanya ada satu kekuasaan yakni kekuasaan Republik Indonesia.
Perebutan kekuasaan di Palembang berlangsung tanpa insiden, sebab orang-orang
Jepang telah menghindar ketika terjadi demonstrasi.
Di Bandung, pertempuran diawali dengan usaha para
pemuda untuk merebut pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas ACW (Artillerie
Constructie Winkel, sekarang Pindad). Usaha tersebut berlangsung sampai
datangnya pasukan Sekutu di Bandung tanggal 17 Oktober 1945. Di Semarang
setelah para pemuda berhasil merebut kekuasaan, terjadi perbenturan yang
dahsyat antara para pemuda Indonesia melawan Jepang karena pihak Jepang merasa
terancam oleh para pemuda yang berusaha merebut senjata mereka. Pada 14 Oktober
1945, 400 tawanan Jepang dari pabrik gula Cepiring diangkut oleh pemuda-pemuda
Indonesia ke Semarang dengan rencana menutupnya di penjara Bulu. Sebelum mereka
sampai ke penjara Bulu, sebagian tawanan itu melarikan diri dan minta
perlindungan kepada batalyon Kido. Para pemuda menjadi marah dan mulai merebut
dan menduduki kantor pemerintah. Orang-orang Jepang yang ditemui disergap dan
ditawan. Pada keesokan harinya pasukan Jepang menyerbu kota Semarang dari
tangsinya di Jatingaleh. Sejak hari itu mulailah pertempuran yang berlangsung
selama lima hari di Semarang. Korban yang jatuh dalam pertempuran itu ditaksir
990 orang dari kedua pihak.
Di Bandung, pertempuran diawali dengan usaha para
pemuda untuk merebut pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas ACW
(Artillerie Constructie Winkel, sekarang Pindad). Usaha tersebut berlangsung
sampai datangnya pasukan Sekutu di Bandung tanggal 17 Oktober 1945. Di Semarang
setelah para pemuda berhasil merebut kekuasaan, terjadi perbenturan yang
dahsyat antara para pemuda Indonesia melawan Jepang karena pihak Jepang merasa
terancam oleh para pemuda yang berusaha merebut senjata mereka
Di beberapa kota di Kalimantan mulai timbul gerakan
yang mendukung proklamasi. Akibatnya tentara Australia yang sudah mendarat atas
nama Sekutu mengeluarkan ultimatum melarang semua aktivitas politik, seperti
demonstrasi dan mengibarkan bendera Merah Putih, memakai lencana Merah Putih
dan mengadakan rapat. Namun kaum nasionalis tidak menghiraukannya. Di
Balikpapan tanggal 14 November 1945, tidak kurang 8.000 orang berkumpul di
depan komplek NICA sambil membawa bendera Merah Putih.
Di Sulawesi Utara, sekalipun telah hampir setengah
tahun dikuasai oleh NICA (Netherland Indies Civil Adminstration) ,usaha
menegakkan kedaulatan tidak padam,. Pada tanggal 14 Februari 1946, para pemuda
Indonesia anggota KNIL tergabung dalam Pasukan Pemuda Indonesia (PPI)
mengadakan gerakan di Tangsi Putih dan Tangsi Hitam di Teling, Manado. Mereka
membebaskan tawanan yang mendukung Republik Indonesia antara lain Taulu,
Wuisan, Sumanti, G.A. Maengkom, Kusno Dhanupojo, dan G.E. Duhan. Di sisi lain
mereka juga menahan Komandan Garnisun Manado dan semua pasukan Belanda di Teling
dan penjara Manado. Dengan diawali peristiwa tersebut para pemuda menguasai
markas Belanda di Tomohon dan Tondano. Berita tentang perebutan kekuasaan
tersebut dikirim ke pemerintah pusat yang saat itu di Yogyakarta dan
mengeluarkan Maklumat No. 1 yang ditandatangani oleh Ch.Ch. Taulu. Pemerintah
sipil dibentuk tanggal 16 Februari 1946 dan sebagai residen dipilih B.W.
Lapian. Satuan tentara Indonesia disusun dengan pilihan kolektif Ch.Ch. Taulu,
SD Wuisan, dan J Kaseger.
Di Gorontalo pada tanggal 13 September 1945, terjadi
perebutan senjata terhadap markas-markas Jepang. Kedaulatan RI berhasil
ditegakan dan pemimpin-pemimpin Republik menolak setiap ajakan untuk berunding
dengan pasukan pendudukan Australia. Kekuatan mereka berjumlah 600 orang pemuda
yang terlatih.Di Pulau Sumbawa, pemuda-pemuda Indonesia pada bulan Desember
1945, berusaha merebut senjata dari Jepang. Di Gempe terjadi bentrokan antara
200 pemuda melawan Jepang. Juga di sape 400 orang pemuda berusaha merebut
senjata di markas Jepang, juga di Raba terjadi peristiwa yang sama.
Di Bali, para pemuda telah membentuk beberapa
organisasi pemuda seperti AMI, Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada akhir bulan
Agustus. Mereka berusaha menegakan RI melalui perundingan tetapi mendapat
hambatan dari pihak Jepang. Pada tanggal 13 Desember 1945 mereka melakukan
gerakan serentak untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang akan tetapi gagal.
Di Banda Aceh pada tanggal 6 Oktober 1945 para pemuda
dan tokoh masyarakat membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Pada tanggal 12
Oktober 1945 Shucokan Jepang memanggil para pemimpin pemuda. Ia menyatakan
sekalipun Jepang telah kalah, tetapi keamanan dan ketertban masih menjadi
tanggung jawab pemerintah Jepang. Karena itu ia meminta agar semua kegiatan
mendirikan perkumpulan yang tanpa ijin dihentikan. Perkumpulan yang sudah
terlanjur didirikan supaya dibubarkan. Para pemimpin pemuda menolak dengan
keras. Sejak hari itu dimulailah perebutan dan pengambil alihan kantor-kantor
pemerintah dengan pengibaran bendera merah putih. Perlucutan senjata Jepang
terjadi di beberapa tempat. Bentrokan-bentrokan dengan pasukan Jepang terjadi
di Langsa, Lho Nga, Ulee Lheue dan tempat-tempat lain di Aceh.
0 komentar: