Perkembangan Orde Baru
Perkembangan Orde Baru
Perkembangan Orde Baru Sebagai langkah awal untuk menciptakan stabilitas nasional,
Sidang Umum IV MPRS telah memutuskan untuk menugaskan Letjen. Soeharto selaku
pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar yang sudah ditingkatkan
menjadi Ketetapan MPRS No. IX/ MPRS untuk membentuk kabinet baru. Dibentuk Kabinet
Ampera yang bertugas:
- menciptakan stabilitas politik,
- menciptakan stabilitas ekonomi.
Tugas pokok itulah yang disebut Dwidarma Kabinet Ampera.
Program yang dicanangkan Kabinet Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:
- memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
- melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
- melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
- melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, tetapi
pelaksanaannya dilakukan oleh Presidium Kabinet. Presidium Kabinet dipimpin
oleh Jenderal Soeharto. Jadi, di sini terdapat dualisme kepemimpinan dalam
Kabinet Ampera. Akibatnya, perjalanan tugas kabinet kurang lancar yang berarti
pula kurang menguntungkan bagi stabilitas politik. Pada tanggal 22 Februari
1967 dengan penuh kebijaksanaan, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada
Jenderal Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Penyerahan
kekuasaan tersebut merupakan peristiwa sangat penting dalam usaha mengatasi
situasi konflik yang sedang memuncak pada saat itu. Penyerahan itu tertuang
dalam
Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI
Tanggal 20 Februari 1967. Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966
yang menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret
1966 berfungsi sebagai pemegang jabatan presiden. Jenderal Soeharto selaku
pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/ 1966 pada tanggal 4 Maret 1967 memberikan
keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRGR mengenai terjadinya penyerahan
kekuasaan. Pemerintah tetap berpendirian bahwa penyelesaian konstitusional
tentang penyerahan kekuasaan tetap perlu dilaksanakan melalui sidang MPRS. Oleh
karena itu, untuk menghindari pertentangan politik yang berlarut-larut,
diadakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 sampai dengan 12 Maret 1967 di
Jakarta yang berhasil mengakhiri konflik politik. Berdasarkan Tap MPR XXXIII Secara
umum, kebijakan pemerintah Orde Baru terdiri atas kebijakan dalam negeri dan
kebijakan luar negeri.
Struktur perekonomian Indonesia pada tahun 1950–1965 dalam
keadaan kritis. Pemerintah Orde Baru meletakkan landasan yang kuat dalam
pelaksanaan pembangunan melalui tahapan Repelita, keadaan kritis ditandai oleh
hal-hal sebagai berikut.
- Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian sehingga struktur perekonomian Indonesia lebih condong pada sektor pertanian.
- Komoditas ekspor Indonesia dari bahan mentah (hasil pertanian) menghadapi persaingan di pasaran internasional, misalnya karet alam dari Malaysia, gula tebu dari Meksiko, kopi dari Brasil, dan rempah-rempah dari Zanzibar (Afrika), sehingga devisa negara sangat rendah dan tidak mampu mengimpor bahan kebutuhan pokok masyarakat yang saat itu belum dapat diproduksi di dalam negeri.
- Tingkat investasi rendah dan kurangnya tenaga ahli di bidang industri, sehingga industri dalam negeri kurang berkembang.
- Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia sangat rendah. Tahun 1960-an hanya mencapai 70 dolar Amerika per tahun, lebih rendah dari pendapatan rata-rata penduduk India, Bangladesh, dan Nigeria saat itu.
- Produksi Nasional Bruto (PDB) per tahun sangat rendah. Di sisi lain pertumbuhan penduduk sangat tinggi (rata-rata 2,5% per tahun dalam tahun 1950-an).
- Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia.
- Struktur perekonomian pada akhir tahun 1965, berada dalam keadaan yang sangat merosot. Tingkat inflasi telah mencapai angka 65% dan sarana ekonomi di daerah-daerah berada dalam keadaan rusak berat karena ulah kaum PKI/BTI yang saat itu berkuasa dan dengan sengaja ingin mengacaukan situasi ekonomi rakyat yang menentangnya.
Tugas pemerintah Orde Baru adalah menghentikan proses
kemerosotan ekonomi dan membina landasan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi ke
arah yang wajar. Dalam mengemban tugas utama tersebut, berbagai kebijaksanaan telah
diambil sebagaimana tertuang dalam program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS
No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha
rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan
kebutuhan sandang. Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan
apabila laju inflasi telah dapat terkendalikan dan suatu tingkat stabilitas
tercapai, barulah dapat diharapkan pulihnya kegiatan ekonomi yang wajar serta
terbukanya kesempatan bagi peningkatan produksi. Dengan usaha keras tercapai
tingkat perekonomian yang stabil dalam waktu relatif singkat.
Sejak 1 April 1969 pemerintah telah meletakkan landasan
dimungkinkannya gerak tolak pembangunan dengan ditetapkannya Repelita I. Dengan
makin pulihnya situasi ekonomi, pada tahun 1969 bangsa Indonesia mulai melaksanakan
pembangunan lima tahun yang pertama. Berbagai prasarana penting direhabilitasi
serta iklim usaha dan investasi dikembangkan.
Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas yang sangat
tinggi karena menjadi kunci bagi pemenuhan kebutuhan pangan rakyat dan sumber
kehidupan sebagian besar masyarakat. Repelita I dapat dilaksanakan dan selesai
dengan baik, bahkan berbagai kegiatan pembangunan dipercepat sehingga dapat
diikuti oleh Repelita selanjutnya. Perhatian khusus pada sektor terbesar yang
bermanfaat menghidupi rakyat, yaitu sektor pertanian. Sektor pertanian harus
dibangun lebih dahulu, sektor ini harus ditingkatkan produktivitasnya. Bertumpu
pada sektor pertanian yang makin tangguh itu kemudian barulah dibangun
sektor-sektor lain. Demikianlah pada tahap-tahap awal pembangunan, secara sadar
bangsa Indonesia memberikan prioritas yang sangat tinggi pada bidang pertanian.
Pembangunan yang dilaksanakan, yaitu membangun berbagai prasarana pertanian,
seperti irigasi dan perhubungan, cara-cara bertani, dan teknologi pertanian
yang diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan
penyuluhan. Penyediaan sarana penunjang utama, seperti pupuk, diamankan dengan
membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan
melalui kredit perbankan. Pemasaran hasil produksi mereka, kita berikan
kepastian melalui kebijakan harga dasar dan kebijakan stok beras.
Strategi yang memprioritaskan pembangunan di bidang
pertanian dan berkat ketekunan serta kerja keras bangsa Indonesia, khususnya
para petani, produksi pangan dapat terus ditingkatkan. Akhirnya, pada tahun
1984 bangsa Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Hal ini merupakan
titik balik yang sangat penting sebab dalam tahun 1970-an, Indonesia merupakan
negara pengimpor beras terbesar di dunia. Bersamaan dengan itu tercipta pula
lapangan kerja dan sumber mata pencaharian bagi para petani. Swasembada beras
itu sekaligus memperkuat ketahanan nasional di bidang ekonomi, khususnya pangan.
Dengan ditetapkannya Repe-lita I untuk periode 1969/1970–
1973/1974, merupakan awal pembangunan periode 25 tahun pertama (PJP I tahun
1969/ 1970–1993/1994). Pembangu-nan dalam periode PJP I dimulai dengan
pelaksanaan Repelita I dengan strategi dasar diarahkan pada pencapaian
stabilisasi nasional (ekonomi dan politik), pertumbuhan ekonomi, serta
menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor
pertanian. Ditem-patkannya stabilitas dan pertum-buhan ekonomi sebagai strategi
dasar dalam Repelita I tersebut dengan pertimbangan untuk melaksanakan Repelita
sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah ditentukan (diprioritaskan). Demikian
pula pertimbangan untuk menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian dan
industri yang menunjang sektor pertanian, didasarkan pertimbangan bahwa Indonesia
adalah negara bercorak agraris yang sebagian besar penduduknya (65%–75%)
bermata pencaharian di bidang pertanian (termasuk kehutanan, perkebunan,
perikanan, dan peternakan). Ini berarti sektor pertanian memberi sumbangan
terbesar kepada penerimaan devisa dan lapangan kerja. Mengingat pula bahwa
sektor ini masih memiliki kapasitas lebih yang belum dimanfaatkan. Oleh karena
itu, salah satu indikasi yang disimpulkan dalam Repelita I ini adalah perlunya
pengarahan sumber-sumber (resources) ke sektor pertanian. Secara lebih khusus,
hal ini berarti meningkatkan produksi pangan dan ekspor. Adanya hubungan antarberbagai
kegiatan ekonomi (inter-sectoral ) maka pertanian sebagai sektor pemimpin,
diharapkan dapat menarik dan mendorong sektor-sektor lainnya, antara lain
sektor industri yang menunjang sektor pertanian, seperti pabrik pupuk,
insektisida serta prasarana ekonomi lainnya, misalnya sarana angkutan dan
jalan. Kegiatan pembangunan selama Pelita I telah menunjukkan hasil-hasil yang
cukup menggembirakan, antara lain produksi beras telah meningkat dari 11,32
juta ton menjadi 14 juta ton; pertumbuhan ekonomi dari rata-rata 3% menjadi
6,7% per tahun; pendapatan rata-rata penduduk (pendapatan per kapita) dari 80
dolar Amerika dapat ditingkatkan menjadi 170 dolar Amerika. Tingkat inflasi
dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I (1973/1974).
0 komentar: