HOS Tjokroaminoto Menurut Mohamad Roem
Pak Tjokro
yang penulis ingat senantiasa memakai pakaian Jawa tradisionil.
Blankon, jas tutup, kain panjang dan sandal. Saudara Anwar Tjokroaminoto
baru-baru ini menerangkan kepada penulis, bahwa ia pun hanya ingat
ayahnya memakai pakaian itu.
Perkenalan kami, pemuda Islam terpelajar yang tergabung dalam Young Islamieten Bond (Serikat Pemuda Islam), dengan Pak Tjokro mulai di tahun 1925, sesudah JIB didirikan. Perkenalan pertama berlangsung di Jakarta di rumah Pak Haji A Salim
yang menjadi penasehat JIB. Tapi Pak Tjokro hadir waktu pada akhir
tahun 1924 di Yogyakarta, Pak Syamsyurijal mengambil insiatip untuk
mendirikan perkumpulan itu, dalam sebuah ruangan yang diterangi dengan
lampu teplok. Dan Pak Tjokro ikut merestui pendirian itu.
Seorang pemimpin lain yang juga
berkenalan dengan kami di rumah Pak Haji A Salim, ialah Pak AM Sangadji.
Kemudian hari kami, setidaknya penulis ini, juga berkenalan dengan
lain-lain pemimpin PSII, baik di rumah Pak Salim, maupun di tempat lain,
seperti Pak Abikusno, Pak Wondoamiseno, Pak Surjopranoto; tapi tiga
orang yang tersebut dahulu itu, yang paling kami kenal.
Kombinasi tiga orang itu yang agak aneh
tidak terlepas dari perhatian penulis. AM Sangadji berasal dari Maluku,
orang Ambon pertama yang penulis kenal. Sebelumnya penulis mengira bahwa
semua orang Ambon beragama Kristen. Mulailah penulis tahu bahwa di
Maluku banyak orang Islam. Tapi orang Ambon yang ada di Jawa hampir
semua beragama Kristen.
Pak Sangadji seorang yang gagah perkasa.
Pakaiannya selamanya rapih, jas buka dengan dasi, celana dan sepatu.
Tapi tidak pernah kepala terbuka, selamanya memakai pici. Kumis
melintang, dada berbulu (yang disebut akhir ini tidak kelihatan).
Pak Haji Salim seorang Minangkabau
memakai pakaian menurut model sendiri. Pakaian Haji Salim ini serupa
dengan kemeja yang kita pakai sewaktu revolusi di Yogya. Mula-mula Pak
Salim memakai Tarbus, kopiah berwarna merah, yang biasa dipakai oleh
orang-orang Arab. Tapi sesudah peristiwa Tripoli, maka tarbus itu yang
semua “made in Itali” diboikot. Kemudian Pak Salim membuat pici model
sendiri, yang dibuat dari kain serdadu (kain hijau). Pici itu mempunyai
dua anak baju di bagian depan. Sesudah itu Pak Sangadji memakai kopiah
model “OK”, demikian Pak Salim menamakan modelnya.
Waktu Bhinneka Tunggal Ika menjadi lambang Negara, penulis ingat kepada kombinasi Tjokro, Salim dan Sangadji di tahun 1925.
Orang dan Pakaiannya
Di jaman colonial, pakaian orang masih
terikat oleh aturan-aturan atau kebiasaan masyarakat yang ketat. Pakaian
masih menjadi ukuran, bagi yang memakai, apakah ia masuk golongan atas
atau bawah.
Golongan yang paling atas ialah golongan
Belanda, termasuk golongan Eropa. Pakaiannya berupa jas, celana dan
sepatu dengan atau tanpa topi. Golongan pegawai negeri atau priyayi,
diperbolehkan memakai jas dan celana seperti Belanda, tapi kalau ia
orang Jawa atau Sunda harus memakai blangkon; kalau ia orang luar Jawa
harus memakai pici, atau lainnya yang sejenis. Berpakaian persis seperti
golongan Belanda dipandang tidak patut untuk orang pribumi. Pakaian
mempunyai arti seperti pepatah Belanda: “De kleren maken den man”
(Pakaian itu membuat orang).
Lama-lama ada juga kebebasan. Bagi orang
Indonesia yang terpelajar, yang dapat dipandang sudah termasuk golongan
teratas, diperbolehkan memakai pakaian yang sudah 100% seperti Belanda.
Tapi golongan pangreh praja masih lama, mungkin karena kemauan sendiri,
atau karena tahu bahwa tindakan itu lebih disukai oleh pembesar-pembesar
Belanda, masih tetap memakai blangkon, meskipun kain panjang sudah
diganti dengan celana.
Penulis ini di tahun 1924, masuk sekolah
Stovia (sekolah dokter). Bagi penulis terbuka dua macam pakaian, seperti
pemuda Belanda, jas, celana pendek atau panjang dan sepatu, atau
pakaian tradisionil Jawa. Begitu pula bagi pelajar-pelajar yang berasal
dari luar Jawa. Pakaian Eropa atau pakaian tradisionil menurut daerah
masing-masing.
Sarung adalah pakaian yang dipandang
kurang sopan atau kurang terhormat. Di sekolah-sekolah negeri di Jawa,
di Pekalongan pun, tempat orang membuat Sarung, murid-murid tidak
diperkenankan memakai sarung di sekolah-sekolah negeri. Sarung pakaian
rakyat jelata.
Pak Tjokro memakai sarung
Jika Anwar Tjokroaminoto tidak ingat
ayahnya memakai sarung, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa sudah lama
benar, waktu Pak Tjokro memakai sarung. Dan potret Pak Tjokro yang
terkenal dan bernilai sejarah, ialah Pak Tjokro yang memakai sarung, jas
tutup, pici dan sandal.
Potret Pak Tjokro itu sekarang masih
dapat kita lihat di kantor Ladjnah Tanfidziah PSII, di Taman Matraman.
Potret itu bukan yang asli, tapi merupakan lukisan berwarna, karya
penulis potret terkenal, Haji Zainal. Menurut dugaan penulis, berhubung
dengan keterangan Anwar dan lain-lain bacaan, potret itu dibuat di
sekitar tahun 1915.
Baru-baru ini penulis memerlukan datang
ke kantor PSII untuk merenungkan sambil melihat potret yang sangat
mengesankan itu, dan mengingatkan juga apa yang pernah dikatakan oleh
Haji A Salim: “Pada saatnya potret itu berarti revolusi.”
Dalam surat Dr. GAJ Hazeau, Pejabat
Penasehat Kantor Urusan Bumiputra, tanggal 29 September 1916, yang
ditujukan kepada Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum, berkenaan dengan
selesainya Kongres Nasional Pertama Sentral Serikat Islam, yang diadakan
di Bandung, tanggal 17-24 Juni 1916, dapat diambil beberapa kesimpulan:
-
Bahwa Sarikat Islam adalah penjelmaan kesadaran rakyat
-
Bahwa pribumi (Inlanders) tidak suka lagi dipandang sebagai “manusia setengah atau seperempat”, tapi menuntut dihormati sebagai ‘warga Negara bebas” tanah airnya
-
Bahwa kebangkitan Islam itu tampak juga pada gejala lahir, seperti pakaian, cara-cara bercakap, adat istiadat sehari-hari dan sebagainya[1]
Waktu penulis ini sedang memandang potret
Pak Tjokro di Kantor LT PSII tersebut, penulis tidak tahu bahwa seorang
pemuda sudah berdiri di samping penulis. Pemuda itu menanyakan tentang
pandangan mata pak Tjokro. Pandangan mata yang menantang.
Penulis menjawab, bahwa penulis kenal
pelukis Haji Zainal, kawan akrab sudah 40 tahun. Ia seorang PSII kawakan
dan penulis dapat menjamin kejujurannya. Iapun penulis rasa pernah
mendengar keterangan Pak Haji Salim tentang potret itu: “sebuah
revolusi.”
Seperti dikatakan oleh Dr. Hazeau
tersebut bahwa kebangkitan rakyat tampak juga pada “gejala yang lahir
seperti pakaian, cara-cara bercakap, adat istiadat sehari-hari”, maka
perhatikan juga bagaimana Pak Tjokro duduk dalam potret itu; kaki kanan
diangkat dan diletakkan di atas lutut kaki kiri. Seorang Jawa
tradisional tidak duduk semacam itu!
Kalau celana itu lambang golongan atas
dan sarung pakaian rakyat jelata, maka Pak Tjokro tidak memilih memakai
celana dan menganjurkan rakyatnya untuk memakainya juga, akan tetapi Pak
Tjokro turun ke bawah dan mempersatukan diri dengan rakyat. Untuk
menuntut persamaan ia pandang tidak perlu meniru yang ada di atas,
persamaan hak tidak terletak dalam persamaan berpakaian.
Pak Tjokro memakai sarung akibatnya bukan
ia yang turun kedudukannya, tapi sarung yang naik pangkat. Sarung
menjadi pakaian orang yang terhormat, dan hilanglah perbedaan dalam
masyarakat, yang ditentukan dengan memakai celana dan sarung.
Semata-mata
bagi kepentingan sejarah, penulis ingin menyinggung keterangan almarhum
Hadisubeno. Waktu Ketua PNI itu menuding “kaum sarungan” sebagai
golongan yang berbahaya bagi Panca Sila, ia tidak tahu, bahwa Pak Tjokro
pada saatnya dengan senjata sarung memberi kesadaran rakyat, bahwa
“kaum sarungan” bukan lagi “setengah atau seperempat manusia”, tapi
“warga Negara” yang bebas. Hadisubeno juga lupa, bahwa salah seorang
Ketua PNI di masa yang belum begitu lama, dan seorang pemimpin Masyumi,
sangat konsekwen memakai sarung yaitu Mangunsarkoro, seorang Jawa dan
Isa Ansari seorang Minang. Dalam Parlemen kita di tahun lima puluhan,
kedua anggauta yang terhormat itu selalu memakai sarung di mana saja.
Dan tidak kurang-kurang mereka dihormati dan disegani orang. Dan juga
tidak akan tambah dihormati, andaikata mereka memakai celana. Pandangan
kita sekarang tentang sarung dan celana sudah lain dari waktu Pak Tjokro
berjuang dan sarung menjadi alat perjuangan.
Rok-kostuum di Kongres Nasional Pertama
Pada rapat terbuka Kongres Nasional
Pertama, yang diadakan di alun-alun bandung, pada hari Minggu tanggal 18
Juni 1916, Pak Tjokro tidak memakai sarung, melainkan rok-kostuum.
Pakaian ini sampai sekarang masih dipakai orang, sebagai pakaian
internasional yang bersifat resmi. Seorang Duta Besar yang meyampaikan
surat kepercayaan kepada Kepala Negara, kalau ia tidak mempunyai pakaian
kebesaran nasional sendiri, dapat memakai rok-kostuum. Orang kawin di
Eropa memakai rok-kostuum.
Penulis ingat pernah membaca, waktu Harry
L Hopkins, tangan kanan Presiden Roosevelt, di waktu Perang Dunia II,
memakai rok kostuum, yang ia sewa waktu mau beraudiensi dengan Raja
Inggeris. Orang tidak perlu mempunyai rok-kostuum sendiri, dapat
menyewa, karena pakaian itu hanya dipakai sekali-sekali pada saat yang
jarang terjadi.
Seluruh “Centraal Bestuur” Sarikat Islam,
menurut laporan Dr. GAJ Hazeau kepada GG Van Limburg Stirum, yang sudah
penulis sebut tadi, memberitakan hal itu, dan penulis ini tidak
mempunyai alasan untuk tidak mempercayainya. Memakai sarung sebagai alat
perjuangan rasa-rasanya oleh Pak Tjokro sudah dianggap selesai dan pada
Kongres pertama, waktu Sarekat Islam sudah mendapat pengakuan dari
Pemerintah Hindia Belanda sebagai partai yang meliputi seluruh tanah
air, tampaknya ada tujuan hendak memperlihatkan, bahwa pergerakan yang
dipimpin oleh Pak Tjokro, tidak hanya ditujukan kepada orang yang pakai
sarung saja, melainkan juga bagi orang yang pakai celana.
Sarekat Islam tidak saja menuntut tanah
air yang berdiri sendiri dan kewarganegaraan yang bebas atas dasar
persamaan, tapi menunjukkan juga, bahwa rakyat di kepulauan ini ingin
hidup dalam dunia yang lebih luas, dengan mengindahkan apa yang berlaku
dan baik dalam dunia internasional. Umat Islam yang dipimpin Pak Tjokro,
meskipun tinggal di kampung dan desa, bukan rakyat “kampungan” tapi
mempunyai cita-cita kemanusiaan yang luhur. Istilah “bangsa Indonesia”
belum ada waktu itu, tapi kesadaran sudah lahir dan bertumbuh. Puncak
kesadaran dan kebangkitan itu akan dicapai di tahun 1928, dalam Sumpah
Pemuda, bahwa “Kita berbangsa satu, Bangsa Indonesia.”
Bagi pembaca yang belum tahu rok-kostuum,
penulis dapat terangkan: ia terdiri dari jas hitam, bagian belakang
panjang sampai lutut, kemeja putih, dasi putih, celana hitam, di
samping pakai sebuah streep hitam mengkilat dan sepatu hitam mengkilat
(verlakt). Sempurnanya pakai topi tinggi, tapi ini cukup kalau hanya
dipegang. Biarpun iklim Bandung dingin, pakaian itu rasanya masih
terlalu tebal. Saya rasa, anggauta-anggauta Centraal Bestuur SI tidak
memerlukan beli sendiri, tapi waktu itu di tempat seperti Bandung,
dimana terdapat banyak orang Belanda, masih dapat disewa.
Suara Pak Tjokro
Menurut PF Dahler, seorang nasionalis Indonesia, pemimpin golongan Indo, Tjokroaminoto memiliki “een mole, krachtige baritone stem” (suara yang merdu dan berat kuat).[2]
Istilah “baritone” mempunyai arti yang khusus dalam seni musik.
Penulis ini pernah mendengarkan Pak Tjokro berpidato di rapat umum yang
dihadiri oleh beberapa ribu orang. Dari tiga pemimpin yang penulis sudah
sebut Tjokro, Salim dan Sangadji, masing-masing orator “par
excellence”, ahli pidato ulung, yang mempunyai gaya dan cirri
sendiri-sendiri.
Haji A Salim umumnya dipandang sebagai
orator yang brilian. Sangadji mempunyai suara seperti geledek. Perlu
diingatkan, bahwa generasi Pak Tjokro belum berbahagia hidup dengan mik
dan pengeras suara. Menurut ingatan penulis Pak Tjokro memang mempunyai
keistimewaan. Orang di baris depan mendengar suara Pak Tjokro sama
kerasnya dengan orang yang duduk di baris belakang, kecuali ia (juga
–pen) mampu mengikat perhatian pendengar berjam-jam.
Tjokroaminoto, Sukarno dan Harsono
Di akhir tahun 1966, tidak lama sesudah
dibebaskan dari tahanan, penulis mendapat undangan untuk berkunjung ke
Makasar. Salah satu acara kunjungan itu ialah member ceramah di Aula
Universitas Hasanuddin. Kebetulan sekali Harsono Tjokroaminoto yang
memimpin rombongan anggauta parlemen sedang berada di Makasar, dan akan
member ceramah juga di tempat dan waktu yang sama.
Harsono bicara lebih dulu, ia
mempergunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan sepatah dua patah kata
terhadap penulis. Itulah pertama kali ia bertemu dengan penulis, sesudah
penulis dibebaskan. Kata-katanya baik, malah sangat manis. Penulis ini
tidak sering mendengar dan melihat Harsono berpidato, tapi tiap kali
mendapat kesempatan itu, ia medengarkannya seperti orang terpaku.
Harsono berpidato persis seperti seorang ahli pidato yang lain, yang
kita semua kenal, yaitu Sukarno. Gayanya, nadanya, gerak gerik tangannya
dan bahasanya. Orang akan berhenti disitu, kalau tidak kenal
Tjokroaminoto. Pada saat itu penulis merasa perlu menerangkan agar orang
tahu, bahwa Harsono turunan Tjokroaminoto dan tidak meniru Sukarno.
Kalau dengan perkataan tidak akan cukup untuk menggambarkan bagaimana Tjokroaminoto berpidato, penulis rasa orang dapat mengatakan, bahwa kalau orang pernah mendengar dan melihat Sukarno atau Harsono berpidato, kira-kira begitulah gaya dan nada Tjokroaminoto.
Pada saat itu Harsono sangat manis, dank
arena iktikad baik yang sebenarnya berkelebihan tidak penulis rasakan.
Ia mengatakan bahwa Roem itu gurunya, bahwa meskipun bertahun-tahun
tidak ketemu, rasa-rasanya baru sehari atau seminggu tidak ketemu,
karena ikatan jiwa dan persaudaraan yang kuat. Ia katakana: “Kalau
saudara-saudara buka dada Pak Roem, dan buka dada
saya, saudara-saudara tidak akan menemukan kalimah-kalimah yang
berlainan, melainkan kalimah-kalimah yang sama, sama perjuangannya
terutama kalimah syahadat.” (Pada saat itu penulis otomatis ingat kepada
Presiden Sukarno yang mengatakan: “He, Tengku Abdurrahman Putra, mana dadamu ini dadaku”).
Kata-kata yang memang penulis rasakan
sedap sekali itu, waktu mendapat giliran, penulis pandang wajib dijawab.
Penulis katakan, bahwa ia merasa mendapat kehormatan yang terlampau
besar, untuk dinamakan guru saudara Harsono. Mungkin ia melihat ada hal
yang seolah-olah datang dari seorang guru, kalau saudara Harsono
mendengar sesuatu yang baik dari penulis. Tapi penulis sekarang tahu
rahasianya. Yang ia dengar itu, ialah pelajaran yang penulis dapat dari
Ayah Harsono yang melalui penulis sebagai pompa bensin, sudah sampai
kepada tempat asalnya kembali.
Mengenai persamaan antara Sukarno dan
Harsono penulis katakana bahwa di Indonesia ini ada dua orang yang dapat
berpidato seperti yang baru saja kita saksikan, yaitu Presiden Sukarno
dan Bapak Harsono. Orang-orang yang sudah tua seperti penulis dapat
menambahkan sekelumit sejarah, bahwa yang satu berkat keturunan, dan
yang lain karena pengajaran. Presiden Sukarno sendiri sering mengatakan,
bahwa ia banyak belajar dari Tjokroaminoto..
“Hanya bangsa yang besar yang dapat menghargai pemimpin yang besar”, sering dikatakan oleh Presiden Sukarno.
Semoga kita dapat menghargai seorang
pemimpin besar, Haji Omar Said Tjokroaminoto, yang hari lahirnya, 16
Agustus, pada saat-saat ini kita peringati.*
Majalah Kiblat, Agustus 1972 dalam Buku “Bunga Rampai Dari Sejarah (II)”, Mohamad Roem, Bulan Bintang, 1977:71-81.Sumber tulisan : insistnet.com.
[1]
De volksraad en de Staatkundige ontwikkeling van Nederlandsch Indie,
Een bronnen publikatie. Eeerste stuk 1891-1926, hal. 161 dan seterusnya.
Bewerkt Door Dr. SL Van Den Wal JB Wlters Groningen 1964.
[2] Amelz: HOS Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangannya, hal. 68, penerbit Bulan Bintang, 1952.
0 komentar: