SEJARAH FILSAFAT HINDU-BUDDHA

2. 1. Filsafat Zaman India (Hindu)
2. 1. 1. Sifat-sifat Filsafat India
            Filsafat (zaman kuno) di India (”anviski” atau ”darsana” = sistem) itu sedikit berlainan artinya dibandingkan filsafat Barat modern. Lebih menyerupai ”ngelmu” daripada ”ilmu”, lebih mendekati arti kata phisolophia yang semula, lebih merupakan jaran hidup yang bertujuan memaparkan bagaimana orang dapat mencapai kebahagiaan yang kekal. Berbeda dengan sikap orang Yunani (yang pada umumnya dapat dikatakan: obyektif, rasional teknis) maka sikap orang India lebih subyektif, lebih mementingkan perasaan, penuh dengan rasa kesatuan dengan alam dunia yang mengelilinginya dan dengan hati terbuka bagi Realitas Ajaib yang mengatasi segala-galanya dan yang harus dihormati dengan korban-korban dan upacara-upacara. Perhatian terhadap manusia juga lain: tidaklah manusia dipandang sebagai terikat oleh dunia kebndaan dari mana ia harus membebaskan diri untuk mencapai kebahagiaan. Alam pikiran India boleh dikatakan: ”magis religius” dan dalam suasana ini filsafat berkembang, tidaklah sebagai suatu ilmu tersendiri melainkan sebagai suatu faktor penting dalam usaha pembebasan diri (liberation) itu.
            Suatu hal lain yang juga sangat penting ialah: bahwa pendapat-pendapat religius itu telah lama ditulis. (Weda), buku-buku mana selalu merupakan pangkalan dan dasar daripada renungan-renungan yang berupa tafsiran-tafsiran dan keterangan-keterangan.
            Jadi buku ini dan tafsiran-tafsirannya sebetulnya merupakan uraian kegamaan, tetapi dalam uraian-uraian itu terdapat unsur-unsur filsafat (tentang sifat-sifat) singkatnya: ”insight” yang sungguh-sungguh membawa manusia ke pembebasan.
            Maka sifat-sifat khusus yang membedakan filsafat India dari filsafat Yunani adalah sebagai berikut:
1)      Suasana dan bakat orang India yang berlainan dengan bakat orang Yunani (seperti misalnya ternyata dalam bahasa mereka).
2)      Seluruh pengetahuan dan filsafat diabdikan kepada usaha-usaha pembebasan dan penebusan itu.
3)      Berpangkal pada buku-buku kuno (Weda) yang kekuasaanyan tidak dapat diganggu-gugat, hanya dapat ditafsirkan dan diterangkan lebih lanjut.
4)      Perumusan-perumusan umumnya kurang tajam, tidak tegas membeda-bedakan antara misalnya: sifat-sifat diri: konkrit-abstrak, hidup-tidak hidup, kesatuan persamaan, sebab-alasan. Hal ini mengakibatkan seluruh filsafat India mendapatkan sifat samar yang mempersulit pemecahan besar. Karena pengaruh maha-besar dari tulisan-tulisan kuno itu, maka sistem-sistem filsafat sering sukar juga untuk mengikuti jalan pikiran dan mencapai sintesis.
5)      Berkaitan dengan perrnyataan di atas terlihat juga kekuatan asimilasi yang sangat besar, hingga unsur-unsur yang bertentangan satu sama lain dimasukkan dalam satu sistem: ”syncretisme”.
6)      Dalam semua sistem ditemukan sejumlah pengertian yang tidak timbul dari pandangan filsafat, melainkan yang merupakan warisan dari zaman kuno dan yang memegang peranan penting dalam semua sistem-sistem itu (kecuali dalam carvaka), misalnya: karena dengan kelahiran kembali, mukti, Samsara, Atman dan Brahmana. Demikian pula prinsip-prinsip etika (menguasai diri, hormat terhadap hidup, dan sebagainya).
Inilah yang memberikan corak kesatuan kepada semua aliran-aliran dan sistem-sistem walaupun berbeda-beda satu sama lain.

2. 1. 2. Perkembangan Filsafat India
            Perkembangan filsafat India terbagi menjadi lima zaman berikut ini:
a.       Zaman Weda (1500-600 SM). Zaman ini diisi oleh perdaban bangsa Arya. Pada saat itu baru muncul benih pemikiran filsafat yang berupa mantera-mantera, pujian keagamaan yang terdapat dalam sastra Brahmana dan Upanishad.
b.      Zaman Wiracarita (600-200 SM). Zaman ini diisi oleh perkembangan sistem pemikiran filsafat yang berupa Upanishad. Ide pemikiran filsafat tersebut muncul berupa tulisan-tulisan tentang kepahlawanan dan tentang hubungan antara manusia dengan dewa.
c.       Zaman Sastra Sutra (200 SM-1400 M). Zaman ini diisi oleh semakin banyaknya bahan-bahan pemikiran filsafat (sutra) ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh seperti Sankara, Ramanuja, Madhwa, dan lainnya.
d.      Zaman kemunduran (1400-1800 M). Zaman ini diisi oleh pemikiran filsafat yang mandul karena para ahli pikir hanya menirukan pemikiran filsafat yang lampau. Timbulnya keadaan ini disebabkan oleh pertemuan antara kebudayaan Barat dengan pemikiran India sehingga menimbulkan reaksi hebat dari pemikir India.
e.       Zaman Pembaharuan (1800-1950 M). Zaman ini diisi oleh kebangkitan pemikiran filsafat India. Pelopornya adalah Ram Mohan Ray, seorang pembaru yang mendapatkan pendidikan di Barat.

a.      Zaman Weda (1500- 600 SM)
            Dikatakan zaman Weda karena sumber benih pemikiran filsafat berasal dari kitab-kitab Weda (Rig Weda, Sama Weda, Yazur Weda, dan Athawar Weda). Benih pemikiran filsafat tersebut dalam mantera “di atas air samudera mengapung telor dunia, kemudian pecah menjadi wismakarman sebagai anak pertama alam semesta.” “Dunia tersusun menjadi tiga bagian, yaitu surga, bumi, dan langit, di mana ketiga bagian tersebut mempunyai dewa-dewa sendiri-sendiri.” “Jiwa manusia tidak dapat mati.” “Mereka yang masuk surga adalah orang-orang yang soleh dan hidup baik.”
            Orang-orang Arya meyembah pada dewa-dewa seperti matahari, bulan, bintang dan lainnya. Dewa secara harfiah berat terang, karena itu pengertian dewa adalah benda yang terang yang dianggap sebagai kekuatan alam yang mempunyai person. Dewa Indra dianggap sebagai dewa nasional, karena Dewa Indra berarti dbangsa Dasyu. Dewa lain yang dianggap penting adalah Dewa Waruna, yaitu dewa yang menguasai alam semesta, yang sekaligus sebagai dewa moral dan dewa segala dewa.
            Dalam sastra Brahman disebutkan bahwa ketika bangsa Arya telah menetap di lembah Gangga, benih pemikiran filsafat berupa ”korban”. Korban ini dianggap penting dalam kehidupan manusia, yang dipersembahkan kepada imam. Misalnya, korban diadakan agar matahari tetap bersinar sehingga dengan adanya korban ini kehidupam masyarakat bersifat ritualitas.
            Pada tahun 700 SM benih pemikran filsafat pembahasannya lebih mendalam lagi, bersumber pada sastra Upanishad. Keadaan yang demikian ini muncul tatkala kaum Ksatria memberontak kepada kaum Brahman. Pembeontakan ini karena ajaran Upanishad banyak yang diselewengkan. Kedalaman pemikiran filsafat terbukti dari anggapan dahulu (zaman Brahman), Dewa Brahman hanya dianggap sebagai asas pertama alam semesta. Namun, sekarang (zaman Upanishad) Dewa Brahman dianggap sebagai dewa yang transenden dan immanen. Juga, Dewa Brahman dianggap berada dalam alam semesta dan diri manusia, yang terjelma berupa unsur api.

b.      Zaman Wiracarita (600 SM-200 M)
            Sebagai latar belakang zaman ini adanya krisis politik, kemerosotan moral atau kepercayaan terhadap para dewa, akibat dari kaum penjajah (pendatang). Kemudian banyak orang mencari ketengan, dan muncullah para ahli pikir untuk menuangkan pemikirannya, sehingga terjadilah pertenatangan antarpemikiran. Timbullah aliran yang bertuhan (Baghawadigta), aliran yang tidak bertuhan (Jainisme dan Buddhisme), juga aliran yang spekulatif (Saddarcana).
            Jainisme timbul sebagai reaksi zaman Brahman. Pelopornya adalah Wadhamana (abad ke-6 SM). Sementara itu, Buddhisme (yang dicerahi) merupakan sebutan untuk tokoh rohani yang menjelma pada seseorang. Jelmaan terakhir Buddhisme adalah Sidharta, yang lahir tahun 567 SM di Kapilawastu.
            Baghawadigta adalah sebuah kitab yang ditulis pada abad ke-3 SM, pusat penyebarannya di Gangga Barat. Isi kitabnya adalah uraian ajaran Kresna pada Arjuna tentang bhakti (penyerahan diri).

c.       Zaman Sastra Sutra (200 SM - sekarang)
            Zaman ini juga disebut zaman Skolastik. Kitab yang muncul pertama kali adalah kitab Wedangga yang uraiannya berbentuk prosa, disusun secara singkat agar mudah dihafal atau diamalkan. Juga timbul sutra-sutra yang bertentangan dengan Weda, dan sutra tersebut dijadikan sumber pemikiran filsafat.

           
Sistem Filsafat India, terbagi menjadi enam sistem berikut.
a.       Nyala, yaitu membicarakan bagian umum dan metode yang dipakai dalam penyelidikan, yaitu metode kritis. Sistem ini juga digunakan untuk mencari hal yang benar dari ayat-ayat Weda, penulisnya Gautama (abad ke-4 SM).
b.      Waisesika, yaitu kitab yang bersumber pada Waisesika Sutra. Sistem pemikirannya bersifat metafisik. Ajaran pokoknya membicarakan tentang dharma yaitu uraian tentang kesejahteraan dunia dan memberikan pelepasan. Ajaran yang pokok lainnya adalah padharta, yaitu membicarakan kategori yang ada:substamsi, kualitas, aktivitas, sifat umum, sifat perseorangan, pelekatan, dan ketidakadaan. Penulisanya adalah Khanada.
c.       Sakha, artinya pemantula. Aliran ini mengemukakan bahwa untuk merealisasikan kenyataan akhir filsafat diperlukan pengetahuan. Pokok ajarannya, terdapat dua zat asasi yang bersama-sama membentuk realitas dunia, yaitu roh dan benda (purusa dan prakerti). Pendirinya adalah Sakha Kapila (abad ke-5 SM).
d.      Yoga, yaitu cara untuk mengawasi pikiran, agar kesadaran yang biasa menjadi luar biasa. Pendirinya Patanjali.
e.       Purna Wimansa, yaitu sistem inilah yang benar-benar mendasarkan pada kitab Weda. Sistem ini dimaksudkan untuk penyelidikan sistematis pada bagian pertama Weda. Pokok ajarannya, menegakkan wibawa kitab Weda dan menujukkan bahwa kitab Weda berisi upacara ritual.
f.        Wedanta yaitu sistem yang membicarakan bagian kitab Weda (yang terakhir). Kitab ini merupakan suatu kesimpulan kitab Weda. Sistem Wedanta ini bersamaan dengan zaman sutra (= zaman Skolastik) yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh Sankara, Ramanuja, Madhwa. Mereka ini telah berhasil menyusun kembali ajaran kuno yang dapat memberikan peluang dalam perkembangan filsafat India.
Tokoh-tokoh tersebut di atas mengemukakan ajaran sebagai berikut.
1.   Sankara (788-820) merupakan pengajar aliran Adwaita. Pokok ajarannya bahwa ”Brahman adalah nyata. Jiwa perseorangan adalah Brahman. Brahman tidak rangkap. Dunia tidak nyata. Jiwa tidak berbeda dengan Brahman.”
2.   Ramanuja (1017-1137), ia berupaya mempersatukan agama Wisnu dengan Wedanta. Sumber ajarannya Wisista Waita (kitab Upanishad). Menurutnya, terdapat tiga kenyataan yang tertinggi: Tuhan (Iswara), jiwa (cit), dan benda (acit). Hanya Tuhanlah kenyataan yang bebas.
3.   Madwa (1199-1278), ia sangat berpengaruh di India Barat. Pokok ajarannya,  ”ada”, merupakan kenyataan yang jamak (dualisme). Segala sesuatu ini beraneka ragam. Terdapat lima perbedaan, yaitu antara Tuhan dan jiwa; antara jiwa (yang satu) dan jiwa (yang lain); antara Tuhan dan benda; antara jiwa dan benda; antara benda (yang satu) dan benda (yang lain).

d.Filsafat India pada Akhir Abad ke-20
            Mulai abad ke-7 sampai abad ke-14, karena jasa Sankara, ajaran Wedanta mendominasi pemikiran pemikiran filsafat India. Akan tetapi, setelah abad ke-14 pemikiran filsafat mengalami kemunduran hingga abad ke-18. Kemunduran ini sebenarnya telah muncul mulai abad ke-12 saat kedatangan agama Islam di India. Tokohnya Kabir (1440-1518), yang berupaya untuk menyingkirkan unsur-unsur yang melemahkan perjuangan Islam dan mencoba membuat suatu sintesis antara Islam dengan Hindu. Kemudia, diteruskan oleh anaknya Nanak (1469-....) yang mempunyai sifat lebih ekstrem.
            Setelah abad ke-19, pemikiran filsafat India bangkit berkat sentuhan kebudayaan Barat. Pelopornya adalah Ram Mohan Ray (1777-1833). Ia seorang Hindu yang memperoleh pendidikan Barat. Gerakannya disebut Brahma Samj, yang mempunyai sikap keras terhadap Kristen. Penggantinya Rabindranath Tagore (1861-1941), seorang pujangga, ahli filsafat, dan pendidik India, kemudian disusul Kesab Chandra Sen (1838-1884), akhirnya Brahman Samaj pecah karena Kristen.
            Tahun 1875 muncul gerakan pembaru pemikiran filsafat India, yaitu Arya Samaj sebagai pendirinya Awami D. Saraswati (1824-1884). Gerakan ini bertujuan untuk mengadakan pembaruan terhadap agama Hindu dan mencari sintesis yang kuno dengan yang baru, antara Barat dan Timur. Seorang pembaharu yang lain adalah Sri Ramkresna (1834-1886), ia adalah seorang imam kuil di Calcuta. Ajarannya berpangkal pada bermacam-macam kepercayaan yang ada, yang sebenarnya menuju pada satu tujuan perealisasian Tuhan.
            Seseorang pembaru lain adalah Mahatma Gandhi (1869-1948). Ajarannya, untuk mencari kemenangan harus dengan Satyagraha (kekuatan kebenaran). Artinya, orang harus memegang teguh kebenaran walaupun pada saat-saat membahayakan. Kejahatan harus dilawan dengan kebaikan. Ajarannya itu diberikan karena ia terjun di dunia politik. Terdapat dua orang pembaru, yaitu Sri Aurobindo (1872-1950), dan Sri Rama Maharsi.

2. 2. Filsafat Tiongkok (Buddha)
2. 2. 1. Sifat-sifat Filsafat Tiongkok
            Yang menjadi pusat perhatian dalam filsafat Tionghoa (Chu tzu, atau: Hsuan-Huseh, atau:tao-hseh) yaitu kelakuan manusia, sikapnya terhadap dunia yang mengelilinginya dan sesama manusianya.
            Filsafat Barat menanyakan hubungan sebab-akibat, mencari mengapa dan bagaimana obyek yang diselidiki secara obyektif. Berlainan dengan filsafat Tionghoa: bagi filsuf-filsuf Tionghoa manusia dan dunia merupakan satu kesatuan, satu ”kosmos”, kesatuan yang mana tidak boleh diganggu oleh perbuatan-perbuatan manusia yang tidak selayaknya. Hanya jika tata dan kesatuan yang ada itu tetap terpelihara, semua akan selamat. Maka yang ditinjau oleh filsuf-filsuf Tionghoa ialah: bagaimanakah sikap orang terhadap dunia, terhadap sesama manusia dan terhadap ”Surga” agar manusia tetap dalam hubungan yang harmonis dalam dunia, manusia dan ”Surga”. Itulah yang mereka lebih titik beratkan ”What man is (= his moral qualities) daripada ”What he has (= his intellectual capacities). Pengetahuan tidaklah dikejar ”asal mengetahui saja” melainkan untuk diterapkan pada kelakuan manusia. Cita-cita mereka tidak lain menjadi ”the inner Sage” artinya orang yang telah membentuk kebajikan dalam dirinya sendiri yang ”bijaksana” betul-betul maka yang dititik beratkan ialah:
1)      Etika, bukanlah Logika atau Metafisika.
2)      Sistem-sistem filasafat dalam arti normal hampir-hampir tidak ada, akan tetapi ini tidak berarti bahwa de facto tidak ada sistem-sistem dalam arti ”organic unity of ideas” (seperti halnya pada Socrates dan juga Plato).
3)      Walaupun terlihat dalam filsafat Tionghoa hampir tidak ada kemajuan dan perkembangan akan tetapi para ”penafsir” juga mengemukakan buah-buah pikirannya sendiri, yang sejak dahulu masih terkandung dalam sistem-sistem lama berupa ”benih”, lama kelamaan menjadi lebih terlihat.

2. 2. 2. Latar Belakang Filsafat Tiongkok
            Banyak aspek yang melatarbelakangi pemikiran filsafat Tiongkok, seperti aspek-aspek geografis, ekonomi, sikap terhadap alam, sistem kekerabatan dan lainnya. Tiongkok adalah suatu negeri daratan (continental) yang luas sekali, tidak pernah melihat lautan. Berbeda dengan Yunani yang merupakan negeri maritim, rakyatnya mengandalkan pertanian. Sebagai negeri agraris yang selalu mengandalkan potensi atau hasil tanahnya. Hal ini dibuktikan bahwa keunggulan kerajaan Tiongkok kuno ditentukan oleh keahlian bertani dan berperang, seperti kerajaan Chin pada abad ke-4 SM, yang untuk pertama kalinya dapat mempersatukan daratan Tiongkok.
            Dalam tradisi Tiongkok, jenis pekerjaan yang mendapat tempat terhormat adalah menuntut ilmu (belajar) dan mengolah tanah (bertani). Jenis pekerjaan ini akan mempengaruhi sikap mereka terhadap alam dan pandangan hidupnya. Para petani mempunyai sifat khusus ”kesederhaan”, dan mereka selalu menerima dan mematuhi perintah. Mereka pun tidak pernah mementingkan dirinya sendiri. Sifat-sifat yang demikian inilah yang menjelma dalam sikap hidupnya.
            Akar atau sumber alam pikiran rakyat Tiongkok adalah Taoisme dan Confucianisme. Taoisme adalah pandangan hidup yang menitikberatkan pada hal-hal yang sifatnya naturalistik yang berada dalam diri manusia. Sementara itu, Confucianisme adalah suatu pandangan hidup yang menitikberatkan pada organisasi sosial dan menekankan kepada tanggung jawab manusia terhadap masyarakat. Sebagai contoh:
  • fajar telah menyingsing;
  • jangan sekali-kali berlebih-lebihan;
  • bilaman matahari telah mencapai puncaknya;
  • maka turunlah ia;
  • dan bilamana bulan sudah purnama;
  • maka mengcilah ia.

Dalam bidang kesenian, rakyat menganggap bahwa kesenian merupakan alat untuk pendidikan moral. Terbukti adanya lukisan-lukisan Tiongkok yang tergolong kelas utama, selalu menggambarkan pemandangan-pemandangan dan bunga-bungaan, pohon-pohonan, atau orang yang sedang duduk di pinggir sungai atau gunung.
Keadaan rakyat Tiongkok yang agraris ini berpengaruh pada metode filsafatnya. Terdapat dua macam konesp, yaitu metode yang dicapai lewat intuisi dan lewat hipoteiss. Bahasa yang digunakan dalam pemikiran filsafat adalah sugestif, artinya isi pemikirannya tidak tegas, hanya mengandung saran-saran.

2. 2. 3. Sentuhan dengan Filsafat Barat
            Orang Barat menamakan Tiongkok sebagai negeri Timur Jauh. Sebaliknya menganggap kebudayaan lain adalah salah atau tidak setinggi kebudayaan yang dimilkinya. Semua orang asing disebutnya orang Barbar sehingga menimbulkan rasa nasionalismenya sangat tinggi.
            Pada akhir Dinasti Ming (abad ke-14), banyak pelajar Tiongkok yang mengagumi matematika dan stronomi, yang dibawa dari Barat oleh kaum misionaris Kristen sehingga banyak pelajar yang masuk menjadi misionaris.
            Pada abad ke-19, karena keunggulan militer, industri, dan perdagangan barat, kebetulan bersamaan dengan krisis politik dalam negeri, timbullah sengeketa antara Tiongkok dengan orang misionaris. Akibatnya, muncul gerakan untuk kembali kepada ajaran Confusius. Pelopornya adalah K’ang Yu Mei (1858-1927). Setelah terjadi pergolakan, ia melarikan diri ke luar negeri.
            Pada abad ke-20 perkembangan kaum Kristen semakin pesat karena didorong oleh masuknya ilmu pengetahuan modern. Mempengaruhi jatuhnya Dinasti Ming, dan diganti dengan sistem pemerintah republik (tahun 1912).

Yen Fu (1853-1920)
            Yen Fu (1853-1920) oleh penguasa Tiongkok dikirim untuk belajar ilmu perkapalan ke Inggris. Banyak ilmu yang didapatkannya, termasuk literatur-literatur tentang humaniora, kemudian banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Tiongkok (Cina).
            Pada tahun 1919 Jhon Dewey dan Bertrand Russel diundang ke Tiongkok untuk memberikan ceramahnya di Universitas Peking (Beijing), sekaligus memberikan pandanagn intelektualnya. Hal ini diharapkan dapat disumbangkan (sebagai sumbangan barat) terhadap pemikiran filsafat Tiongkok. Sumbangan tersebut berupa metode analisis yang berdasarkan logika (metode positif). Metode positif tersebut akan dapat memberikan cara berpikir yang baru terhadap pemikiran filsafat. Sampai sekarang, sentuhan Barat yang telah membekas adalah adanya filsafat Tiongkok.

2. 2. 4. Perkembangan Filsafat Tiongkok
a.      Periode Filsuf
§         Alam pikiran sebelum Confusius
Mengakui adanya Tuhan: Surga (T’ien). Allah (Ti) Shang Ti. Tuhan Yang Maha Tinggi yang mengatasi segala ruh-ruh (Shen). Magi (shu shu) dan astrologi. Arwah orang mati hidup terus asal diberikan korban-korban. Pengertian Yang dan Tin,(Kedua unsur yang mengandung prinsip pertama: Surga-dunia, pria-wanita, evolusi-regressi). Pusat tata kemasyarakatan ialah Raja. Ritual ditentukan oleh hubungan-hubungan sosial. Tidak mengindahkan tata dalam alam mengakibatkan bencana-bencana.
Karena perubahan-perubahan sosial (jatuhnya sistem feodal, munculnya perdaganga, kesukaran-kesukaran di lapangan agraria) timbullah kebutuhan akan kajian-kajian mengenai tingkah laku dan sikap seseorang terhadap orang-orang lain, disertai reaksi ingin kembali ke masa yang lampau, yang dipuja sebagai ”zaman keemasan”. Dalam suasana inilah timbul filsafat Tionghoa.

§         Confucius dan Confucianisme
Confucius (551-479) adalah nama Latin dari K’ung Fu-Tzu (guru K’ung). Menurut K’ung Futzu kekacauan sosial adalah akibat ditinggalkannya adat-istiadat dan tata kemasyarakatan kuno. Satu-satunya jalan untuk memperbaiki keadaan ialah: kembali ke tata kemasyarakatan lama di mana setiap orang mempunyai dan mengerti hak-hak dan kewajiban-kewajiban sendiri. Maka diusahakannya ”membenarkan nama (chong min); nama-nama harus sesuai lagi dengan kenyataan, jadi pesesuaian antar kedudukan dan sikap orang. Dengan demikian tercapailah ”keseimbangan yang seharusnya” (i), yang menyatakan diri dalam cara-cara yang tepat, cara bertindak yang baik (ii).
Pengertian-pengertian lain yang sangat penting adalah ialah: Te =  kebajikan; yen = sikap yang sebenarnya terhadap sesama manusia; dan syiau = menjalankan kewajibannya sebagai anak. Pengertian-pengertian ini sukar diterjemahkan karena isinya dalam perjalanan sejarah bertambah dan berubah dan dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Budhisme dan Taoisme. Jasa Confucius ialah bahwa ia meneruskan pikiran-pikiran warisan zaman dahulu dengan membentuknya sebagai suatu keseluruhan, suatu sistem ”thus being a creator through being a trnsmitor”.
Perkembangn Confusianisme selanjutnya:
- Mecius (Meng Tse, kurang lebih 472-189).
- Syun Tze (298-238)
- Confucianisme selama dinasti-dinasti Chin (225-207) dan Han (206 SM) dengan kemenangan Conficianisme sebagai ajaran ortodox pada tahun 136 SM.

§         Mo Tse dan Mazhab Mohist
Mo Tse (kurang lebih 479-381) dan Mazhabnya mempunyai pengaruh yang penting. Ia mengajarkan ”cinta kepada sesama manusia yang universal” sebagai dasar filsafat (chien ai). ”Universal love” ini tidak hanya menguntungkan bagi yang dicintai, tetapi juga bagi yang mencintai, jadi timbal balik.
Inilah dasar dalam ”utilitarisme” Mo Tse dan perbedaan terbesar dan filsafat Confucius. Dalam perkembangan selanjutnya (300-200) dikerjakan metode dialektik.

§         Lao Tse dan Mazhab Taiosme
Lao Tse (sekitar 350 sebelum Masehi) dengan bukunya yang terkenal: Tao Te Ching (Buku tentang jalan dan kebajikan) menitikberatkan selalu berubahnya kenyataan. Semua perbuatan manusia harus sesuai dengan Tao (jalan)., selalu menurut saja, bahkan tidak berbuat apa-apa (wu-wei). Dalam perkembangan selanjutnya Taoisme berubah sifatnya menjadi magis belaka. Nama-nama yang terpenting: Chuang Tse dan Lio Tse.


§         Dialektisi (sekitar 370 SM)
Kung-sun-Lung, Hui Ship. Perhatian besar teori-teori pengetahuan, dengan kegemaran untuk membuat paradoks-paradoks, seperti terdapat pada Zeno.

§         Mazhab Hukum
Buku-buku terkenal: Chang Tse dan Han Fei Tse (sekitar 359 SM). Hukumlah yang merupakan asas persatuan suatu negera, seluruh kekuasaan harus dipusatkan di tangan raja, rakyat harus tetap miskin dan lemah, ketakutan akan membawa orang pada kebajikan, orang-orang jahat harus menguasai orang baik, diktator yang amoral.

b. Periode Pengetahuan Klasik
    (136 Sebelum Masehi  – 1932 Masehi)
            Perkembangan filsafat Tionghoa dala periode ini terutama terdiri dari interpretasi dan penafsiran tulisan-tulisan para filsuf Klasik, baik Confucius maupun Taoisme dan Buddhisme.
§         Confucianisme
Ø      Berdampingan terdapat:
-         Mazhab baru Tung Chung-shu (179-104), Meng Hsi Ching Fang (37 SM)
-         Mazhab lama yaitu Hsing (53 SM-18 SM), Lui Hsing (46 SM) Wang Ch’ung (27-100).
Ø      Mendahului Neo-Confucianisme: Wang Tung (58-617), Han Yu (768-824), Li Ap (844).
Ø      Chou Tunyi (1017-1073), Shao Wung (1011-1077), Chang Tsai (1020-1077/.
-         Rasionalisitis; Ch’eng Yi (1033-1108), dan Chu His (1130-1200)
-         Idealistis; Ch’enh Hap (1032-1085), Lu Chiu Yuan (1139-1193), Yang Ching (1140-1226).
-         Selama dinasti Ming (1368-1643) perkembangan besar: Cheng Hsien-Chang (1472-15000, Chang jo shui (1466-1560). Wang Shujen (1472-1529), Wan Ken (1438-1540), Wang Chi (1498-1583). Yen Chung (abad ke XVII) dan lain-lain.
Ø      Mazhab Teks Baru: T’an Ssu-T’ung (1865-1898), K’ang Yu Wei (1858-1927), Liao P’ing (1852-1932).
§         Taoisme
Ø      Religius: Wei Po-Yang (kurang lebih 142), Yu Fan (164-233), Ko Hung (250-330).
Ø      Neo-Taoisme: Wong Pi (226-249), Hsiang Hsiu (221-300), Kuo Hsiang (312). Ku Haun (420-483), T’ai-ahih Shu-ming (474-546).
§         Buddhisme
            Buddhisme memasuki Tiongkok pada permulaan abad ke-I, pada abad ke IV dan ke V terwujudlah ”Ketujuh Mazhab”. Pengaruhnya besar sampai pada akhir abad ke X. Beberapa nama: Chi Tsang (549-632), Chih-k’ai (538-597), Shen Hsiu (600-700) dan lain-lain.
















0 komentar: