UPAYA MENGHADAPI SERANGAN BELANDA PADA PERTEMPURAN LIMA HARI LIMA MALAM DI PALEMBANG
UPAYA MENGHADAPI SERANGAN BELANDA PADA PERTEMPURAN LIMA HARI LIMA MALAM DI PALEMBANG
By : Sri Purwati
Pengantar
Palembang merupakan kota yang sangat strategis di Sumatera Selatan. Sebagai kota tua, Palembang banyak menyimpan sejarah perjuangan rakyat. Keberadaan Palembang yang dibagi oleh Sungai Musi menambah eksotismenya. Ciri khas kota Palembang sebagai kota yang sangat didominasi oleh air, bahkan oleh Belanda sebelum Perang Dunia II, pernah dipromosikan sebagai “Venetie van het Verre Oasten” atau “Venesia dari Timur Jauh”. Kekayaan alam Sumatera Selatan menjadi kebanggaan sekaligus ancaman dari bangsa asing.
Setelah Perang Dunia II, Sekutu memboncengi NICA ke Indonesia dengan maksud agar Belanda dapat kembali menguasai Indonesia. Konflik RI dan Belanda semakin menimbulkan ketegangan. Para pasukan RI, lasykar dan rakyat berusaha mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai pada 17 Agustus 1945. Usaha untuk mencapai kepentingan Belanda berlanjut dengan pertempuran besar. Pertempuran besar yang menentukan antara lain Bandung Lautan Api, Pertempuran Ambarawa, Medan Area, Puputan Margarana dan lain-lain. Di Sumatera Selatan pun terjadi pertempuran besar yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang. pertempuran ini terjadi pada tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang tiga matra yang pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang tersebut terjadi melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara. Belanda sangat berkepentingan untuk menguasai Palembang secara total karena tinjauan Belanda terhadap Palembang dari aspek politik, ekonomi dan militer. Dalam aspek politik, Belanda berusaha untuk menguasai Palembang karena ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka benar-benar telah menguasai Jawa dan Sumatera. Ditinjau dari aspek ekonomi berarti jika Kota Palembang dikuasai sepenuhnya maka berarti juga dapat menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju serta Sei Gerong. Selain itu, dapat pula me- manfaatkan Palembang sebagai pusat perdagangan karet dan hasil bumi lainnya untuk tujuan ekspor. Sedangkan jika ditinjau dari segi militer, sebenarnya Pasukan TRI dan pejuang yang dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan pasukan yang relatif mempunyai persenjataan yang terkuat, jika dibandingkan dengan pasukan–pasukan yang berada di luar kota. Oleh karena itu, jika Belanda berhasil menguasai Kota Palembang secara total, maka akan mempermudah gerakan operasi militer mereka ke daerah-daerah pedalaman.
Peranan rakyat sangat besar dalam pertempuran Lima Hari Lima Malam. Motivasi perjuangan rakyat Indonesia umumnya dan khususnya para pejuang di daerah Sumatera Selatan yakni adanya “sense to be a nation”, rasa harga diri sebagai suatu bangsa yang telah merdeka. Semboyan “Merdeka atau Mati” yang berkumandang semasa periode Perang Kemerdekaan adalah wujud usaha untuk menjaga agar tetap berdirinya Negara Republik Indonesia.
Provokasi Belanda
Daerah Keresidenan Palembang pada masa-masa menjelang Pertempuran Lima Hari Lima Malam memiliki keunikan tersendiri, bila dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia lainnya yang telah diduduki oleh Sekutu (NICA), seperti Medan, Padang, Jakarta, Bandung, dan lain-lainnya, yang masih terdapat pemerintahan RI lengkap dengan pasukan, karena keberhasilan diplomasi yang dilakukan oleh kepala pemerintahan setempat. Setelah Belanda menggantikan Inggris di Palembang pada 24 Oktober 1946, Kolonel Mollinger menjadi Komandan territorial Belanda untuk Sumatera Selatan (Palembang, Lampung, Bangka, dan Jambi). Penyerahan pendudukan Inggris kepada Belanda berlangsung pada 7 November 1946. Setelah menggantikan Inggris, Belanda menuntut garis demarkasi yang lebih jauh. Untuk mencegah timbulnya insiden dilakukanlah perundingan antara pihak Belanda dan RI pada tanggal November 1946.
Hal terpenting dari perundingan itu antara lain tentara Belanda tidak akan memperluas atau melewati batas daerah yang diserahkan kepadanya oleh Inggris dan akan memelihara status quo. Sementara itu di Palembang mulai dilakukan pengembangan kekuatan militer oleh Pasukan TRI sedangkan, pihak Belanda giat menyusun posisi dan memperkuat pasukannya di Palembang.
Pada bulan Desember 1946, pihak Belanda telah menyusun pasukan-pasukannya di Kota Palembang dan sekitarnya. Kapal-kapal perang Belanda mulai melakukan pencegahan terhadap lalu lintas pelayaran antara Palembang – Lampung – Jambi – Singapura, yang bertujuan untuk mengadakan blokade ekonomi dan militer. Blokade bertujuan agar hubungan timbal balik antara Jambi, Lampung, Palembang dan Singapura terputus sehingga hasil bumi, barang kebutuhan hidup dan senjata tidak dapat diimpor dan diselundupkan dari Singapura. Dr. A.K. Gani melakukan kegiatan menembus blokade tersebut untuk memperkuat perjuangan sehingga dia dijuluki “The biggest smuggler of South East”.
Panglima Komando Sumatera, Jenderal Mayor Suharjo Harjowardoyo mengeluarkan Perintah Harian lewat corong Radio Republik Indonesia di Palembang pada akhir Desember 1946 yang ditujukan kepada pasukan-pasukan RI di daerah pendudukan Belanda di Medan, Padang dan terutama yang di Palembang untuk selalu siap siaga dan waspada menunggu instruksi dari pemerintahan pusat.
Pada tanggal 28 Desember 1946, seorang anggota Lasykar Napindo bernama Nungcik ditembak mati karena melewati pos pasukan Belanda di Benteng. Malam harinya Belanda melanggar garis demarkasi yang telah ditentukan. Dua buah Jeep yang dikendarai oleh pasukan Belanda dari Talang Semut melewati Jalan Merdeka, Jalan Tengkuruk (sekarang Jalan Sudirman), Rumah Sakit Charitas sambil melepaskan tembakan-tembakan secara mem****buta. Pancingan itu segera mendapat jawaban dari pasukan RI. Meletuslah pertempuran yang berlangsung sekitar 13 jam lamanya. Setelah terjadinya perang sekitar 13 jam, situasi Palembang dalam kondisi cease fire. Insiden ini menunjukkan akan meletusnya perang yang lebih besar, karena Belanda berusaha meningkatkan pertahanannya.
Penghentian tembak-menembak tersebut tidaklah berlangsung lama, Belanda kembali melanggar kesepakatan pada 29 Desember 1946, berupa terjadinya penembakan terhadap Letnan Satu A. Riva’i, Komandan Datasemen Divisi Dua, yang mengendarai sepeda motor Harley Davidson saat sedang melakukan inspeksi kepada pasukan-pasukan dan pos-pos pertahanan TRI-Subkoss/ Lasykar. Ketika melintas di depan Charitas, ia ditembak dengan senjata otomatis oleh pasukan belanda yang berada di Charitas. Letnan Satu A. Riva’i berhasil menyelamatkan diri walaupun tembakan itu tepat mengenai perutnya.
Provokasi Belanda terus terjadi pada 31 Desember 1946 menyebabkan insiden dengan pihak TRI yang sifatnya sporadis. Belanda melakukan konvoi dari Talang Semut menuju arah Jalan Jenderal Sudirman. Mobil tersebut melaju dengan kencang dan melepaskan tembakan-tembakan. Kontak senjata tidak terelakkan di depan Masjid Agung dan sekitar rumah penjara Jalan Merdeka. Pasukan TRI melakukan pengepungan dan serangan terhadap kekuatan Belanda di Charitas sehingga tidak mungkin Belanda untuk keluar dan meneriman bantuan dari luar. Akhirnya Belanda meminta bantuan Panglima Divisi II (Kol. Hasan Kasim) dan Gubernur Sumatera Selatan (dr. M. Isa) untuk penghentian tembak-menembak (cease fire).
Tujuan dilakukan penghentian tembak-menembak bagi Belanda adalah untuk menyusun kembali kekuatan tempurnya. Sebelum Belanda melakukan serangan udara itu memakan waktu yang relatif singkat, yaitu beberapa jam sebelum matahari terbenam menjelang malam. Belanda melakukan penembakan dengan mortir ke tempat dimana Pasukan TRI/ Lasykar berada yaitu di Gedung Perjuangan (sekarang Pusat Perbelanjaan Bandung), di daerah dekat Sungai Jeruju, daerah Tangga Buntung dan sebagainya. Dengan demikian telah berakhir kesepakatan penghentian tembak-menembak oleh Belanda.
Insiden-insiden yang terjadi pada akhir tahun 1949 tersebut menjadikan situasi di Kota Palembang dan sekitarnya menjadi panas (Perwiranegara, 1987 : 58). Insiden yang terjadi sesungguhnya adalah cara Belanda untuk memicu keributan dengan tujuan agar terjadi pertempuran yang lebih besar.
Pada hari Rabu, tanggal 1 Januari 1947, sekitar pukul 05.30 pagi, sebuah kendaraan Jeep yang berisi pasukan Belanda keluar dari Benteng dengan kecepatan tinggi. Mereka melampaui daerah garis demarkasi yang sudah disepakati. Ternyata mereka mabuk setelah pesta semalam suntuk merayakan datangnya tahun baru. Kendaraan Jeep itu melintasi Jalan Tengkuruk membelok dari Jalan Kepandean (sekarang Jalan TP. Rustam Efendi) lalu menuju Sayangan, kemudian melintasi ke arah Jalan Segaran di 15 Ilir, yang banyak terdapat markas pasukan RI/ Lasykar seperti Markas Napindo, Markas TRI di Sekolah Methodist, rumah kediaman A.K. Gani, Markas Divisi 17 Agustus, Markas Resimen 15 dan markas Polisi Tentara.
Pada kesempatan yang sama para pemimpin milter dan lasykar mengadakan rapat komando untuk menentukan sikap dalam menghadapi provokasi Belanda. Rapat dihadiri pimpinan pemerintah sipil Gubernur Muda M. Isa. Dalam rapat tersebut, Panglima Divisi II Kolonel Bambang Utoyo, Gubernur Muda M. Isa maupun Panglima Lasykar 17 Agustus, Kolonel Husin Achmad menyatakan bahwa dalam menghadapi provokasi Belanda, pihak RI bertindak tidak lagi sekedar membalas serangan, melainkan harus berinisiatif untuk menggempur semua kedudukan dan posisi pertahanan Belanda di seluruh sektor. Kepala staf Divisi II, Kapten Alamsyah, mengeluarkan perintah “Siap dan Maju” untuk bertempur menghadapi Belanda.
By : Sri Purwati
Pengantar
Palembang merupakan kota yang sangat strategis di Sumatera Selatan. Sebagai kota tua, Palembang banyak menyimpan sejarah perjuangan rakyat. Keberadaan Palembang yang dibagi oleh Sungai Musi menambah eksotismenya. Ciri khas kota Palembang sebagai kota yang sangat didominasi oleh air, bahkan oleh Belanda sebelum Perang Dunia II, pernah dipromosikan sebagai “Venetie van het Verre Oasten” atau “Venesia dari Timur Jauh”. Kekayaan alam Sumatera Selatan menjadi kebanggaan sekaligus ancaman dari bangsa asing.
Setelah Perang Dunia II, Sekutu memboncengi NICA ke Indonesia dengan maksud agar Belanda dapat kembali menguasai Indonesia. Konflik RI dan Belanda semakin menimbulkan ketegangan. Para pasukan RI, lasykar dan rakyat berusaha mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai pada 17 Agustus 1945. Usaha untuk mencapai kepentingan Belanda berlanjut dengan pertempuran besar. Pertempuran besar yang menentukan antara lain Bandung Lautan Api, Pertempuran Ambarawa, Medan Area, Puputan Margarana dan lain-lain. Di Sumatera Selatan pun terjadi pertempuran besar yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang. pertempuran ini terjadi pada tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang tiga matra yang pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang tersebut terjadi melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara. Belanda sangat berkepentingan untuk menguasai Palembang secara total karena tinjauan Belanda terhadap Palembang dari aspek politik, ekonomi dan militer. Dalam aspek politik, Belanda berusaha untuk menguasai Palembang karena ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka benar-benar telah menguasai Jawa dan Sumatera. Ditinjau dari aspek ekonomi berarti jika Kota Palembang dikuasai sepenuhnya maka berarti juga dapat menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju serta Sei Gerong. Selain itu, dapat pula me- manfaatkan Palembang sebagai pusat perdagangan karet dan hasil bumi lainnya untuk tujuan ekspor. Sedangkan jika ditinjau dari segi militer, sebenarnya Pasukan TRI dan pejuang yang dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan pasukan yang relatif mempunyai persenjataan yang terkuat, jika dibandingkan dengan pasukan–pasukan yang berada di luar kota. Oleh karena itu, jika Belanda berhasil menguasai Kota Palembang secara total, maka akan mempermudah gerakan operasi militer mereka ke daerah-daerah pedalaman.
Peranan rakyat sangat besar dalam pertempuran Lima Hari Lima Malam. Motivasi perjuangan rakyat Indonesia umumnya dan khususnya para pejuang di daerah Sumatera Selatan yakni adanya “sense to be a nation”, rasa harga diri sebagai suatu bangsa yang telah merdeka. Semboyan “Merdeka atau Mati” yang berkumandang semasa periode Perang Kemerdekaan adalah wujud usaha untuk menjaga agar tetap berdirinya Negara Republik Indonesia.
Provokasi Belanda
Daerah Keresidenan Palembang pada masa-masa menjelang Pertempuran Lima Hari Lima Malam memiliki keunikan tersendiri, bila dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia lainnya yang telah diduduki oleh Sekutu (NICA), seperti Medan, Padang, Jakarta, Bandung, dan lain-lainnya, yang masih terdapat pemerintahan RI lengkap dengan pasukan, karena keberhasilan diplomasi yang dilakukan oleh kepala pemerintahan setempat. Setelah Belanda menggantikan Inggris di Palembang pada 24 Oktober 1946, Kolonel Mollinger menjadi Komandan territorial Belanda untuk Sumatera Selatan (Palembang, Lampung, Bangka, dan Jambi). Penyerahan pendudukan Inggris kepada Belanda berlangsung pada 7 November 1946. Setelah menggantikan Inggris, Belanda menuntut garis demarkasi yang lebih jauh. Untuk mencegah timbulnya insiden dilakukanlah perundingan antara pihak Belanda dan RI pada tanggal November 1946.
Hal terpenting dari perundingan itu antara lain tentara Belanda tidak akan memperluas atau melewati batas daerah yang diserahkan kepadanya oleh Inggris dan akan memelihara status quo. Sementara itu di Palembang mulai dilakukan pengembangan kekuatan militer oleh Pasukan TRI sedangkan, pihak Belanda giat menyusun posisi dan memperkuat pasukannya di Palembang.
Pada bulan Desember 1946, pihak Belanda telah menyusun pasukan-pasukannya di Kota Palembang dan sekitarnya. Kapal-kapal perang Belanda mulai melakukan pencegahan terhadap lalu lintas pelayaran antara Palembang – Lampung – Jambi – Singapura, yang bertujuan untuk mengadakan blokade ekonomi dan militer. Blokade bertujuan agar hubungan timbal balik antara Jambi, Lampung, Palembang dan Singapura terputus sehingga hasil bumi, barang kebutuhan hidup dan senjata tidak dapat diimpor dan diselundupkan dari Singapura. Dr. A.K. Gani melakukan kegiatan menembus blokade tersebut untuk memperkuat perjuangan sehingga dia dijuluki “The biggest smuggler of South East”.
Panglima Komando Sumatera, Jenderal Mayor Suharjo Harjowardoyo mengeluarkan Perintah Harian lewat corong Radio Republik Indonesia di Palembang pada akhir Desember 1946 yang ditujukan kepada pasukan-pasukan RI di daerah pendudukan Belanda di Medan, Padang dan terutama yang di Palembang untuk selalu siap siaga dan waspada menunggu instruksi dari pemerintahan pusat.
Pada tanggal 28 Desember 1946, seorang anggota Lasykar Napindo bernama Nungcik ditembak mati karena melewati pos pasukan Belanda di Benteng. Malam harinya Belanda melanggar garis demarkasi yang telah ditentukan. Dua buah Jeep yang dikendarai oleh pasukan Belanda dari Talang Semut melewati Jalan Merdeka, Jalan Tengkuruk (sekarang Jalan Sudirman), Rumah Sakit Charitas sambil melepaskan tembakan-tembakan secara mem****buta. Pancingan itu segera mendapat jawaban dari pasukan RI. Meletuslah pertempuran yang berlangsung sekitar 13 jam lamanya. Setelah terjadinya perang sekitar 13 jam, situasi Palembang dalam kondisi cease fire. Insiden ini menunjukkan akan meletusnya perang yang lebih besar, karena Belanda berusaha meningkatkan pertahanannya.
Penghentian tembak-menembak tersebut tidaklah berlangsung lama, Belanda kembali melanggar kesepakatan pada 29 Desember 1946, berupa terjadinya penembakan terhadap Letnan Satu A. Riva’i, Komandan Datasemen Divisi Dua, yang mengendarai sepeda motor Harley Davidson saat sedang melakukan inspeksi kepada pasukan-pasukan dan pos-pos pertahanan TRI-Subkoss/ Lasykar. Ketika melintas di depan Charitas, ia ditembak dengan senjata otomatis oleh pasukan belanda yang berada di Charitas. Letnan Satu A. Riva’i berhasil menyelamatkan diri walaupun tembakan itu tepat mengenai perutnya.
Provokasi Belanda terus terjadi pada 31 Desember 1946 menyebabkan insiden dengan pihak TRI yang sifatnya sporadis. Belanda melakukan konvoi dari Talang Semut menuju arah Jalan Jenderal Sudirman. Mobil tersebut melaju dengan kencang dan melepaskan tembakan-tembakan. Kontak senjata tidak terelakkan di depan Masjid Agung dan sekitar rumah penjara Jalan Merdeka. Pasukan TRI melakukan pengepungan dan serangan terhadap kekuatan Belanda di Charitas sehingga tidak mungkin Belanda untuk keluar dan meneriman bantuan dari luar. Akhirnya Belanda meminta bantuan Panglima Divisi II (Kol. Hasan Kasim) dan Gubernur Sumatera Selatan (dr. M. Isa) untuk penghentian tembak-menembak (cease fire).
Tujuan dilakukan penghentian tembak-menembak bagi Belanda adalah untuk menyusun kembali kekuatan tempurnya. Sebelum Belanda melakukan serangan udara itu memakan waktu yang relatif singkat, yaitu beberapa jam sebelum matahari terbenam menjelang malam. Belanda melakukan penembakan dengan mortir ke tempat dimana Pasukan TRI/ Lasykar berada yaitu di Gedung Perjuangan (sekarang Pusat Perbelanjaan Bandung), di daerah dekat Sungai Jeruju, daerah Tangga Buntung dan sebagainya. Dengan demikian telah berakhir kesepakatan penghentian tembak-menembak oleh Belanda.
Insiden-insiden yang terjadi pada akhir tahun 1949 tersebut menjadikan situasi di Kota Palembang dan sekitarnya menjadi panas (Perwiranegara, 1987 : 58). Insiden yang terjadi sesungguhnya adalah cara Belanda untuk memicu keributan dengan tujuan agar terjadi pertempuran yang lebih besar.
Pada hari Rabu, tanggal 1 Januari 1947, sekitar pukul 05.30 pagi, sebuah kendaraan Jeep yang berisi pasukan Belanda keluar dari Benteng dengan kecepatan tinggi. Mereka melampaui daerah garis demarkasi yang sudah disepakati. Ternyata mereka mabuk setelah pesta semalam suntuk merayakan datangnya tahun baru. Kendaraan Jeep itu melintasi Jalan Tengkuruk membelok dari Jalan Kepandean (sekarang Jalan TP. Rustam Efendi) lalu menuju Sayangan, kemudian melintasi ke arah Jalan Segaran di 15 Ilir, yang banyak terdapat markas pasukan RI/ Lasykar seperti Markas Napindo, Markas TRI di Sekolah Methodist, rumah kediaman A.K. Gani, Markas Divisi 17 Agustus, Markas Resimen 15 dan markas Polisi Tentara.
Pada kesempatan yang sama para pemimpin milter dan lasykar mengadakan rapat komando untuk menentukan sikap dalam menghadapi provokasi Belanda. Rapat dihadiri pimpinan pemerintah sipil Gubernur Muda M. Isa. Dalam rapat tersebut, Panglima Divisi II Kolonel Bambang Utoyo, Gubernur Muda M. Isa maupun Panglima Lasykar 17 Agustus, Kolonel Husin Achmad menyatakan bahwa dalam menghadapi provokasi Belanda, pihak RI bertindak tidak lagi sekedar membalas serangan, melainkan harus berinisiatif untuk menggempur semua kedudukan dan posisi pertahanan Belanda di seluruh sektor. Kepala staf Divisi II, Kapten Alamsyah, mengeluarkan perintah “Siap dan Maju” untuk bertempur menghadapi Belanda.
0 komentar: