Peristiwa Malari 1974
Secara
umum, ada dua perspektif dalam pembangunan industri di Indonesia.
Pertama adalah dengan pembangunan industri dengan tujuan peningkatan
ekspor. Kedua adalah dengan mengutamakan SDM dalam negeri sebagai
sasarannya. Cara pertama ini diusulkan sekelompok ahli ekonomi Indonesia
yang terkenal dengan sebutan Mafia Berkeley, dimana mereka berusaha
menaikan ekspor dengan melakukan ekspor sebanyak-banyaknya. Peristiwa 15
Januari 1974, yang dikenal dengan sebutan Malari ini, juga memuat
adanya isu ras dan adanya ketakutan kerjasama Indonesia dengan pihak
luar negeri, dimana Indonesia akan mendapatkan keuntungan yang lebih
sedikit. Peristiwa Malari ini sendiri adalah kerusuhan yang terjadi
akibat demonstrasi mahasiswa dalam menolak kedatangan perdana menteri
Jepang yang saat itu hendak melakukan kerjasama ekonomi dengan
Indonesia.
Peristiswa Malari
Untuk
lebih menjelaskan, kronologi peristiwa Malari bisa dilihat sebagai
berikut. Peristiwa ini lebih kepada pergerakan mahasiswa menentang
kebijakan pemerintah. Ada beberapa penyebab dari peristiwa Malari, yaitu
cara perekonomian Orde Baru, gerakan mahasisiwa, penanaman modal
Jepang, liputan surat kabar yang negatif, krisis pangan, dan
pertentangan antara Soemitro dan Ali Moertopo yang mewakili dua
perspektif dalam pebangunan industri di Indonesia. Pada 15 Januari 1974,
saat mahasiswa UI bergerak menuju Universitas Trisakti, terjadi
pembakaran terhadap kendaraan dan toko-toko Jepang, khususnya ASTRA.
Pelakunya sendiri tidak jelas sampai sekarang.
Kasus
15 Januari 1974 yang lebih dikenal “Peristiwa Malari”, tercatat
sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan.
Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan
rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.
Peristiwa
itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang
berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan
menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil
menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM
Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar
Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.
Itu memperlihatkan, suasana Kota Jakarta masih mencekam.
Peristiwa
Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya
sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang.
Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum
intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali
Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan
teramat besar.
Ada
analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal
Soemitro-Ali Moertopo. Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei
1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini, meminjam ungkapan
Chalmers Johnson (Blowback, 2000), dapat disebut permainan “jenderal
kalajengking” (scorpion general).
Usai
terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan
penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto menghentikan Soemitro sebagai
Pangkomkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden
dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono “didubeskan”, diganti Yoga
Sugama.
Bagi
Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening karena peristiwa
itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak
tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua
orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang
bisa mengusik pemerintah.
Selanjutnya,
ia amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria
“pernah jadi ajudan Presiden”. Segala upaya dijalankan untuk
mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun
secara mental.
Dari
sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu
tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara
lebih sistematis.
Liputan Surat Kabar Indoneisa Raya Atas Peristiwa Malari
Dalam
tajuk rencana 14 Januari 1974, Mochtar Lubis menyatakan tentang
bagaimana kerjasama Jepang dengan negara-negara Asia Tenggara yang lain,
dimana pada intinya kerjasama itu selalu merugikan.
Dalam
tajuk rencana 15 Januari 1974, Mochtar Lubis menyoroti demo mahasiswa
terhadap kedatangan PM Tanaka dari Jepang, dan menyebutkan jangan
terburu-buru menyatakan mahasiswa melakukan makar. Dalam tajuk rencana
tanggal 15 Januari 1974 ini juga Indonesia Raya melaporkan mahasiswa
ditunggangi pihak-pihak tertentu.
Pada tanggal 17 dan 18 Januari 1974, Indonesia Raya mengeluarkan laporan tentang huru hara 15 Januari 1974.
0 komentar: