Biografi Tokoh Sejarah Sartono Kartodirdjo
Biografi Tokoh Sejarah Sartono Kartodirdjo–
Sejarawan Indonesia Sartono kartodirdjo adalah sejarawan Idealisme
indonesia. Meskipun Sartono hidup lada masa Orde baru yang penuh dengan
pengekangan kebebasan dalam berpendapat, Tokoh sejarah indonesia satu
ini tetap pada jalan sejarah secara hakiki yakni mengungkap atau
menuliskan sejarah sesuai dengan fakta atau apa adanya.
Sartono
dilahirkan pada 15 Februari 1921 di Wonogiri. Ia datang dari latar
belakang masyarakat Jawa. Alam bawah sadarnya dibentuk oleh
cerita-cerita pewayangan. Pendidikan awal nonformal inilah yang
mengantarkan Sartono kecil untuk mengenali sosok-sosok manusia ideal
dalam pandangan masyarakat Jawa.
Pada
1927 ia bersekolah di MULO dan kemudian hijrah ke HIK Muntilan (1936),
sekolah calon bruder. Inilah titik awal riwayat hidup Sartono berpindah,
yaitu perpindahan dari “antroposentrisme” ke ”teosentrisme”. Dan dari
HIK-lah kepekaan batinnya diasah; semacam ketajaman instingtif yang
kelak menuntunnya menjadi ilmuwan yang asketis.
Sempat
Sartono muda mengalami pergulatan iman dalam diri, yakni ketika kondisi
sosial-ekonomi keluarganya saat itu membuatnya harus memilih profesi
guru dan tidak melanjutkan menjadi bruder. Dan sejak itu, ia memutuskan
profesinya cuma satu: guru. Agaknya, menjadi guru adalah jalan hidup
pengabdian yang harus ia tempuh. Pengalaman mengajarnya pun komplet,
mulai mengajar anak TK menyayi hingga menjadi dosen S3 yang menguji
disertasi.
Sartono
kemudian melanjutkan studi di Yale, Amerika Serikat, dan Amsterdam,
Belanda. Disertasi doktoralnya tentang “Pemberontakan Petani Banten
1888” adalah karya historiografi modern pertama yang ditulis orang
pribumi. Karya ini membuka jalan baru tradisi penulisan sejarah di
Indonesia, yang sebelumnya pekat dengan aroma neerlandosentris. Ia
secara kukuh memperjuangkan ”dekolonisasi sejarah” agar corak
indonesiasentrisme tampil ke muka.
Kemudian
pada 1977 ia menjadi orang yang pertama kali menerima Benda Prize.
Inilah anugerah yang dinisbatkan pada sejarawan H.J. Benda, yang juga
pernah membimbing Sartono saat studi di Amsterdam. Dan pada 17 juni
1996, Universitas Humboldt, Jerman pun menganugrahinya gelar Doctor
Honoris Causa atas sumbangsihnya pada disiplin ilmu sejarah.
Sekembalinya
dari luar negeri, Sartono bertekad memulai kerja besar membangun
tradisi kritis dalam ilmu sejarah di Indonesia. Ia mentranformasikan
ilmu-ilmunya lewat seminar-seminar dan buku-buku yang ditulisnya, sampai
memperbaiki kurikulum Jurusan Sejarah UGM. Dengan fokus dan kearifannya
dalam menekuni bidangnya, ia pun mendapat julukan sebagai ”asketisme
intelektual” atau ”mesu dudi”, yaitu disiplin spiritual, suatu latihan
kemampuan kognitif dalam segala aspeknya: logis, kritis, analitis,
maupun diskursif.
Asketisme
intelektual itulah yang membuatnya sekukuh batu karang dan setulus
cahaya rembulan. Berbagai kesulitan yang menerpanya sejak belia ia
jalani dengan etos kerja keras, kreativitas, kejujuran, dan disiplin
tinggi. Dalam bahasa Fischer, asketisme intelektual pada diri Sartono
adalah gabungan dari sosok Arjuna (kehalusan siap), Gatotkaca
(kejujuran), dan Semar (kearifan) sekaligus. Sungguh luar biasa!
Nah,
bagaimana kisah sosok Sartono ini secara lengkap? Dalam buku yang
berjudul: Membuka Pintu bagi Masa Depan; Biografi Sartono Kartodirdjo
ini, mengupas bagaimana perjalanan hidup seorang Sartono secara luas dan
konferhensif, tak hanya sisi karir dan akademis Sartono semata yang
disungguhkan, sisi religius, kearifan, keteguhan, dan kesabaran seorang
Sartono dalam menjalani hidupnya pun dipaparkan secara halus dan
menyentuh.
Dan
memang, penulis buku ini tampaknya tak sekelumit mengetahui perjalanan
hidup seorang Sartono. Ia seperti keluarga dekat atau asisten Sartono
itu sendiri. Karena penulis buku ini begitu tahu secara detail tentang
kehidupan Sartono dari berbagai segi.
Itulah
salah satu keunikan sejarawan muda yang bernama M. Nursam. Karena ia
memang sejak tujuh tahun lalu telah mempersiapkan materi buku biografi
ini, meski proses penulisannya sendiri ia kebut dalam setengah bulan.
0 komentar: