HASIL-HASIL KEBUDAYAAN TERPENTING DI INDONESIA
1. HASIL KEBUDAYAAN DALAM WUJUD CANDI
Dari bangunan-bangunan
zaman purba yang sampai kepada kita, yang kini masih tinggal sebagai peninggalan
kebudayaan purba, hanyalah yang terbuat dari batu saja. Bangunan-bangunan ini ternyata
sangat erat hubungannya dengan keagamaan, jadi bersifat suci. Bangunan-bangunan
biasa, seperti rumah-rumah dan sebagainya, tidak ada yang bertahan karena
termakan oleh waktu, serta terbuat dari kayu dan bambu.
Bangunan-bangunan zaman purba itu biasa disebut candi.
Perkataan ini berasal dari salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Maut, yaitu
Candika. Jadi bangunan itu hubungannya ialah dengan Dewi Maut. Memang candi itu
sebenarnya adalah bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat, khusus untuk
para raja dan orang-orang terkemuka. Yang dikuburkan di sana bukanlah mayat ataupun abu jenazah
melaikan bermacam-macam benda, seperti potongan-potongan berbagai jenis logam
dan batu-batu akik, yang disertai dengan saji-sajian. Benda-benda tersebut dinamakan
“pripih” dan dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja yang
telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya.
Mayat seorang raja yang meninggal dibakar, dan abunya
dibuang atau dihanyutkan ke laut. Hal ini dilakukan dengan berbagai upacara,
dan upacara-upacara serupa dengan nantinya dilakukan lagi beberapa kali dengan
waktu tertentu. Maksudnya ialah untuk menyempurnakan roh agar dapat bersatu
kembali dengan dewa yang dahulu ,enitis menjelma di dalam sang raja tersebut.
Upacara terakhir adalah upacara craddha. Pada kesempatan itu dilepaskan sama
sekali dari segala ikatan keduniawian yang memungkinkan masih ada dan lenyaplah
penghalang terkhir untuk dapatnya bersatu kembali dengan dewa panitisnya.
Sebagai lambang jasmaniah dibuatlah sebuah boneka dari daun-daunan, yang
disebut puspacarita. Sebagai penutup upacara craddha, maka puspacarita ini dihanyutkan
ke laut.
Setelah sang raja
lepas dari alam keduniawian dan menjadi dewa, didirikanlah sebuah bangunan
untuk menyimpan pripih tersebut. Pripih ini ditaruh dalam sebuah peti batu, dan
peti ini diletakkan dalam dasar bangunannya dan dibuat pula sebuah patung untuk
perwujudan raja sebagai dewa, dan patung ini menjadi sasaran pemujaan bagi
mereka yang hendak memuja raja.
Candi sebagai semacam pemakaman hanya terdapat dalam agama
Hindu. Candi-candi agama Buddha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa
belaka. Di dalamnya tidak terdapat peti pripih, dan arcanya tidak mewujudkan
seorang raja. Abu jenazah, juga dari para bhiksu yang terkemuka, ditanam
disekitar candi dalam bangunan stupa.
Dengan demikian arca perwujudan yang melukiskan sang raja
sebagai dewa, dan yang menjadi arca utama di dalam candi umumnya adalah arca
Syiwa yaitu berupa lingga. Adakalanya perwujudan ini berupa dewa agama Buddha,
tetapi dalam hal ini agamanya bukanlah agama Buddha yang sesungguhnya melainkan
Tantrayana.
Candi sebagai bangunan terdiri atas 3 bagian, yakni :
kaki, tubuh, dan atap. Kaki candi denahnya buju sangkar, dan biasanya sedikit
tinggi, serupa batur, dan dapat dinaiki melalui tangga yang menujau terus ke
dalam bilik candi. Di dalam kaki candi, di tengah-tengah, ada sebuah perigi
tempat menanam pripihnya.
Tubuh candi terdiri atas sebuah bilik yang berisi arca.
Arca ini berdiri di tengah bilik, jadi tepat di atas perigi, dan menghadap ke
arah pintu candi. Atap candi selalu terdiri atas susunan tiga tingkatan, yang
semakin ke atas semakin kecil ukurannya untuk akhirnya diberi sebuah puncak
yang berupa semacam genta.
Pada upacara pemujaan, maka jasad jasmaniah dari dalam
perigi dinaikkan sedangkan jasad rohaniah dari rongga di dalam atap diturunkan,
kedua-duanya di dalam arca perwujudan. Dengan jalan ini maka hiduplah arca itu.
Ia bukan lagi batu biasa, melainkan perwujudan dari almarhum sang raja sebagai
dewa. Dengan kenyataan ini maka candi melambangkan pula alam semesta dengan 3
bagiannnya : kaki adalah alam bawah tempat manusia biasa, atap adalah alam atas
tempat dewa-dewa, dan tubuh adalah alam arwah tempat manusia telah meninggalkan
keduniawiaannya dan dalam keadaan suci menemui Tuhannnya.
Candi sebagai tempat sementara bagi dewa merupakan pula
bangunan tiruan dari tempat dewa yang sebenarnya yaitu Gunung Mahameru. Maka
candi itu dihiasi dengan berbagai macam ukiran dan pahatan yang terdiri atas
pola-pola yang disesuaikan dengan alam Gunung tersebut, misalnya bunga-bunga
teratai, binatang-binatang ajaib, bidadari-bidadari, dewa-dewi dan sebagainya.
Candi ada yang berdiri sendiri, ada pula yang berkelompok
dan terdiri atas sebuah candi induk dan candi perwara yang lebih kecil. Cara
mengelompokkan candi rupanya erat hubungannya dengan alam pikiran serta susunan
masyarakatnya. Demikian pula kelompok-kelompok candi di bagian Selatan Jawa
Tengah selalu disusun demikian rupa, sehingga candi imduk berdiri di tengah dan
candi-candi perwaranya teratur rapi berbaris-berbaris di sekelilingnya,
sedangkan di bagian Utara Jawa Tengah candi-candi itu berkelompok dengan tidak
beraturan dan bahkan merupakan gugusan candi-candi yang masing-masing berdiri
sendiri. Hal tersebut ternyata mencerminkan adanya pemerintahan pusat yang kuat
di Jawa Tengah Selatan dan pemerintahan federal yang terdiri tasa daerah-daerah
swatantra yang sederajat di Jawa Tengah Utara. Demikianlah dapat dibayangkan,
bahwa pemerintahan keluarga Syailendra bersifat feodal dengan raja sebagai
pusatnya, sedangkan pemerintahan keluarga Sanjaya lebih demokratis.
Di Jawa Timur yang nyata ialah sejak zaman Singasari
susunan kelompok candi berlainan lagi. Candi induknya terletak di bagian
belakang halaman candi, sedangkan candi-candi perwaranya serta bangunan lainnya
ada di bagian depan. Candi induk adalah yang tersuci dan menduduk dan di dalam
kelompok menduduki tempat yang tertinggi. Susunan demikian menggambarkan
pemerintahan federal yang terdiri atas negara-negara bagian yang berotonomi
penuh, sedangkan pemerintahan pusat sebagai penguasa tertinggi berdiri di
belakang mempersatukan pemerintahan-pemerintahan daerah dalam rangka kesatuan.
Dilihat dari sudut cara pengelompokkannya, maka candi-candi
di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : jenis Jawa Tengah Utara,
jenis Jawa Tengah Selatan, dan jenis Jawa Timur dengan termasuk pula di
dalamnya candi-candi di Bali dan Sumatera Tengah (Muara Takus) serta Utara
(Padang Lawas). Pembagian ini sesuai dengan agama yang mereka wakili atau
dianut yaitu agama Hindu. Dalam hal ini kelompok candi Loro Jonggrang merupakan
kekecualian, yaitu bahwa susunannya sesuai apa yang didapat Jawa Tengah Selatan
tetapi agama yang diwakilinya adalah Hindu.
Ditinjau dari corak serta bentuknya, candi-candi Jawa
Tengah Utara pada dasarnya tidak berbeda dari candi-candi Jawa Tengah Selatan.
Namun hanya saja candi-candi di Jawa Tengah Selatan terkesan lebih mewah dan
lebih megah dari candi-candi daripada candi-candi di Jawa tengah Utara yang
dalam pemberian bentuk hiasan yang sangat sederhana. Demikian juga perbedaan
antara candi-candi Jawa tengah dan candi-candi Jawa Timur, sehingga dikatakan
adanya langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur. Perbedaan kedua langgam itu
disesuaikan pada batas waktu sejarah, termasuk langgam Jawa Tengah dari sebelum
tahun 1000 Masehi, jadi termasuk pula beberapa candi dari Jawa Timur, merupakan
candi-candi yang tergolong sejak abad ke-11(seperti candi Muara Takus dan
Gunung Tua). Adapun perbedaan-perbedaan terpenting pada candinya sendiri dari
kedua langgam tersebut adalah sebagai berikut :
Langgam Jawa
Tengah
- Bentuk bangunannya tambun.
- Atapnya terlihat berundak-undak.
- Puncaknya berbentuk ratna atau stupa.
- Gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara.
- Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalistis.
- Kebanyakan menghadap ke Timur.
- Letak candi di tengah halaman.
- Kebanyakan terbuat dari batu andesit.
Langgam Jawa Timur
1.
Bentuk bangunannya ramping.
2.
Atapnya merupakan perpaduan
tingkatan.
3.
Puncaknya berbentuk kubus.
4.
Mekara tidak ada, dan pintu
serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kara.
5.
Reliefnya timbul sedikit saja
dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit.
6.
Kebanyakan menghadap ke barat.
7.
Letak candi di belakang
halaman.
8.
Kebanyakan terbuat dari bata.
Candi-candi jenis Jawa Tengah Utara yang terpenting
ialah :
1.
Candi Gunung Wukir dekat
Magelang, yang berhubungan dengan prasasti Canggal tahun 732 M.
2.
Candi Badut dekat Malang, yang berhubungan
dengan prasasti Dinoyo tahun 760 M.
3. Kelompok candi Dieng, yang terdiri atas
berbagai candi yang oleh pen-
duduk diiberi nama-nama wayang, seperti Bima,
Samiaji, Arjuna, Gatot-
kaca, Semar, Srikandi, Dwarawati dan
sebagainya ; di dekat Candi Arju-
na
ditemukan sebuah prasasti dari tahun 809 M.
3.
Kelompok candi Gedong Songo di
lereng Gunung Ungaran.
Candi-candi jenis
Jawa Tengah Selatan yang terpenting adalah :
1.
Candi Kalasan dekat Yogyakarta yang didirikan pada tahun 778 M.
2.
Candi Sari di dekat Candi Kalasan.
3.
Candi Borobudur, yang dalam
bentuk dasarnya merupakan punden berundak-undak tetapi disesuaikan dengan agama
Buddha Mahayana untuk menggambarkan Kamadhatu (bagian kaki yang tertimbun dan tertutup
oleh susunan batu bata), Rupadhatu bagian yang terdiri atas lorong-lorong
dengan pagar-pagar tembok dan penuh dengan hiasan serta relief yang seluruhnya
mencapai 4 Km panjangnya, (diantaranya
melukiskan Lalitavistara dan sebagainya),
dan Arupadhatu (bagian atas yang terdiri atas batur-batur bundar, dengan
lingkaran-lingkaran stupa yang
semuanya tidak dihiasi sama sekali).
4.
Candi Mendut di sebelah timur Borobudur, yang di dalamnya memuat tiga batu arca besar
sekali, yaitu Buddha diapit Padmapani dan Wajrapani.
5.
Kelompok Candi Sewu, di dekat
desa Prambanan, yang terdiri atas sebuah candi induk dikelilingi oleh ± 250
buah candi-candi perwara yang tersusun dalam 4 baris.
6.
Kelompok Candi Plaosan, di
sebelah Timur candi Sewu, yang terdiri atas 2 buah candi induk dikelilingi oleh
2 baris stupa dan 2 baris candi perwara.
7.
Kelompok Candi Loro Jonggrang
di desa Prambanan, yang disusun demikian sehingga candi induknya untuk Syiwa
diapit oleh candi-candi Brahma dan wisnhu dan dengan beberpa candi perwara
lainnya merupakan pusat kelompok yang dikelilingi lebih dari 200 buah candi
perwara yang tersusun menjadi 4 baris.
Candi-candi Jawa Timur yang
terpenting adalah :
1.
Candi Kidal, dekat Malang, Candi Anusapati.
2.
Candi Jago, dekat Malang, Candi
Wisnuwardana.
3.
Candi Singasari, dekat Malang, Candi
Kertanegara.
4.
Candi Jawi dekat Prigen, Candi
Kertanegara sebagai Candi Syiwa Buddha.
5.
Kelompok Candi Panataran, dekat
Blitar, yang halamannya terdiri atas 3 bagian sedangkan candi induknya terletak
di bagian belakang.
6.
Candi Jabung, dekat Keraksaan,
berupa bangunan stupa yang besar dan tinggi.
7.
Kelompok Candi Muara Takus,
dekat Bangkinang, yang terdiri dari beberapa bangunan, diantaranya yang masih
tegak sebuah stupa yang bulat tinggi.
8.
Kelompok Candi-candi Gunung
Tua, dekat Padang Sidempuan yang terdiri atas berbagai biaro sebagai
candi-candi induk yang letaknya tersebar dan berjauhan.
Kecuali candi-candi yang disebutkan di atas,
ada lagi bangunan-bangunan yang dalam mulut rakyat disebut candi pula tetapi
sifat dan wujudnya sangat berbeda. Bangunan-bangunan ini adalah petitaan (tempat pemandian suci) dan Candi Padas.
Pertitaan yang terkenal ialah, Jolotundo dan Belahan di lereng Gunung
Penangungan dekat Mojokerto (dari abad
ke-9 dan 11), Candi Tikus di bekas kota
Majapahit (abad ke-14) dan Goa Gajah
dekat Gianyarb(abad ke-13). Candi
Padas yang terkenal ialah Gunung Kawi di Tampak Siring. Di sini terdapat 10
buah candi yang terpahatkan seperti relief di tebing-teping pada sungai
Pakerisan yang disusun menjadi 5 kelompok candi, kelompok 4 candi dan candi
yang ke-10 tersendiri. Candi-candi ini adalah tempat anak Wungu (abad ke-11).
Bangunan-bangunan lain lagi yang berbeda sekali sifatnya
ialah gapura-gapura yang disebut candi oleh rakyat. Memang bentuk gapura-gapura
itu hampir sama dengan bentuk candi, tetapi hanya saja sebagai pintu untuk
keluar masuk maka dalam bagian tubuhnya terdapat lubang pintu. Gapura tersebut
misalnya : Candi Jedong, Candi Plumbangan dan Candi Bajang Ratu.
Jenis gapura yang kedua ialah yang rupanya seperti bangunan
candi yang dibelah dua, untuk meluangkan jalan keluar masuk. Gapura semacam ini
disebut Candi Bentar ini muncil dalam seni banguan Indonesia pada zaman Majapahit,
sebagaimana dapat dilihat pada relief-relief. Di bekas kota Majapahit sendiri masih berdiri candi
wringin Lawang, sebuah Candi Bentar yang besar sekali. Di kelompok Candi Panataran terdapat Candi Bentar, tetapi kini
telah hancur termakan waktu.
2. HASIL KEBUDAYAAN DALAM
WUJUD PATUNG DEWA
Berdasarkan
pada uraian mengenai candi di atas, untuk menghormati arwah yang yang telah
bersatu dewa perintisnya, maka dibuatkan sebuah patung. Patung ini menjadi arca
induk di dalam candi. Biasanya sebuah candi itu membuat berbagai buah
patung-patung lain.
Dengan demikian
maka seni pahat patung itu hubungannya ialah dengan keagamaan. Patung-patung
itu menggambarkan dewa atau dewi. Untuk membedakan dewa yang satu dari dewa
yang lainnya, masing-masing arca memiliki tanda-tanda tersendiri.
Patung dewa-dewa
agama Hindu :
Ciwa (Syiwa)
sebagai Mahadewa laksanya : Ardhacandrakapala, yaitu bulan sabit di bawah
sebuah tengkorak, yang terdapat pada mahkota ; mata ketiga di dahi ; upawita
ular naga ; cawat kulit harimau yang dinyatakan dengan lukisan kepala serta
ekor harimau pada kedua pahanya ; tangannya 4, masing-masing memegang camara (pengahalau lalat), aksamala(tasbih), kamandalu(kendi berisi air penghidupan) dan trisula (tombak yang ujungnya bercabang tiga). Ciwa sebagai Mahaguru atau
Mahayogi laksananya : kamandalu dan trisula; perutnya gendut, berkumis panjang
dan berjanggut runcing. Ciwa sebagai Mahakala rupanya menakutkan seperti
raksasa; ia bersenjata gada. Ciwa sebagai Bhairawa lebih menakutkan lagi. Ia
berhiaskan rangkaian tengkorak, tangan satunya memegang mangkuk dari tengkorak
dan tangan lainnya sebuah pisau. Ciwa juga mempunyai kendaraan khusus, yaitu lembu
Nandi.
Durga, isteri Ciwa, biasanya dilukiskan sebagai
Mahisasuramarami. Ia berdiri di atas berdiri di atas seekor lembu yang ia
taklukkan. Durga bertangan 8, 10, atau 12, masing-masing tangannya memegang
senjata. Sebagai isteri Mahakala Durga bernama Kali, dan sebagai isteri
Bhairawa ia bernama Bhairawi. Dalam kedua bentuk ini ia sangat menakutkan pula
rupanya.
Seringkali Durga diberi kendaraan sendiri, yaitu Singa.
Anaka Ciwa ada dua, yaitu Ganesha, dewa yang berkepala gajah dan yang disembah
sebagai deaw ilmu dan dewa menyingkir rintangan-rintangan, dan Kartikeya (Skanda atau Kumara), sebagai dewa yang selalu digambarakan sebagai kanak-kanak
naik merak dan mempunyai kedudukannya sebagai perang.
Wisnu lakasanya dalah bertangan empat masing-masing memegang
gada, cakara (cakram), cangkha (kerang bersayap) dan buah atau kuncup
teratai. Kendaraannnya adalah Garuda, sedangkan isterinya adalah Sri atau
Laksmi (Dewi Bahagia).
Brahma mudah dikenal, karena ia digambarkan berkepala (bermuka) empat dan bertangan empat
pula,dua di belakang memegang aksamala dan camara. Kendaraannnya adalah hangsa,
dan isterinya adalah Saraswati (Dewi Keberanian
dan Kecantikan).
Disamping dewa-dewa
trimurti yang disebutkan di atas, ada pula dipuja dewa kekayaan, yaitu Kuwera.
Ia selalu digambarkan duduk di atas karung harta yang dikelilingi oleh
periuk-periuk berisi harta. Perutnya gendut, tangan kirinya memegang
pundi-pundi dari binatang semacam tupai dan tangan kanannya memegang sebuah
limau. Isteri Kuwera adalah Hariti, dewi yang menggambarkan kekayaan anak.
Kuwera dan Haiti
juga dipuja dalam agama Buddha.
Di dalam agama Buddha kita mengenal adanya Dhyani-Buddha,
Manusi-Buddha dan Dhyani-Bodhisatwa. Antara
patung Dhyani-Buddha dan Manusi Buddha pada umumnya sama saja, dan dapat dibedakan dalam
hubungannya dengan petunjuk lain. Arca Buddha pun pada umumnya semua saja,
sangat sederhana tanpa sesuatu hiasan, hanya memilki jubah serta memiliki
ciri-ciri yakni : rambutnya selalu keriting, di atas kepala ada tonjolannnya
seperi sanggul yang dinamakan usnisa, dan di antara keningnya ada semacam
jerawat yang jerawat yang disebut urna. Dewa yang dilukiskan dalam arca Buddha
hanya dapat diketahui dari mudra (sikap
tangan)-nya.
Berikut ini beberapa nama-nama Dewa yang
dilukiskan dalam arca Buddha teresbut :
Wairocana, penguasa
zenith, mudranya dharmacakra, yaitu sikap tangan memutar roda dharma.
Aksobhya, penguasa
Timur, mudranya bhumiparca, yaitu sikap tangan memanggil bumi sebagai sakasi (waktu Buddha digoda oleh Mara di bawah pohon
bodhi).
Amoghasidhi,
penguasa Utara mudranya abhaya, yaitu sikap tangan menetrmakan.
Ratnasambhaewa,
penguasa Selatan, mudranya wara, yaitu sikap tangan memberi anugerah.
Para Bodhisattwa
selalu digambarkan berpakaian kebesarannya seperti raja. Laksana Awalokiteswara
ialah : sebuah arca Amitabha di mahkotanya sebagai Padmapani. Laksana Maiteya
ialah : sebuah stupa di mahkotanya. Diantara para Tara,
yang terkemuka ialah cyama-Tara, isteri Awalokiteswara, dengan sikap tangannnya
dharmacakra.
Tidak berbeda
halnya pada candi-candi, dalam seni patung ini terlihat pula perbedaan antara
langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur. Pada umumnya di Jawa Tengah arcanya
sangat indah, benar-benar menggambarkan seorang dewa dengan semuanya sesuai
dengan apa yang dicita-citakan orang. Di Jawa Timur arcanya sedikit kaku, dan
sengaja disesuaikna dengan maksud yang sesungguhnya, yaitu menggambarkan
seorang raja dan pembesar negara yang telah wafat.
Di titik dari sudut
keagamaan ini, maka sebenarnya keindahan tidak dapat dipakai sebagai ukuran
arca-arca Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi antara arca-arca Jawa Tengah
Selatan dan arca-arca Jawa Utara perbedaan yang menyolok justru terletak dalam
keindahan itulah. Seperti halnya juga pada bangunan-bangunannya, maka arca dari
Jawa Tengah Utara bersifat lebih sederhana, tetapi sebaliknya lebih bersifat
kerakyatan, daripada arca-arca di bagian Selatan Jawa Tengah yang umumnya
sangat megah dan kaya.
Di samping
perbedaan perbedaan pokok sperti yang digambarkan di atas, berbagai ciri yang
terdapat pada arca-arca ,menjadi petunjuk untuk menempatkannya dalam sejarah
tertentu. Kecuali arca-arca dewa seringkali kita jumpai pada arca-arca wahana (kendaraan) seorang dewa, seperti nandai,
garuda dan sebagainya.
Sampai sekarang arca-arca yang diperbincangkan adalah
arca-arca bulat (berdiri sendiri)
atau hampir bulat (belakangnya bersatu
dengan sandarannya). Banyak pula, bahkan sebenarnya lebih banyak lagi
arca-arca yang dipahat secara relief. Arca-arca pada relief tersebut biasanya
dipahatkan pada dinding candi, dan menggambarkan dewa-dewa dari tingkatan yang
lebih rendah, yang disebut dewata.
3. HASIL
KEBUDAYAAN DALAM WUJUD SENI UKIR
Hasil-hasil seni pahat ukir
terutama sekali berupa hiasan-hiasan pengisi bidang pada dinding-dinding candi.
Yang menjadi pola hiasan ialah mahluk-mahluk ajaib dan tumbuh-tumbuhan, sesuai
dengan suasan Gunung Mahameru.
Diantara
mahluk-mahluk ajaib itu yang selalu terpancang pada ambang pintu atau relung
adalah kepala Kala, yang disebut juga banaspati (raja hutan). Pada candi-candi Jawa Tengah banaspati ini dirangkai
dengan makara. Makara adalah semacam ikan yang mulutnya terbuka, sedangkan
bibir atasnya melingkar ke atasnya melingkar ke atas seperti belalai gajah yang
diangkat.
Mahluk-mahluk ajaib sering kali sudah disamarkan persis
menjadi hiasan daun-daunan. Daun-daunan ini menjadi pola utama dalam
ukiran-ukiran, dan biasanya dirangkai oleh sulur-sulur yang melingkar meliku menjadi
sulur gelung. Di samping daun-daunan dan sulur-sulur banyak pula dipakai bunga
teratai sebagai pola, baik yang kuncup maupun yang sudah berkembang. Bunga
teratai ada 3macam: yang merah, dinamakan padma ; yan biru, dinamakan utpala ;
dan yang putih dinamakan kumuda. Warna pada bunga teratai ini tidak diperlihatkan,
tetapi cara menggambarkannya berbeda-beda. Bunga-bunga itu teratai seringkali
dirangkai dalam bidang-bidang bujur sangkar atau belah ketupat dan menutupi
suatu bidang dinding bagaikan permadani.
Pada berbagai candi, terutama di Jawa Tengah terdapat
hiasan gambar pohon. Kebanyakan dari pohon-pohon itu melambangkan Kalpataru
atau parijata, yaitu pohon yang dapat memberi segala apa yang diinginkan dan
diminta oleh manusia.
Macam hiasan yang lain, yang hanya bukan penghias atau
pengisi bidang belaka, teatapi relief-relief yang melukiskan suatu cerita.
Cerita-cerita ini diambil dari kesusasteraan, seperti Ramayana, dan kitab-kitab
keagamaan seperti Karmawibhangga,
Kunjarakanja, dan sebagainya. Adapun relief cerita yang terpenting yakni
diantaranya sebagai berikut :
1. Candi Borobudur
Karmawibhangga, menggambarkan perbuatan
manusia serta hukuman-hukumanya, terdapat di bagian kaki yang ditimbun ;
Lalitaswara, cerita riwayat Buddha Gautama sejak lahir samapi mendapat bodhi ;
terdapat pad tembok lorong pertama ; Gandawyuha, yang menceritakan usaha
Sudhana mencari ilmu yang tertinggi ; terdapatnya pada dinding loromg kedua dan
seterusnya.
2. Kelompok Loro Jonggrang
Ramayana terdapat pada langkan Candi Syiwa
dan diteruskan pada langkan Candi Brahma; Kresnayana, terdapat pada Candi
Wisnu.
3. Candi Jago
Krenayana, Parthayajna dan
Kunjarakarna ; pada relief-relief ini untuk pertama kalinya kita jumpai
tokoh-tokoh punakawan, yaitu bujang yang menjadi pelawak, yang selalu mentertai
sorang ksatria.
4. Candi Panataran : Ramayana dan
Kresnayana
5. Candi Surowono (dekat Kediri) : Arjunawiwaha.
4. HASIL
KEBUDAYAAN DALAM WUJUD BARANG-BARANG
LOGAM
Selain arca-arca dari
batu, banyak sekali juga arca-arca terbuat dari logam. Sebagian besar dibuat
dari perunggu. Ada
juga yang dibuat dari emas, perak, dan perunggu berlapis emas. Pada umunya
araca-arca logam itu berukuran kecil. Maka tentu araca-arca ini dipakai untuk
pemujaan-pemujaan di rumah. Berkaitan dengan hali in, arca-arca logam mudah
sekali dibawa kemana pun, dan sulit untuk menentukan apakah suatu arca di
dapatkan di Jawa Timur misalnya benar-benar disana asalnya dan tidak dari
tempat lain. Karena itu, sulit juga untuk menentukan dari zaman sejarah asal
dari suatu arca logam jika tidak disertai keterangan yang nyata, misalnya tulisan dan angka tahun. Tempat arca tersebut
dalam rangkaian sejarah hanya dapat diperkirakan berdasarkan corak dan
bentunya.
Ada
pula berbagai arca logam yang berukuran besar. Dari Sulawesi Selatan terdapat
sebuah arca Buddha sebesar manusia. Lebih besar lagi adalah arca perunggu dari
Candi Sewu. Sayangnya arca ini sudah lenyap, tetapi ditemukan kembali beberapa
ikal dari rambutnya. Ternyata arca perunggu yang besar-besar itu pada suatu
ketika orang tidak memujanya lagi, bahkan dirusak untuk dilebur dan kemudian
dijadikan barang-barang keperluan lainnya. Banyak pula dari arca perunggu hanya
didapatkan kembali tangannya saja atau bagian-bagian lainnya.
Adapun cara yang digunakan untuk menuang
arca-arca logam ialah cire perdue. Dengan demikian maka bagian-bagian yang
halus sekali dapat terlihat dengan jelas, misalnya kalung, subang, jamang, dan
perhiasan-perhiasan lainnya.
Disamping arca, masih banyak lagi
benda-benda lainnya yang terbuat dari logam (perunggu), yakni lampu gantung
yang memiliki bentuk dan jenis beraneka ragam, indah dan halus buatannya ;
genta, yang besar untuk dgantung di biara dan yang kecil untuk keperluan saji
para pedanda ; jambangan dan mangkuk untuk keperluan menempatkan air suci ;
talam yang rupanya seperti baki bundar besar dan yang permukaannya sering kali
dihiasi dengan ukiran bunga teratai yang indah sekali; pedupaan dan lain-lain.
Barang-barang perhiasan dari emas banyak
juga dipakai, seperti cincin yang bermata atau tidak, cincin yang berukiran
ragam hias, cincin cap yang memuat ucapan keselamatan (biasanya perkataan “Cri”),
gelang, rantai, kalung, jamang, dan sebainya.
5. HASIL KEBUDAYAAN DALAM WUJUD KESUSASTERAAN
Dari zaman purba samapi sekarang sejumlah
besar hasil kesusasteraan (lebih dari 1000 buah naskah), memperlihatkan betapa
tingginya seni sastra saat itu. Hasil-hasil kesusasteraan zaman purba terutama
berasal dari Jawa, namun naskah-naskahnya sekarang ini kita dapatkan di Bali. Hal ini disebabkan, karena naskah-naskah itu
dituliskan di atas daun lontar yang tidak dapat bertahan sampai berabad-abad,
dan waktu masyarakat Jawa sudah memeluk agama Islam naskah-naskah tidak lagi
mendapat perhatian. Maka akhirnya kitab-kitab lontar (kropak) itu lenyap.
Dengan begitu maka masyarakat yang
bercorak Hindu di Bali sungguh merupakan keuntungan besar sekali. Di sana kropak-kropak selalu
disimpan baik-baik dan dipelihara terus, sedangkan kepandaian menulis di atas
daun lontar masih tetap dipertahankan dan penghargaan terhadap kesusasteraan
lama itu masih menjadi kebanggaan. Naskah-naskah yang sudah tua disalin dan
diperbaharui, sehingga kesusasteraan kuno masih tetap hidup, meskipun hurufnya
yang dipakai bukan lagi huruf Jawa Kuno melainkan huruf Bali.
Menurut waktu perkembangnnya,
kesusassteraan zaman purba dibagi menjadi, zaman Mataram (sekitar abad ke-9 dan 10), zaman Kediri (sekitar
abad ke-11 dan 12), zaman
Majapahit I (sekitar abad ke-14), dan zaman Majapahit II (sekitar abad ke-15 dan 16). Adanya dua zaman Majapahit tersebut
berdasarkan bahasa yang dipakai.
Melihat bentuk gubahannya, hasil
kesusateraan zaman purab ditulis sebagai gancaran (prosa) dan tembang (poosi).
Sebagian besar adalah tembang. Tembang Jawa Kuno pada umumnya disebut kakawin,
sedangkan tembang Jawa Tengah dinamakan Kidung. Ditinjau dari sudut isinya,
maka kesusasteraan zaman purba terdidri atas Tutur (kitab keagamaan, seperti Sang Hyang Kamahayanikan), Castra (kitab
hukum), Wiracarita (cerita
kepahlawanan, seperti Mahabrata), kitab-kitanb lainnya yang isinya mengenai
keagamaan dan kesusilaan, dan kiatb-kitab yang dimaksud sebagai uraian sejarah
(Negarakertagama).
Castra dapat dikemukakan, bahwa termasuk
di dalamnya adalah kitab-kitab yang disebut casana, yaitu khusus berisi
peraturan-peraturan untuk golongan masyarakat tertentu, misalnya Rsicasan yang
menguraiakn kedudukan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pendeta.
Wiracarita perlu diketahui, bahwa yang menjadi sumber dan bahan adalah
kitab-kitab India, yang di Indonesia
sama sekali tidak terasa asing, yakni Ramayana dan Mahabrata. Kedua wiracarita
ini menimbulkan berbagai macam cerita lain, yang masing-masing berdiri sendiri
sebagai suatu cerita bulat. Berhubungan dengan kenyataan ini, maka sebelum kita
meninjau hasil-hasil kesusasteraan Jawa Kuno, kita lebih dahulu mengetahui isi
dari kitab Ramayana dan Mahabrata India.
RAMAYANA
Kitab ini dikarang oleh Walmiki sekitar
awal tarikh Masehi, terdiri atsa 7 jilid (kanda)
dan digubah dalam bentuk syair 24.000 seloka.
Ketujuh Kanda itu
adalah :
1. Bala-kanda
Berisi
mengenai sisilah dan anggota keluarga dari Rama. Ayah Rama adalah seorang raja
bernama Dasaratha di negeri dengan ibukotanya Ayodhaya, mempunyai tiga isteri :
Kausalya ibu dari Rama, Kaikeyi ibu dari Bharata, dan Sumitra ibu dari
Laksamana dan Catrughna. Dalam Swayamwara di Wideha Rama berhasil memperoleh
Sinta, anak raja Janaka, sebagai isteri.
2 Ayodhya-kanda
Berisi mengenai keinginan raja Dasaratha
untuk menyerahan kekuasaan tahta kepada
Rama, tetapi isterinya yang bernama Kaikeyi menentang keinginan raja tersebut
dan ia meminta raja untuk menyerahkan kekuasaan tahta itu kepada puteranya
Bharata karena dianggap paling pantas menerimanya. Selain itu Kaikeyi juga
meminta agar Rama diasingkan ke hutan selama 14 tahun. Raja Dasartha pun tidak
bisa menolak permintaan isterinya Kaikeyi, karena ia terikat pada janji. Raja
pun sangat bersedih atas hal itu. Sebaliknya Rama dengan ikhlas melepaskan
haknya atas tahta kerajaan dan pergi ke hutan selama 14 tahun. Rama pergi
meninggalkan Ayodhaya bersama isterinya dan Laksamana. Tidak lama kemudian raja
Dasaratha wafar. Bharata menolak untuk dinobatkan sebagai raja, lalu ia pergi
hutan mencari Rama untuk membujuk agar kembali ke Ayodhaya. Namun Rama tetap
berpendiria teguh untuk mengembara selam 14 tahun. Bharata akhirnya pulang ke
Ayodhaya dengan membawa terompah Rama. Terompah inilah yang diletakkan di atas
singasan, sebagai lambang bagi Rama yang seharusnya menjadi Raja yang sah. Ia sendiri
hanya memerintah atas nama Rama.
3. Aranya-kanda
Berisi mengenai suasana kehidupan
Rama beserta saudara dan isterinya di dalam
hutan. Rama seringkali membantu para pertapa yang diganggu oleh raksasa.
Diceritakan pula bahwa ia berjumpa dengan raksasa perempuan bernama Surpanakaha
yang jatuh cinta kepadanya. Oleh laksamana raksasa ini dipotong telinga dan
hidungnya. Perbuatan ini diadukan Surpanakha kepada kakaknya Rahwana, seorang
raja raksasa yang berkepala sepuluh dan memerintah di Langka. Rahwana pergi ke
tempat Rama, dengan maksud menculik Sita sebagai pembalsannya terhadap
penghinaan adiknya.
4. Kiskinaha-kanda
Berisi mengenai perjumpaan Rama dengan
Sugriwa, seorang raja kera, kerajaan serta isterinya telah direbut olleh
saudaranya sendiri yang bernama Walin. Rama lalu bersekutu dengan Sugriwa, ia
membantu Sugriwa dalam merebut kembali kerajaan dan isterinya. Sebaliknya
Sugriwa pun membantu Rama untuk membebaskan Sinta dari Rahwana. Disini
diceritakan pula mengenai pertempuran pasukan Sugriwa bersama Rama melawan
pasukan Walin.
5. Sundara-kanda
Menceritakan mengenai sosok Hanuman, kera
kepercayaan Sugriwa dan anak Dewa Angin dan diceritakan juga peran Hanuman
dalam membantu Rama untuk mencari dan membebaskan isterinya Sinta dari tangan
Rahwana.
6. Yuddha-kanda
Menceritakan mengenai peristiwa peperangan
antara pasukan Rama bersama Sugriwa dan Hanuman dibantu pula Dewa Laut melawan
pasukan Rahwana. Peperangan ini dimenangkan oleh Rama berakhir dengan
terbunuhnya Rahwana. Selain itu disebutkan pula bahwa setelah berhasil
membebaskan Sinta, Rama meragukan kesucian Sinta. Hal ini tentu membuat Sinta
sedih. Rama menjelaskan bahwa ia tidak ragu dengan kesucian Sinta apabila
terbukti di hadapan mata rakyat. Rama
dan Sinta besrta adiknya Laksamana lalu kembali ke Ayodhaya, dan Bharata
menyerahkan tahtanya kepada Rama.
7. Uttara-kanda
Dua pertiga dari buku berisi berbagai
macam cerita yang tidak ada hubungannya dengan riwayat Rama. Yang sepertiga
lagi menceritakan lanjutan riwayat Rama, tetapi sedikit bertentangan dengan
bagian akhir kitab yang ke-6. maka ada dugaan kuat, bahwa buku ke-7 ini
merupakan tambahan kemudian. Diceritakan, bahwa keraguan Rama akan kesucian
Sinta sampai terdengar rakyat. Sehingga untuk memberi contoh yang baik kepada
rakyat, maka diusirlah Sinta dari istana. Sinta kemudian pergi ke pertapaan
Walmiki. Di sana
ia melahirkan dua orang anak laki-laki kembar yang diberi nama Kuca dan Lawa,
yang kemudian dibesarkan oleh Walmiki. Sewaktu Rama mengadakan Aswamedgha, Kuca
dan Lawa hadir di istana sebagai pembawa nyanyi-nyanyian. Setelah mengetahui
bahwa Kuca dan Lawa adalah anaknya sendiri, maka Rama pun memerintahakan
Walmiki untuk membawa Sinta kembali ke istana. Setiba di istana Sinta pun bersumpah
seandainya ia benar-benar tidak suci maka terbelahlah perut bumi. Seketika itu
belahlah perut bumi dan muncullah dewi Prthwi di atas singasana emas didukung
ular-ular naga. Sinta dipeluknya dan lenyap ke dalam bumi. Rama sangat
menyesali perbuatannya, ia tidak memperoleh isterinya kembali. Kemudian ia
menyerahkan mahkotanya kepada kedua anaknya, dan kembalilah ia ke kayangan
sebagai Wisnu.
MAHABRATA
Kitab ini terdiri atas 18 jilid (parwan), yang masing-masing terdiri atas
beberapa bagian (juga disebut parwan)
dan digubah dalam bentuk syair sebanyak 100.000 seloka. Isinya bermacam-macam,
disisi-sisipkan dalam rangkaian cerita pokoknya. Cerita pokok ini meliputi
24.000 seloka, dan sebagian besar menceritakan peperangan sengit selama 18 hari
antara para Pabdawa dan Kurawa. Maka nama lengkapnya dari kitab ini ialah
Mahabratayuddha yang berarti peperangan besar antara keluarga Bharata.
Berikut ini adalah 18
parawan yang terdapat pada kitab Mahabrata yaitu :
1). Adi-parwan, isinya mengenai asal-usul
dan masa kanak-kanak para Pandawa dan Kurawa.
2). Sabha-parwan, isinya mengenai usaha atau
strategi Para Kurawa untuk membinasakan para Pandawa. Diantaranya yakni dengan
bermai dadu. Dalam permainan dadu tersebut para Kurawa dan Pandawa melakukan
taruhan, bagi yang kalah harus mengalami pembuanagan selama 12 tahun ; pada
tahun ke-13 boleh kembali ke masyarakat, teapi tidak boleh dikenal orang, dan
baru pada tahun ke-14 kembali ke istana. Permainan ini dimenangkan oleh Kurawa
dan para Pandawa, mereka pergi ke hutan untuk menjalani buangan selama 13
tahun.
3). Wana-parwan, isinya mengenai
pengalaman-pengalaman para Pandawa
selama 12 tahun di dalam hutan.
4.) Wirata-parwan, isinya mengenai keluarnya
para Pandawa dari hutan dan singgah serta menetap di kerajaan Wirata.
5). Udyoga-parwan, isinya mengenai
kembalinya para Pandawa ke Indraprastha
dengan perantaraan Kresna, tetapi ternyata para Kurawa tidak bersedia
menyerahkan tahta kerajaan kepada para Pandawa, sehingga timbulah peperangan
antara kedua pihak tersebut.
6). Bhisma-parwan, isinya mengenai
pertempuran antara pasukan Pandawan melawan pasukan Kurawa selama sepuluh hari.
7) Drona-parwan, isinya mengenai Drona yang
menggantikan posisi panglima perang. Ia ditandingi oleh Gatotkaca, tetapi
Gatotkaca terbunuh. Abhimanyu, anak Arjuna juga gugur oleh Dussana. Raja
Drupada pun gugur. Drsadyumma mengamuk, dan pada hari ke-15 Drona terbunuh
olehnya.
8). Karna-parwan, isinya mengenai kemarahan
Arjuna dan Bima atas gugurnya Gatotkaca. Bima berhasil membunuh Dussana,
sedangkan Arjuna berhasil membunuh Karna (hari ke-17) dengan panahnya yang ia
peroleh waktu pertapa dulu.
9). Calya-parwan, isinya mengenai pergantian
panglima perang para Kurawa yang dijabat oleh Calya. Duryodhana ditinggalkan
saudara-saudaranya sendiri yang selama 18 hari gugur satu per satu. Ia
mengundurkan diri dari peperangan dan bahkan menyerahkan seluruh kerajaannya
kepada para Pandawa, dan ia sendiri hendak meninggalkan dunia ramai. Sikap
Duryodhana menjadi ejekan para Pandawa, akhirnya ia memutuskan perang melawan
Bima dalam peperngan ini Duryodhono gugur, tetapi sempat mengangkat Aswatthaman
menjadi panglima perang.
10). Sauptika-parwan, isinya menceritakan Aswatthaman
yang dapat menahan dendamnya terhadap tentara Pandawa, sehingga pada seusai
pertempuran hari ke-18 ia menyusup ke dalam kemah-kemah Pancala, dan berhasil
membunuh banyak orang termasuk Dhrstadyumna sendiri. Kemudian Aswatthaman
melarikan diri ke dalam hutan, dan berlindung di pertapaan Wyasa untuk
mengungkapkan penyesalannya. Keesokan harinya ia disusul oleh para Pendewa,
lalu timbullah perkelahian antara dia dengan Arjuna . wyasa dan Kresna dapat
menyelesaikan pertikaian itu, Aswatthaman menyerahkan semua senjata dan
kesaktiannya, lalu mengundurkan diri.
11). Stri-parwan, isinya mengisahkan mengenai
Dhrtarastra dan Gandhari, para Pandawa dan Kresna, dan semua isteri para
pahlawan datang di Kuruksekta. Mereka menyesali semua yang telah terjadi, dan
hari itu adalah hari berduka. Semua pahlawan yang telah gugur, dibakar bersama.
12). Canti-parwan, isinya menceritakan
setelah sebulan lamanya para Pandawa tinggal dalam hutan, untuk mensucikan
diri. Yudhistira segan sekali untuk menduduki tahta kerajaan yang telah memakan
korban banyak, dan ia menawarkan Arjuna untuk menjadi raja. Wyasa dan Kresna
membujuk dan menenangkan hati Yudhistira dengan nasehat-nasehat tentang nasib
manusia dan kewajiban manusia terhadap kaun ksatria. Akhirnya para Pandawa
kembali ke istana, dan Yudhistira menjalankan kewajibannya sebagai raja.
14). Anucasana-parwan,
isinya menceritakan berbagai macam cerita, yang dirangkai sebagai
wejang-wejangan mengenai soal kebatinan dan kewajiban raja, ditujukan kepada
Yudhistira.
15). Aswamedhika-parwan, isinya mengisahkan
mengenai Yudhistira mengadakan selamatan Aswamedha. Seekor kuda dilepaskan oleh
Arjuna dan sepasukan tentara. Selama
satu tahun kuda itu mengembara, dan tiap jengkal tanah yang dilaluinya menjadi
daerah kekuasaan Yudhistira. Banyak pula raja yang menentang, tetapi mereka
ditaklukkan oleh Arjuna.
16). Acramawasika-parwan, isinya menceritakan
Dhrtarastra beserta isterinya dan Kunti mengasingkan diri ke dalam hutan untuk
menjadi petapa. Tiga tahun kemudian mereka meninggal karena hutan tempat mereka
tinggal terbakar oleh api Dhrtarastra sendiri.
17). Mausala-parwan, isinya mengisahkan
musnahnya kerajaan Kresna akibat berkobarnya perang saudara di antara kaum
Yadawa, rakyat Kresna sendiri. Baladewa mati, dan Kresna menlarikan diri ke
dalam hutan, dan mati terbunuh dengan tidak sengaja oleh seorang pemburu.
17). Mahaprasthanika-parwan, isinya
menceritakan bahwasanya para Pandawa mengundurkan diri dari dunia ramai,
setelah mahkota diserahkan kepada Parikist, anak Abhimanyu. Dalam pengembaraan
di hutan satu persatu meninggal, diantaranya yakni Draupadi, Sahadewa, Nakula,
Arjuna, dan Bima. Yang tersisa ialah Yudhistira dengan seekor anjing, yang
selalu mengikuti pengembaraan para Pandawa. Lalu datanglah Indra untuk
menjemput Yudhistira ke Surga. Namun, Yudhistira menolak, jika anjingnya
tersebut tidak ikut serta. Tiba-tiba anjing tadi menjelma menjadi dewa Brahma.
Yudhistira kemudian langsung dibawa ke Indraloka.
18). Swargarohana-parwan, isinya menceritakan
para Pandawa setelah mengalami pembersihan jiwa neraka untuk beberapa lama,
masuk di surga. Sebaliknya para Kurawa, mula-mula ditempatkan di surga,
kemudian berganti dimasukkan ke dalam neraka untuk masa yang tidak menentu.
Kitab Ramayana dan
Mahabrata telah disadur dalam bahasa Jawa Kuno : Ramayana pada akhir abad ke-9
dalam bentuk kakawin yang bahasanya indah sekali, dan Mahabrata pada akhir abad
ke-10 dalam bentuk gencaran yang diringkas. Kedua saduran itu, bersamaan dengan
kitab Sang Hyang Kamhayanikan yang disusun pada zaman Mpu Sindok dan berisi
uraian tentang agama Buddha Mahayana yang sudah bersifat Tantrayana, merupakan
hasil-hasil kesusasteraan Jawa Kuno yang tertua.
Seperti sudah kita ketahui, kejayaan seni
sastra Jawa kuno berlangsung di zaman Kediri.
Hasil-hasilnya terutama sekali berupa kakawin diantaranya yang terpenting ialah
:
1.
Arjunawiwaha, karangan Mpu Kanwa.
2.
Kresnayana, karangan Mpu Triguna.
3.
Sumanasantaka, karangan Mpu Monaguna.
4.
Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja.
5.
Bharatayuddha, karangan Mpu Sedah.
6.
Hariwangsa, karangan Mpu Panuluh.
7.
Gatokacasraya, karangan Mpu Panuluh.
8.
Writasancaya, karangan Mpu Tanakung.
9.
Lubdhaka, karangan Mpu Tanakung (sudah zaman Ken Arok).
Hasil-hasil kesusasteraan zaman Majapahit I yang
terpenting adalah :
1.
Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca,
tahun 1365 M.
2.
Sutasoma, karangan Mpu Tantular.
3.
Arjunawijaya, karangan Mpu Tantular.
4.
Kunjarakarna, karangan anonim.
5.
Parthayajna, karangan anonim.
Hasil-hasil kesusasteraan zaman Majapahit II (bahasa Jawa Tengah) ada
Yang ditulis dalam bentuk
tembang (kidung) dan ada pula yang gencaran. Yang
terpenting di antaranya
adalah :
1.
Tantu Panggelaran.
2.
Calon Arang.
3.
Korawacrama.
4.
Bubhuksah.
5.
Pararaton.
Dimaksudkan sebagai kitab sejarah adalah :
6.
Sundayana.
7.
Panji Wijayakrama.
8.
Rangga Lawe.
9.
Sarandaka.
10. Pamancangah.
11. Usana Jawa.
12. Usana Bali.
6. HASIL KEBUDAYAAN LAINNYA
Selain hasil-hasil
kebudayaan yang disebutkan di atas, dari relief-relief dan kitab-kitab dapat
pula kita ketahui berbagai hal lainnya. Misalnya, seni lukis tidak meninggalkan sesuatu bekas. Namun pada
relief-relief Borobudur kita jumpai sebuah
gambar pigura yang menggambarkan potret seseorang. Adegan di sini melukiskan
dua orang kekasih yang sedang saling bertukar potret. Tentunya saat itu belum
ada potret (foto). Maka yang
dipahatkan pada relief itu adalah sebuah lukisan.
Dalam kitab
Negarakertagama terdapat juga bukti-bukti akan dikenalnya seni lukis. Sebelum
Hayam Wuruk meminang puteri Sunda, terlebih dahulu ia mengutus seorang pelukis
untuk membuat lukisan sang puteri tersebut.
Ada juga sebuah berita Tionghoa yang menceritakan bahwa
seorang raja di Indonesia
pada suatu ketika bermimpi berjumpa dengan kaisar Tionghoa. Karena sang raja
pandai melukis, maka kaisar dalam impian itu dilukislah olehnya. Seorang utusan
kemudian dikirim ke Tiongkok untuk mencocokkan lukisan itu dengan kenyataannya.
Laporan utusan tersebut membenarkan kecocokannya.
Tentang tari-tarian kita banyak kita jumpai
contohnya pada relief-felief. Para penari,
baik laki-laki maupun perempuan, menari atas irama gamelan. Dan dari
Negarakertagama kita ketahui, bahwa Hayam Wuruk waktu mudanya terkenal sebagai
penari yang baik dalam sandiwara topeng.
Mengenai gamelan ternyata cukup menarik
perhatian, bahwa gendang seringkali menjadi alat musik satu-satunya. Alat-alat
bunyi-bunyian dari perunggu, seperti saron, bonang, dan bermacam-macam gong
kecil, banyak pula ditemukan lagi, dan rupanya tangga nada yang dipakai adalah
yang kini dinamakan Slendro dalam bahasa Jawa.
Sedangkan
mengenai wayang dapat diketahui dari
kitab Arjunawiwaha, bahwa pertunjukkan itu sudah digemari rakyat pada zaman
pemerintahan Airlangga. Beberapa prasasti zaman ini menyebutkan pula adanya wayang atau aringgit yang berarti dalang dalam bahasa sekarang.
KESIMPULAN :
Pada zaman
sejarah manusia telah memiliki rasa, daya cipta dan karsa yang cukup tinggi.
Dengan adanya ketiga komponen tersebut maka manusia akhirnya mampu mengembangkan pola pikir dan kreatifitasnya
sehingga menyebabkan lahirnya kebudayaan. Melalui kebudayaan manusia menciptakan
berbagai hasil-hasil penting, seperti candi, patung (arca), ukir-ukiran(relief),
barang-barang logam dan lain-lain. Hasil-hasil penting tersebut tentunya sangat
menunjang kehidupan manusia pada masa itu, bahkan hingga di masa sekarang.
Karena selain beperan penting dalam memajukan kehidupan manusia, ternyata juga
turut membangun peradaban bangsa kita tercinta yakni Indonesia yang kaya akan budayanya.
Untuk
hasil-hasil penting dalam kebudayaan yang masih ada, haruslah terus kita
pelihara bersama kelestariannya agar tidak lenyap dan rusak. Karena dengan cara
itulah kita dapat memperkokoh khasanah kebudayaan bangsa dan dapat
mempersembahkannya untuk anak cucu kita nanti.
semoga dari kesenangan terhadap sejarah bangsa, bisa menjadi ahli sejarah dunia sobat
BalasHapus