Tempat Peristiwa Perjuangan Arek Surabaya, Agustus-Nopember 1945

#WisataSejarahKPS

DAFTAR GEDUNG ATAU TEMPAT YANG BERNILAI SEJARAH KARENA TERJADI PERISTIWA PENTING DALAM PERGOLAKAN PERJUANGAN DI SURABAYA BULAN AGUSTUS-NOVEMBER 1945.

Darmo Barrack: Kamp untuk menawan para interniran Belanda pada jaman pendudukan Jepang.
Kohara Butai di Gunungsari: Batalyon tentara Jepang yang banyak menyimpan senjata. Senjata tersebut kemudian jatuh ke tangan bangsa Indonesia, dan dijadikan modal perjuangan.
Lapangan Gunungsari: sebagai tempat mendarat parasutis Mastiff Carbolic yang menyamar sebagai misi RAPWI pada tanggal 18 September 1945. Oleh fihak Jepang rombongan ditempatkan di Hotel Oranje. Di antaranya terdapat seorang Indonesia, Dokter Rubiono. Pagi harinya tanggal 19 September 1945 meletuslah insiden bendera di Hotel Oranje.
Jembatan Wonokromo dan sekitar Kebun Binatang Surabaya: salah satu tempat pertempuran seru antara tentara Sekutu melawan para pejuang Indonesia dalam pertempuran tiga hari maupun pertempuran yang meletus setelah 10 November 1945. Sepanjang jalan dipenuhi dengan barikade.
Rumah Sakit Darmo: tempat interniran Belanda yang menjadi pusat pertahanan pasukan Mallaby. Di depan gedung itulah insiden pertama meletus antara pasukan Mallaby dengan pejuang Indonesia, 27 Oktober 1945.
Gedung Sekolah Menengah Tinggi Jalan Darmo Boulevard 49: tempat pembentukan BKR Pelajar di bawah pimpinan Mas Isman. Pada perkembangan selanjutnya BKR Pelajar menjadi TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar).
Gedung Sekolah St. Louis Coen Boulevard 7 (sekarang Jt. Dr. Sutomo): Markas Polisi Istimewa di bawah pimpinan M. Yasin. Pada tanggal 20 Agustus 1945 di markas Polisi Istimewa ini telah terjadi penurunan bendera Jepang Hinomaru diganti dengan Merah Putih. Aksi tersebut diteruskan dengan pengambilalihan persenjataan oleh anggota Polisi Istimewa dari tangan dan gudang Jepang di belakang markas.
Pos polisi, perempatan Darmo Boulevard dan Coen Boulevard: tempat ini yang ditunjuk oleh Mayor Jendral E.C. Mansergh dalam pamflet ultimatumnya di mana pejuang Indonesia harus menyerahkan senjatanya.
Gedung sebelah bioskop Dana, antara Darmo Boulevard dan Tamarindelaan (Pandegiling): tempat pembentukan/berdirinya Hokodan (Barisan Kebaktian) SE. 21/24 pada tanggal 10 April 1945. Setelah Indonesia Merdeka Hokodan pimpinan M. Afandi menjadi PAL (Penataran Angkatan Laut), kaum pekerja yang menguasai daerah Ujung.
Gedung Jalan Kayun 34: tempat perundingan resmi pertama kali antara Pemerintah R.I. Daerah Surabaya dengan fihak Sekutu, masing-masing diwakili oleh Drg. Mustopo dan Brigadir A.W.S. Mallaby pada tanggal 25 Oktober 1945. Bertindak sebagai juru bahasa Yetty Noor (mahasiswa).
Gedung Jalan Kayun 72-74: sekarang Kantor Pusat IKIP Negeri Surabaya. Dulu sebagai gedung Konsulat Inggris di Surabaya. Ketika Huiyer ditangkap di Kertosono, dikembalikan ke Surabaya, pada tanggal 19 Oktober 1945, ditahan di gedung ini. Kemudian bersama-sama dengan tawanan APWI lainnya pada pertengahan Oktober 1945 dimasukkan ke Penjara Kalisosok.
Rumah Jalan Biliton 7: tempat terbentuknya Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia Surabaya pimpinan Bung Tomo.
Gedung Don Bosco di Princesselaan (Jalan Tidar): Gudang senjata Jepang terbesar di Surabaya. Diserbu dan direbut oleh rakyat Surabaya pada akhir September 1945. Senjata itu dibagi-bagikan kepada rakyat dan sebagian oleh Bung Tomo dikirim ke Jakarta. Cara pengambilalihan senjata di Don Bosco kemudian dijadikan model dalam pengambilalihan obyek kekuasaan Jepang lainnya di seluruh Jawa Timur. Gedung Don Bosco kemudian dijadikan Markas Genie Pelajar (TGP) di bawah pimpinan Hasanuddin Pasopati.
Gedung di Kaliasin 121-125, sekarang Kantor PDAM: tempat Markas BKR Kota Surabaya di bawah pimpinan Sungkono. Kemudian pindah ke Jimertostraat 25 (sekarang Kantor Walikotamadya Surabaya), pindah lagi ke Kaliasin (Kantor DAMRI sekarang), dan terakhir pindah ke Pregolan 2-4. Dekat dengan Markas Pasukan Berani Mati di oowah pimpinan Jarot Subiyantoro.
Gedung di Embong Malang, dulu pemancar NIROM (radio Belanda), kemudian menjadi pemancar Radio Surabaya. Studionya pada jaman Jepang ( Hosokyoku) berada di Simpangweg (gedung RRI Surabaya Jalan Pemuda sekarang). Ketika pada 29 Oktober 1945 studio Radio Surabaya hancur terbakar dalam perang dengan tentara Mallaby, siaran Radio Surabaya dilanjutkan di Embong Malang, di situlah Gubernur Jawa Timur RMTA Suryo mengucapkan pidato keramatnya menjawab ultimatum Mayor Jendral E.C. Mansergh pada tanggal 9 November 1945 malam hari (menjelang 10 November 1945).
Gedung Radio Surabaya Simpangweg (Jalan Pemuda sekarang): dipergunakan rapat Pemuda Pelajar yang mencetuskan tekad meraka membela tanah air pada tanggal 1 Juli 1945. Di sini Bung Tomo untuk pertama kalinya mengucapkan pidato radio. Dalam pertempuran 28-29 Oktober gedung ini diduduki pasukan Mallaby dan menjatuhkan banyak kurban di fihak rakyat Surabaya. Akhirnya gedung ini dibakar oleh rakyat Surabaya dan pasukan Inggris yang berada di situ dihabisi nyawanya tak ada yang tersisa hidup.
CBZ (Rumah Sakit Umum Simpang), sekarang berdiri bangunan Delta Plaza: tempat penampungan/perawatan para korban yang luka-luka. Juga fihak musuh yang luka dan tertawan dirawat di sini. Banyak yang tidak tertolong jiwanya dan dimakamkan secara massal di belakang Rumah Sakit.
Balai Pemuda. Dulu Simpangsche Societeit. Menjadi Markas Besar PRI (Pemuda Republik Indonesia) Pusat. Organisasi pemuda ini sering bertindak ekstrim, dan banyak orang Indonesia atau Belanda dituduh mata-mata diinterogasi oleh Bagian Penyelidik PRI di gedung ini.
Hotel Oranje, Yamato Hoteru, Hotel Majapahit Jalan Tunjungan: Menjadi pusat kegiatan orang-orang Eropa dan Belanda untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Surabaya. Oleh Sekutu direncanakan sebagai Markas Besar mereka. Ketika orang-orang bekas interniran Belanda mengibarkan bendera Belanda pada tiang gapura hotel, maka terjadi insiden perobekan bendera itu oleh orang-orang Indonesia pada tanggal 19 September 1945. Bendera Belanda itu dirobek warna birunya sehingga tinggal warna merah dan putihnya, lalu bendera merah putih tadi dikibarkan kembali di puncak tiang.
Jalan Mawar 10-12: tempat Radio Pemberontakan Rakyat Surabaya Bung Tomo. Karena Radio Surabaya Simpang dibakar, maka untuk menyerukan penghentian tembak-menembak tanggal 29 Oktober 1945 Brigadir Mallaby dan Presiden Sukarno menggunakan Radio Pemberontakan di Jalan Mawar itu.
Embong Sawo 34-36: Markas BKR Karesidenan Surabaya di bawah pimpinan Yonosewoyo.
Embong Wungu 2-4: Markas Besar AL Jepang di bawah komando Laksamana Shibata. Pada tanggal 3 Oktober 1945 diserbu oleh pemuda Indonesia.
Jalan Tunjungan 100 – Embong Malang 2: Setelah Kantor Berita Jepang Domei ditutup, wartawan nasionalis Indonesia mendirikan Kantor Berita sendiri bertempat di sudut jalan Tunjungan dan Embong Malang, dengan nama Kantor Berita Indonesia. Setelah diintegrasikan dengan Kantor Berita Nasional Antara, namanya menjadi Kantor Berita Indonesia Antara. Dari Kantor Berita tersebut selebaran Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia disebarluaskan.
GNI (Gedung Nasional Indonesia) Jalan Bubutan: Pusat Pergerakan Nasional sejak jaman Hindia Belanda. Tempat pembenetukan KN I dan BKR dari tanggal 25 27 Agustus 1945. Tempat mempersiapkan rapat raksasa di Lapangan Tambaksari tanggal 21 September 1945.
Penjara Koblen: Tempat tawanan Jepang di samping penjara Kalisosok dan Jaarmark. Ketika didengar berita Jepang mengadakan pembantaian terhadap rakyat Indonesia di Semarang (Batalyon Kido), rakyat Surabaya menjadi panas hatinya dan mengadakan aksi pembalasan dengan menyembelih Jepang di Penjara Koblen ini. Korban kira-kira 150 orang Jepang.
Lapangan Pasarturi (dulu letaknya di belakang Pasarturi dekat viaduct). Pada hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia genap satu bulan, diselenggarakan rapat umum di Lapangan Pasarturi pada tanggal 17 September 1945.
Gedung di Julianalaan 9 (sekarang Jl. Mobes M. Duryat): Markas Pasukan Berani Mati di bawah pimpinan Jarot Subiyantoro.
Gedung di Wilhelminalaan – Princesselaan (Jalan Widodaren – Tidar): Para pemuda eks AMI (Angkatan Muda Indonesia) mengadakan pertemuan, kemudian membentuk PRI (Pemuda Republik Indonesia) mempergunakan tempat itu sebagai markas besarnya. Jalan Wilhelminalaan diubah namanya jadi Jalan Merdeka. Kemudian Markas PRI pindah ke Simpangsche Societeit. Tahun 1950 setelah Surabaya kembali menjadi daerah Republik, Wilhelminalaan diubah jadi jalan Widodaren.
Marine (Kaigun) Gubeng, Gubeng Pojok: salah satu Markas Kaigun (AL) Jepang yang terkuat. Diserbu dan direbut oleh pemuda Indonesia pada tanggal 3 Oktober 1945 setelah melalui pertempuran sengit dan melalui perundingan-perundingan.
Lapangan Tambaksari, sekarang Gelora 10 November: tempat diselenggarakannya rapat samudra tanggal 21 September 1945, dua hari setelah rapat serupa gagal diselenggarakan di Jakarta akibat tekanan Inggris terhadap Jepang yang melarang rapat-rapat oleh bangsa Indonesia. Rapat raksasa di Tambaksari menyadarkan pemuda Indonesia akan arti kemerdekaan, persatuan dan juga perlunya memiliki senjata untuk mempertahankan kemerdekaan negara. Pekik Merdeka menggelegar di tengah berkibarnya Merah Putih di seluruh lapangan. Mulai dari rapat ini maka perebutan senjata dari tangan Jepang dilaksanakan.
Rumah Sakit Karangmenjangan, sekarang R.S. Dr. Sutomo: rumah sakit tentara Jepang. Bersama-sama antara BKR, Polisi Istimewa dan Pemimpin RS Simpang berhasil mengambilalih rumah sakit itu pada akhir September 1945 beriringan dengan pengambilalihan Don Bosco.
HBS, sekarang gedung SMA Jalan Wijayakusuma 48: Salah satu Markas BKR Surabaya di bawah pimpinan Suharyo. Kemudian diduduki oleh pasukan Mallaby.
THR (Taman Hiburan Rakyat) Jalan Kusumabangsa, dulu Jaarmark Canalaan. Tempat interniran Belanda, kemudian tempat penawanan orang Jepang.
Hotel Ngemplak, sudut Ambenganweg – Ngemplakweg: ditempati sebagai Markas BKR Laut, tempat pendaftaran masuk BKR Laut. Setelah pertempuran 10 November 1945 meletus dan tidak mungkin lagi dipertahankan markas kemudian dipindahkan ke Wonocolo dekat pemerahan susu.
Thesinkstraat 30, sekarang Jalan Kecilung: Karena markas BKR Laut di Hotel Ngemplak (di sebelah utaranya) telah terlalu penuh, sebagian anggota BKR Laut yang ditarik dari Ujung dilimpahkan ke rumah-rumah sekitar Hotel Ngemplak, yaitu di Thesinkstraat. Sebagian pula dipindahkan ke Jalan Sulawesi 17 (Celebesstraat) dan Sidotopo.
Gedung Gubernuran Jalan Pahlawan (Aloon-aloonstraat): sebagai pusat kegiatan pemerintahan sejak jaman Hindia Belanda, Jepang dan setelah Proklamasi. Tempat perundingan antara Presiden Sukarno dengan pasukan Sekutu untuk menghentikan pertempuran 3 hari yang nyaris membinasakan pasukan Inggris pimpinan Brigadir A.W.S. Mallaby.
Bioskop King dan sekitar Alun-alun Contong: Markas PRI Tengah di bawah pimpinan Slamet Utomo.
Jalan Tembok Dukuh 34 A: tempat Bung Tomo memberikan komando terakhir sebelum/menjelang pecahnya pertempuran 10 November 1945.
Gedung Kenpeitai, Aloon-aloonstraat dan Viaduct. Pada jaman Belanda dipergunakan sebagai gedung pengadilan (Raad van Justitie). Sebagai simbul kekuasaan Jepang di Surabaya. Setelah melalui pertempuran sengit yang makan banyak korban di kedua belah fihak pada tanggal 2 Oktober 1945, maka pasukan Jepang menyerah kepada pejuang Indonesia. Sampai jebolnya pertahanan Indonesia di Viaduct pada tanggal 15 November 1945 gedung itu dipergunakan sebagai Markas BKR Karesidenan (kemudian dipindah ke Embong Sawo) dan PTKR (Polisi Tentara Keamanan Rakyat) di bawah pimpinan Hasanuddin Pasopati dan N. Suharyo. Dalam pertempuran merebut gedung Kenpeitai jatuh korban antara lain Abdul Wahab, Ketua BKR Karesidenan, tertembak kakinya. Dalam pertempuran 10 November 1945 gedung tersebut menjadi sasaran pertama pemboman pasukan Inggris dari laut dan udara. Sekarang tegak Tugu Pahlawan.
Gedung Lindeteves, Jalan Pahlawan 120 (dulu Aloon-aloonstraat 32): tempat mereparasi berbagai senjata dan kendaraan perang antara lain tank. Terkenal dengan nama gedung Glinding Tipis. Pada akhir September 1945 gedung yang terkenal dengan nama Kitahama Butai direbut oleh pemuda Indonesia dengan perolehan banyak senjata dan kendaraan perang.
Hoofd Bureau van Politie di Paradestraat, sekarang Taman Sikatan. Sebagai Markas Polisi Istimewa Kota Surabaya di bawah pimpinan Sucipto Danukusumo. Diketemukan pula nama Huiyer dalam daftar di Hoofd Bureau sehingga identitas Huiyer yang sejak akhir September telah berada di Surabaya dapat segera diketahui dan diawasi.
Gedung HVA (Handels Vereeniging Amsterdam) Gomidiestraat, sekarang Gedung PTP XXII. Markas Besar Angkatan Darat Jepang di bawah Komando Jendral Iwabe. Berkat diplomasi Drg. Mustopo gedung HVA (markas dan senjatanya) berhasil diambil alih oleh bangsa Indonesia. Kemudian dijadikan Markas BKR Jawa Timur di bawah pimpinan Drg. Mustopo yang merangkap sebagai “Menteri Pertahanan, ad interim” RI sampai tanggal 30 Oktober 1945.
Gedung Internatio, Willemplein (Taman Jayengrono), Herenstraat (Jalan Rajawali), Jembatan Merah dan sekitarnya. Sebagai gedung yang kokoh dan strategis digunakan oleh pasukan Mallaby yang mendarat di Surabaya tanggal 24 Oktober 1945. Dalam pertempuran tanggal 28-30 Oktober 1945 gedung Internatio dan lapangan Jembatan Merah termasuk daerah pertempuran yang paling seru. Meskipun telah diserukan gencatan senjata tembak-menembak belum berhenti juga. Ketika rombongan Kontak Biro antara lain Muhammad, Kundan, Ruslan Abdulgani, Dul Arnowo, Mallaby dan lain sebagainya berusaha menghentikan pertempuran di sekitar gedung tersebut, Mallaby tewas dan mobilnya terbakar di dekat Jembatan Merah.
Penjara Kalisosok, Werfstraat. Tempat menawan tentara Jepang yang telah dilucuti. Huiyer, de Back dari Tim RAPWI juga ditawan di situ. Pada tanggal 27 Oktober 1945, pasukan khusus Inggris membebaskan Huiyer dengan menjebol dinding tembok bagian belakang gedung penjara.
Jalan Jakarta 5 (Bataviaweg). Markas komando Mayor Jendral E.G. Mansergh. Gubernur Suryo menjelang tanggal 10 November 1945 dipanggil ke tempat ini. Katanya diajak berunding, tetapi justru diintimidasi bahwa fihak RI telah menduduki dan mengepung lapangan terbang Morokrembangan.
Gitadelweg, Gedung Sekolah Al-Irsyat dan sekitarnya. Salah satu medan pertempuran sengit antara tentara Inggris dan pasukan PRI Utara di bawah pimpinan J. Rambe.
Westerbuitenweg (Jalan Indrapura) di sekitar Masjid Kemayoran: tempat yang ditunjuk dalam pamflet ultimatum E.G. Mansergh bagi para pejuang Indonesia untuk menyerahkan senjatanya kepada Inggris.
Pangkalan Ujung: pangkalan AL Jepang yang terbesar. Berhasil direbut oleh pemuda Indonesia pada tanggal 6 Oktober 1945. Dengan jatuhnya Ujung ke tangan Republik Indonesia berarti seluruh Surabaya telah berada dalam kekuasaan Republik Indonesia.
Morokrembangan: sebagai pangkalan udara Belanda dan Jepang. Pada tanggal 29 Oktober 1945 pesawat yang ditumpangi Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mendarat di tempat ini dalam hamburan hujan peluru. Di tempat inilah kabarnya mula-mula jenazah Brigadir Mallaby dimakamkan.
Pulau Nyamukan: Lebih kurang 400 orang tentara Jepang bersenjata lengkap dengan perahu-perahunya di pulau ini pada tanggal 14 Oktober 1945 berhasil ditawan oleh BKR Laut dari Ujung. Mereka dibawa ke Ujung dan ditawan.

0 komentar: