Historiografi Masa Romawi
Historiografi Masa Romawi
– Sahabat sekalian, pada kesempatan kali ini Blog ini Ingin share
artikel yang akan membahas mengenai Historiografi Masa Romawi. Pada
jaman Yunani klasik sesungguhnya tidak ada profesi yang semata-mata
sebagai sejarawan. Kebanyakan dari mereka yang sekarang disebut sebagai
sejarawan sesungguhnya mempunyai pekerjaan utama sebagai misalnya
pegawai pemerintah, senator, perwira tentara, bendahara kekaisaran, dan
biasanya menulis karya mereka jika sudah berhenti bekerja. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa mereka sering menuliskan apa yang menjadi
pengalaman atau apa-apa yang mereka kerjakan, terutama jika kebebasan
mereka sebagai penulis sewaktu masih aktif bekerja sangat terhambat atau
terbatas. Hal itu terutama terjadi pada masa pemerintahan para kaisar
Romawi. Namun demikian beberapa sejarawan yang berusaha mengambil jarak
dari penguasa agar bisa memperoleh kebebasan dalam menulis, tidak
jarang harus membayar sikap itu dengan nyawa mereka.
Seperti
halnya pada jaman Yunani kuno, para sejarawan jaman Romawi dengan
kekecualian Polybus, sangat menyukai dan menghayati kesusasteraan.
Disamping itu sebagai ahli sastra mereka adalah pencerita dan sastrawan
yang baik sehinga menghaslkan sejarah yang retoris, dramatis dan
psikologis. Juga harus dimengerti bahwa penulisan sejarah bukanlah ilmu
pengetahuan, tetapi sebagai cabang kesusasteraan yang indah dan
berdasarkan sifat yang sedemikian itu, mereka secara mencolok memberi
tempat kepada kebudayaan klasik. Seperti pada para ahli sastra yang
sesungguhnya, pada para penulis sejarah jaman Romawi ada kebiasaan bahwa
publikasi sejarah didahului atau diawali dengan pembacaan naskah
secara terbuka untuk umum. Demikianlah yang juga terjadi pada Herodotus,
dan masih tetap terjadi 8 abad kemudian pada sejarawan Ammianus
Maecellinus.
Berbeda
dengan generasi pertama para sejarawan Yunani, yang tertarik pada hal
yang bersifat kosmopolitan, sejarawan Romawi biasanya hanya mengenal 1
thema, yaitu Roma. Namun dalam hal itu harus diingat, dibandingkan
dengan negeri Yunani yang secara politik terbagi menjadi wilayah-wilayah
(polis-polis) yang kecil-kecil, Romawi sejak perang Punisia telah
berkembang meluas dan relatif mendunia. Dalam ikhtisar dari sejarah
Romawi yang berawal dari “absolute” yaitu dengan pendirian kota Roma,
tetapi juga dengan perhatian yang besar untuk masa Romawi yang terbaru,
bisa ditemukan bentuk-bentuk annalistik[1]
(anal) yang luas, sedangkan kronikrelatif jarang ditemukan. Ikhtisar
itu biasanya berakhir pada jamannya sendiri (si penulis). Sejarah umum
yang universal yang tidak hanya dalam kerangka sejarah Romawi hanya
bisa ditemukan pada karya Trogus.Untuk masa-masa yang terbaru Romawi
atau kejadian-kejadian pada jamannya para penulis Romawi, banyak
ditemukan studi monografi, misalnya memoires (tulisan peringatan) dan
historien (cerita ysang lebih detail mengenai kejadian-kejadian masa
kini) atau kadang disebut dengan istilah annalen.
Secara
umum dapat dikatakan bahwa perkembangan dari historiografi Romawi itu
sejalan dengan sejarah perkembangan kekaisaran Romawi. Oleh karena
itulah karya-karya terpenting pada jaman ini banyak berkaitan dengan
sejarah Romawi, sejak kemunculan kemudian melalui pertumbuhan, kejayaan
dan akhirnya sampai kepada keruntuhannya.
Para tokoh sejarawan Romawi
Polybius (208 – 126 SM)
Walaupun
hidup pada jaman Romawi, namun demikian sesungguhnya ia (Polybius)
orang Yunani. Ia hidup pada masa kemegahan dan sekaligus awal
kemerosotan Athena dan Sparta, akan tetapi sekaligus merupakan masa awal
berdiri atau berkembangnya kekaisaran Romawi. Sebelum menulis karya
sejarah historiai ia juga pernah berkarir sebagai politikus dan
militer. Ia dilahirkan di Megalopolis, yaitu wilayah Yunani di Arcadia.
Ia termasuk berasal dari keluarga terpandang. Pada tahun 167 SM, oleh
karena keluarganya dianggap terlibat dalam gerakan anti Romawi,
bersama ribuan tahanan lainya sebagai sandra dibawa ke Itali. Akan
tetapi di Roma diperlakukan secara khusus, dan bahkan akhirnya boleh
tinggal di Roma. Selama itu ia bergaul dengan orang2 dari kelas atas,
antara lain dengan Cato dan berteman dengan Scipio Aemilianus, pengagum
kebudayaan Yunani. Dalam masa tahanannya yang ke 17 tahun sesungguhnya
Polybius telah memulai suatu rencana menulis sejarah, yang dimulai
dari sejak kemunculan dan ekspansi Romawi dari awalPerang Punisia ke II
sampai ketika ia dibawa ke Italia.
Untuk
masa setengah abad sebelumnya ia mengumpulkan sumber2 dengan
mewawancarai saksi2 setempat, dan dengan penelitian bahan2 arsip.
Disamping itu ia juga sudah mulai menggunakan teks2 resmi. Sesudah
mendapatkan ijin untuk bisa pulang ke negerinya Polybius bertempat
tinggal bersama Scipio Aemilianus (148-146), dan ikut dalam
pengepungan dan penghancuran Cartago. Tidak lama sesudah itu ia juga
mengikuti pengepungan dan akhirnya kejatuhan Korinthe (146 SM). Dengan
demikain ia adalah saksi dari kedua peristiwa ini. Dalam tahun2 yang
sama (sampai 140 SM) Polybius juga mengadakan perjalanan2 penting yaitu:
sepanjang pantai Atlantik yaitu dari Maroko ke Portugal dan kemudian ke
Mesir melalui negerinya. Pada waktu itulah ia mencurahkan perhatianya
untuk menulis historiai.
Karya
Polybius yang sangat terkenal adalah berupa 40 buku yang berisi sejarah
ekspansi Romawi, yang didalamnya digambarkan bagaimana kekaisaran
Romawi berhasil menguasai seluruh wilayah Eropa Barat. Menurut Polybius
bahwa dasar dari kekuatan Romawi adalah militer, yang terutama didukung
oleh armada lautnya yang besar, organisasinya yang teratur serta
tehnologi persenjataan yang maju menurut ukuran waktu itu, sehingga bisa
menjangkau dan menundukkan bangsa-bangsa di Asia Kecil.
Disamping
perang-perang, karya Polybius juga berisi mengenai politik,
penaklukan-penaklukan dan kekuasaan. Analisisnya yang mendalam mengenai
perkembangan sejarah Romawi dari teorinya mengenai politik kekaisaran
Romawi. Menurut Polybius pada awalnya pemerintahan kekaisaran Romawi itu
berbentuk monarkhi, yaitu dimana kekuasaan negara berada
sepenuhnya di tangan raja. Akan tetapi oleh karena berkembangnya
perdagangan dalam masyarakat Romawi, maka system politiknyapun berubah
menjadi aristokrasi, yang dalam hal ini kekuasaan politik berada di
tangan orang-orang terkemuka yang duduk dalam pemerintahan. Yang ketiga
adalah demokrasi, dimana pemimpin kerajaan dipilih oleh senatus,
yaitu orang-ortang tua tertentu yang memiliki pengaruh dalam masyarakat
pemegang kekuasaan. Namun dalam perkembangannya pemimpin yang terpilih
itu biasanya menumpas (mengkudeta) kekuasaan yang dipercayakan kepadanya
sehingga pemerintahanh kembali berbentuk monarkhi. Dengan demikian
dalam sejarah Romawi terjadilah siklis dalam system kekuasaan.
Edward Gibbon (1737 – 1794)
Gibbon
adalah seorang sejarawan Inggris, yang juga pernah menjadi anggota
parlemen Inggris yang menulis mengenai keruntuhan kekaisaran Romawi
yaitu Decline and Fall of the Roman Empire (1737 – 1788). Menurut
Gibbon bahwa kekaisaran Romawi yang sangat besar dan kuat itu ternyata
secara berangsur-angsur mengalami kerapuhan dari dalam.-Lebih lanjut
dijelaskan bahwa pada masa kejayaannya masyarakat Romawi sekaligus juga
mulai mengalami kemerosotan (dekadensi) dalam bidang moril. Sebagai
penyebabnya adalah karena rakyat Romawi itu sangat dimanja atau terlalu
banyak diberi kesempatan untuk berfoya-foya dan bersenang-senang, yang
dikenal dengan istilah “roti” dan “permainan”. Artinya bahwa memang
sudah berkelebihan dalam memenuhi kebutuhan akan makan (subsistensi),
rakyat Romawi juga banyak dihibur dengan pertunjukkan-pertunjukkan di Collesium,
misalnya adu manusia (gladiator) melawan binatang, manusia lawan
manusia dan lain sebagainya. Dengan demikian walaupun secara fisik
peradaban bangsa Romawi itu lebih tinggi daripada suku-suku atau
bangsa-bangsa lainya di Eropa, namun demkiann dari segi moril justru
mengalami kemerosotan, atau bahkan bias dikatakan tidak beradab. Pada
masa-masa seperti itulah bangsa Romawi tidak mampu menahan serangan
suku-suku bangsa lain yang dianggap bar-bar oleh bangsa Romawi.
Mengenai
teori Gibbon tersebut, seorang sejarawan modern yaitu Max Weber
menyatakan menolak teori tersebutdan penjelasan: bahwa keruntuhan Romawi
terutama disebabkan oleh golongan minoritas Kristen yang berhasil
mempengaruhi tokoh-tokoh masyarakat Romawi.
Tokoh
sejarawan Romawi lainya yang cukup terkenal adalah Livius, Namun
demikian dalam karyanya ia terlalu mengagungkan bangsa Romawi, yang
mengakibatkan ia banyak memasukan mitos-mitos tentang Dewa Raja.
Sedangkan Taxitus lebih banyak mengungkapkan mengenai sejarah para
penguasa Romawi, yang oleh karena itu ia mendapat julukan sebagai
perintis sejarah atau riwayat para tokoh sejarah (biografi).
Ibn Khaldun (1332-1406)
Walaupun
Ibn Khaldun adalah seorang sejarawan Islam, akan tetapi teorinya
mengenai perkembangan suku-suku bangsa di jazirah Arab yang akhirnya
menjadi kerajaan di bawah pemerintahan Sultan, dapat dipergunakan untuk
memahami sebab-sebab keruntuhan kekaisaran Romawi. Ibn Khaldun banyak
mempunyai pengetahuan mengenai Tanah Mahribi (Spanyol), karena pernah
menduduki jabatan penting di wilayah itu. Ia juga pernah menjadi
penasehat penting pada kerajaan Ioslah di Afrika, sehinga pengalaman
hidupnya banyak dipengaruhi oleh perkembangan Islam.
Dalam
Muqaddimah kitab Al-‘Ibar (sejarah umat manusia) Ibn Khaldun
mengambarkan bahwa di jazirah Arab pada mulanya dihuni oleh
komunitas-komunitas kecil yang disebut dengan istilah Umran Badawi, yang
seidentik dengan tribe atau clan, yaitu kelompok manusia
yang masih mempunyai hubungan darah yang berasal dari nenek moyang
mereka. Dalam kelompok itu kesatuan dan persatuan dalam bentuk kerukunan
dan solidaritas menandai kehidupan social mereka sehari-hari
(assabiya). Dengan demikian suku yang masih nomad (berpindah-pindah)
ini solidaritasnya didasarkan atas kekerabatan (kinship). Sedangkan
kehidupan perekonomiannya masih pada tingkat subsistensi dengan
tehnologi yang sederhana, dengan melakukan pekerjaan berburu dan
kadang-kadang juga menyerbu suku-suku yang lain untuk mendapatkan
makanan. Oleh karena itu belum terjadi akumulasi kekayaan, karena belum
ada kebutuhan yang lebih daripada kebutuhan primer. Lingkungan yang
sedemikian itu akhirnya menimbulkan sikap mental yang kuat untuk tetap
suvive guna mempertahankan diri dari ancaman suku-suku lain. Dalam
lingkungan mereka juga muncul orang-orang kuat sebagai pemimpin kelompok
dengan laskarnya untuk melakukan serangan-serangan terhadap suku-suku
lain di sekitarnya. Dalam hal ini keberhasilan suatu suku dalam
menundukkan beberapa suku lainnya mengakibatkan beberapa Umron Badawi
berada di bawah seorang pemimpin yang kuat. Dengan demikian muncul
kelompok yang lebih besar dan dengan wilayah yang lebih luas semacam
kerajaan, yang disebut dengan istilah Umron Hadari. Sedangkan
solidaritas baru yang berhasil diciptakan adalah Assabiya Kubra.
Hubungan antara pemimpin (raja) dengan para pengikutnya adalah bersifat
patrimonialisme (patron dan client).
Dalam
perkembangannya Umron Hadari ini biasanya semakin memperluas wilayahnya
dengan terus-menerus menundukkan suku-suku kecil di sekitarnya, sehinga
terbentuk semacam keajaan yang semakin besar pula. Sebagai pendukungnya
akhirnya diperlukan tentara (sewaan), birokrasi, pegawai yang digajih.
Dalam perkembangan yang sudah sedemikian itu maka hubungan pribadi
(patron-client) antara raja dengan para pengikutnya tidak mungkin lagi
dipertahankan, sehubungan dengan semakin besarnya kelompok dan luasnya
wilayah.
Dengan
terbentuknya kerajaan yang semakin luas itu ternyata juga masih
diperlukan akatan solidaritas, akan tetapi dengan lingkup yang lebih
luas lagi, karena solidaritas asabiya kubra sudah tidak memadahi lagi.
Dalam sejarah Arab ikatan solidaritas yang baru itu tidak lain berbentuk
agama (Islam ) yang mampu menciptakan solidaritas yang lebih luas,
bahkan dalam perkembangannya semakin mendunia. Dalam hal kebutuhan
fisik, kerajaan yang baru itu juga memerlukan kota dengan istana dan
gedung-gedung, tentara, tempat-tempat rekreasi dan sebagainya. Pada
gilirannya kota yang tertus berkembang itu menghasilkan difrensiasi
kerja/ pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan raja dan istana seperti tukang
kayu, pandai besi, pengrajin emas dan perak, dan lain sebagainya.
Disamping itu juga terjadi gelombang urbanisasi dari orang-orang
pedesaan dari berbagai lapisan masyarakat yang pindah ke pusat-pusat
kota. Sebagai akibatnya maka munculah permasalahan-permasalahan social
di ota seperti perampokan, pelacuran, perjudian dan sebagainya.
Hal
yang terpenting dari perkembangan tersebut terkadinya kemerosotan moril
dari generasi kedua dan selanjutnya dari pendiri kerajaan atau
kesultanan pertama. Dalam hal ini generasi pertama pendiri kasultanan
tentu menyadari bahwa kemewahan, kemudahan hidup sehari-hari adalah
sebagai hasil jerih payah melalui peruangan yang dahsyat. Akan tetapi
generasi kedua dan selanjutnya tidak atau kurang menyadari hal itu, dan
mentalitasnya semakin rapuh karena tidak mengalami perjuangan dengan
segala pengorbanannya. Keadaan sedemikian itu membuat mereka akan mudah
ditaklukkan oleh umran
0 komentar: