PLURALISME DAN DEMOKRASI MASA ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
2.1 Peranan K. H. Abdurrahman
Wahid Dalam Sistem Demokrasi dan Pluralisme
Masyarakat di Indonesia Sebelum Masa Kepemimpinannya Sebagai Presiden
(1998-1999)
2.1.1. Peranan K. H. Abdurrahman Wahid Dalam Sistem Demokrasi
Salah satu concern pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) yang menonjol adalah masalah demokrasi. Dia memandang demokrasi sebagai
sutau proses, maksudnya, demokrasi tidak dipandang sebagai suatu sistem yang
pernah selesai dan sempurna. Boleh dikatakan, bahwa dia selalu ada berada dalam
bentuk kesementaraan. Keseluruhan akibat dari pernyataan ini ialah bahwa akan
timbul reaksi yang menggunakan sifat “sementara” dan tidak sempurna” dari
proses demokrasi itu sebagai alasaan pembelaan bagi sistem yang ada.
Pikiran demokrasi Gus Dur menetang adanya otoritarisnisme
institusional, maksudnya institusi menjadi satu-satunya ukuran keberadaan
demokrasi. Gusdur lebih memandang demokrasi sebagai proses pembentukan tradisi
yang terus- menerus dilakukan. Sedangkan inti dari demokrasi adalah persamaan
hak, menghargai pluralitas, tegaknya hukum dan keadilan serta kebebasan
menyampaikan aspirasi. Hal ini sudah disurakan Gus Dur ketika iklim politik
masih dalam suasana politik yang sangat tertutup dan otoriter. Gus Dur tidak
sekedar mensosialisasikan konsep ini dalam berbagai bentuk forum seminar dan
diskusi. Lebih dari itu, dia berusaha mempraktekkan hal ini dalam kehidupan.
Meski untuk itu, dia harus dicap sebagai orang yang membela minoritas dan mengabaikan
mayoritas umat (Muslim) (Al-Zastrouw, 1999:256).
Di samping itu, upaya perjuangan Gus Dur dalam menegakkan
demokrasi adalah berpijak pada prinsip non kekerasan. Gus Dur lebih percaya pada perjuangan yang
sistemik, kultural, dan kontinu. Maksud dari perjuangan sistemik adalah
berusaha menciptakan sistem sosial dalam masyrakat yang lebih demokratis,
sebagai tandingan dari sistem politik yang otoriter. Hal ini dilakukan lewat
organisasi Forum Demokrasi, membangun jaringan LSM dan sebagainya.
Kontinu maksudnya, dilakukan secara terus-menerus.
Kontinuitas gerakan Gusdur dilakukan dalam menerima pluralisme. Untuk melakukan
hal ini, kadang Gus Dur dicap terlalu membela kelompok minoritas. Padahal, ini
dilakukan Gusdur sekedar mendidik kelompok mayoritas untuk menghargai hak-hak
minoritas.Sebagai seorang yang sangat berpegang pada cara anti kekerasan, Gus
Dur melakukan semua ini secara gradual dan selalu menghindari konflik dan
cara-cara yang radikal.
Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud
dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur
lahir dan besar di tengah suasana keislaman tradisional yang mewataki NU,
tetapi di kepalanya berkobar pemikiran modern. Bahkan dia dituduh terlalu
liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa Orde Baru, ketika militer
sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi ABRI. Sikap itu
diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke
barak dan memisahkan polisi dari tentara.
Dalam komitmennya yang
penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat
kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani
berbicara dan berkata yang sesuai dengan pemikirannya yang ia anggap benar,
meskipun akan berse berangan dengan banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas.
Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani.
Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu
menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas
daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama
yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali (http://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/30/gus-dur-selamat-jalan-pahlawan-demokrasi-dan-pluralisme/ diakses pada tanggal 27 Desember 2012).
1.1.2
Peranan K. H. Abdurrahman Wahid Terhadap Sistem Pluralisme
Bagi Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), agama, selain memiliki dimensi keimanan dan ketuhanan yang sakral dan
mutlak, juga memiliki dimensi kebudayaan/kultural yang melahirkan berbagai
simbol dan ritus. Dimensi ini sangat sulit dirumuskan mengingat masing
simpang-siurnya pengertian dan luas lingkup kata “budaya” itu sendiri.
Pengertian yang biasa digunakan menunjukkan “pola perlambangan yang
dipertukarkan secara historis dari satu kelompok ke kelompok lain, dengan
komunikasi bentuk-bentuk lambang yang mengandung konsep-konsep yang diturunkan dari generasi
ke generasi, guna melestarikan dan mengembangkan pengetahuan tentang kehidupan
dan sikapnya terhadapnya.
Sebagai sistem keyakinan
yang memuat dimensi ketuhahanan, agama merupakan faktor tunggal yang menyatukan
umat pemeluknya dalam satu dogma yang mutlak kebenarannya. Namun sebagai
dimensi budaya, agama memiliki derajat pluralitas yang cukup tinggi. Dimensi
budaya ini bisa dipahami sebagai upaya penerjemahan nilai-nilai dan ajaran
agama yang ada dimensi keyakinan. Dimensi budaya dalam hal ini akan sangat
tergantung pada pola penafsiran dan derajat peradaban masyarakat dalam memahami
dan menerjemahkan ajaran agama yang diyakini.
Penafsiran ajaran selalu
membawa dalam dirinya perubahan pandangan hidup dan sikap, atau dengan kata
lain berlangsung proses mempertanyakan kemampanan ajaran-ajaran yang semula
diterima sebgai “kebenaran agama”. Dari upaya mempertanyakan kemampanan ajaran
itulah lahir sikap untuk mencarai relevansi agama bagi kehidupan masyarakat.
Jelaslah dengan demikian, upaya penfasiran kembali ajaran agama adalah kegitan
untuk memahami keimanan dalam konteks kehidupan yang senantiasa berubah-ubaha.
“Kehidupan beragama” dala, kompleksitas seperti itu memadukan dalam dirinya
pengetahuan akan ajaran agama, nilai-nilai keagamaan yang membentuk perilaku
pemeluk agama, dan relasi sosial antara seorang pemeluk agama dan
lingkungannya. Kombinasi antara pengetahuan, nilai dan relasi sosial itu
membentuk pola yang membedakan seorang atau sekelompok pemeluk dari pemeluk
lain, sehimggga menjadi tak terhindarkan lagi adanya perbedaan (Al-Zastrouw,
1999:268).
Pandangan
Gus Dur ini menyiratkan bahwa meski agama itu mengandung ajaran tunggal, namun
karena dia dipahami oleh umat yang memiliki latar belakang pengetahuan,
pengalaman, dan kepentingan yang berbeda, maka dalam pelaksanaan dan prakteknya
menjadi berbeda dan plural. Di samping itu Gus Dur berpikiran bahwa tidak semua
simbol dan ritus itu sebagai sesuatu yang baku yang bisa dianggap sebagai suatu
ajaran yang harus dijaga dan dipertahankan, di dalam agama ada dimensi
kebudayaan juga menjelma dalam bentuk simbol dan ritus. Sebenarnya umat
beragama memiliki kebebasan untuk mengubah simbol dan ritus yang menjadi bagian
dari dimensi kebudayaan agama. Untuk mendinamisisr agama, agar nilai-nilai
agama tetap relevan dengan realitas zamannya, dan agar agama memiliki fungsi
yang maksimal dalam menjawab problem kehidupan, Gus Dur mencoba melakukan
pembaharuan penafsiran dan pembongkaran simbol-simbol agama yang mengalami
stagnasi tanpa mengubah esensi ajaran agama.
Gus
Dur dikenal sebagai sosok pembela kaum minoritas. Pembelaannya kepada kelompok
minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol
era Orde Baru (Salman, 2009:145). Atas dasar inilah, Gus Dur bersikap tegas
menjadi pembela pluralisme dalam beragama. Atas sikapnya yang demikian, Gus Dur
banyak mendapat tudingan dan hujatan. Dia dituduh sekuler, pengkhianat umat,
atau tidak membela umat Islam. Padahal, jika dilacak secara cermat, sebenarnya
Gus Dur justru berusaha memfungsionalisasikan agama secara maksimal. Gus Dur
tidak menginginkan agama menjadi sekedar simbol, jargon, dan menawarkan
janji-janji yang serba akhirat sementara realitas kehidupan yang ada dibiarkan
tidak tersentuh. Sikap demikian memang sangat mengkhawatirkan, terutama bagi
mereka yang mengedepankan simbol-simbol dan ritus-ritus formal.
Hal
ini membawa Gus Dur pada sikap yang dileamtis ketika melihat kenyataan riil di
masyarakat. Misalnya, ketika ada beberapa orang Islam yang bermoral bejat, melakukan
tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kemudian bersembunyi di balik tabir
dan simbol Islam. Bagi kaum simbolis-formalis, kenyataan ini harus ditutupi
karena jika dibuka hanya akan membuat nama Islam hancur. Demi nama baik orang
Islam, orang-orang tersebut harus tetap dilindungi, sebab jika dibuka akan
menjadi “senjata” orang lain untuk menyerang Islam. Kalau mereka harus ditindak
maka harus dilakukakn secara diam-diam, jangan sampai ketahuan publik. Bagi Gus
Dur, pandangan tersebut harus dihilangkan. Meski orang Islam, jika ia berbuat
salah harus dituding dan dipertanggung jawabkan di depan publik. Justru dengan
sikap tegas seperti ini Islam dapat memberikan contoh kepada yang lain dalam
hal penegakan hukum dan bersikap ksatria. Sikap seperti ini adalah cerminan dan
penafsiran agama yang kontekstual. Dengan demikian jelas bahwa apa yang
dilakukan Gus Dur bukan sikap sekuler, tetapi upaya menegakkan prinsip-prinsip
agama (Al-Zastrouw, 1999:270). .
2.2 Peranan K. H. Abdurrahman Wahid Terhadap Sistem Demokrasi dan
Pluralisme Masyarakat di Indonesia Pada Masa Kepemimpinannya Sebagai Presiden (1999-2001)
2.2.2 Peranan K. H. Abdurrahman Wahid Terhadap Sistem Demokrasi
Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato
pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat
kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali
berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih
sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313
suara.
Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998,
Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus
dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata. Menghadapi hal itu, setelah pengangkatan
dirinya sebagai Presiden, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang
berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi referendum otonomi dan
bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Pendekatan yang lebih
lembut terhadap Aceh dilakukan Gus
Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah
tersebut. Netralisasi Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30
Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya,
Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia
mendorong penggunaan nama Papua.
Presiden Abdurrahman Wahid dalam
wawancara dengan Radio Netherland:
Sebagai seorang Demokrat saya tidak
bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi
sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara
kesatuan Republik Indonesia.
Gus Dur lah menjadi
pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada pemerintahan Gus Dur lah, pembicaraan damai antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya,
pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti
ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat
sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap
memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM
duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara
rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara,
menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama
kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan. Selain usaha perdamaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir
dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik (http://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/30/gus-dur-selamat-jalan-pahlawan-demokrasi-dan-pluralisme/ diakses pada tanggal 27 Desember 2012).
2.2.2
Peranan K. H. Abdurrahman Wahid Dalam Sistem Pluralisme
Selain usaha perdamaian
dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar
keluar dari ruang politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak
“Tionghoa” Indonesia. Dialah tokoh nasional yang berani membela orang
Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Pada tanggal
10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH
Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus
Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian
diperjuangkan menjadi Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan
pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Dan atas jasa Gus Dur pula
akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia.
Selain berani membela
hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi
Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang
mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan
pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang
seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka
agama-agama untuk melihat kemajemukan suku, agama dan ras di Indonesia sebagian
bagian dari kekayaan bangsa yang harus dipelihara dan disatukan sebagai
kekuatan pembangunan bangsa yang besar.
Gus Dur tidak
sedikitpun memberikan gambaran dirinya sebagai penganut Pluralisme dengan
pengertian pembenaran seluruh agama atau aliran kepercayaan lainnya dinilai
sama derajat keimanannya. Gus Dur memberikan rasa hormatnya kepada setipa
ajaran agama atau kepercayaan yang diimani oleh penganutnya. Sikap Gus Dur
menghormati keyakinan yang berbeda tidaklah berarti Gus Dur adalah penganut
Pluralisme yang membenarkan dan mensejajarkan ajaran agama sama dengan aliran
sekularisme. Sebagai Guru Bangsa, Gus Dur berpartisipasi aktif melindungi
pelaksanaan ajaran agama dan kepercayaannya sebagaimana yang tertera dalam UUD
1945 Bab XI Pasal 29 butir dua. Sayangnya, gelar Bapak Pluralisme
dikumandangkan pada saat Gus Dur dan Presiden ke-4 RI pulang ke Rahmatullah
(Ahmad, 2010:532-525).
Namun
disayangkan pluralisme di dalam kehidupan bangsa Indonesia yang ingin
diwujudkan oleh Gus Dur sempat mengalami permasalahan dikarenakan terjadinya
kerusuhan berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan seperti adanya
kerusuhan Sampit yaitu pertikaian antara suku Dayak dan Madura yang banyak
memakan korban jiwa dan kerusuhan ini terjadi pada tanggal 27 Februari 2000 (
Budiarto, 2001:258).
Dalam kapasitas dan
ambisinya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan pendapat
kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan
sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan
menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu
tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke
depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya
benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan
pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak
radikal dan mengundang kontroversi.
Kendati pendapatnya
tidak selalu benar untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain adalah suatu hal yang sulit dibantah
bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan
arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam
Pembukaan UUD 1945. Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur
sudah terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal
reformasi, orang-orang baru mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme
dalam membangun bangsa yang beragam di saat ini.
kami sekeluarga tak lupa mengucapkan puji syukur kepada ALLAH S,W,T
BalasHapusdan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
berikan 4 angka < 4651 > alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka main togel
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi AKI SOLEH,,di no (((082-313-336-747)))
insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 275
juta, wassalam.
dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....
Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!
1"Dikejar-kejar hutang
2"Selaluh kalah dalam bermain togel
3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel
4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat
5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
tapi tidak ada satupun yang berhasil..
Solusi yang tepat jangan anda putus asah....AKI SOLEH akan membantu
anda semua dengan Angka ritwal/GHOIB:
butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
100% jebol
Apabila ada waktu
silahkan Hub: AKI SOLEH DI NO: (((082-313-336-747)))
atau klik langsung di KLIK DSINI BOCORAN TOGEL
angka GHOIB: singapur 2D/3D/4D/
angka GHOIB: hongkong 2D/3D/4D/
angka GHOIB; malaysia
angka GHOIB; toto magnum 4D/5D/6D/
angka GHOIB; laos