Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia - Sebelumnya, telah ada dugaan bahwa Belanda bakal
melakukan lagi aksi militernya, sebab perundingan antara Delegasi RI dengan
Belanda, yang menuturkan pelaksanaan Perjanjian Renville di bulan Juni 1948,
menemukan jalan buntu. Sementara itu, PKI di bawah ceo Muso melakukan
pemberontakan di Madiun. Kemudian usulan yang diajukan Merle Cochran, anak buah
KTN dari Amerika, di bulan Oktober 1948 tidak bisa menembus kemacetan. Menghadapi
situasi semacam ini, Ceo Negara dan Angkatan Bersenjata mengadakan rapat untuk
mengulas siasat yang bakal diambil. Dibicarakan pula kemungkinan Pemerintahan
di pindahkan ke Sumatera. Ketika itu ada gagasan untuk membagi anak buah
pemerintahan menjadi tiga kelompok, untuk meneruskan perjuangan. Presiden yang
didampingi berbagai orang pembesar bakal melakukan perjuangan diplomasi di Luar
Negeri. Wakil Presiden/PM bakal memimpin perjuangan di Sumatera. Sedangkan
Menteri lain dan Ceo Angkatan Bersenjata memimpin Perang Gerilya di Jawa.
Dipilihnya Sumatera sebab wilayahnya yang luas dan hutannya
yang tetap lebat. Sejak dulu Sumatera, terutama Aceh, susah ditundukan. Tidak
hanya itu letaknya yang di ujung barat wilayah RI bakal mempermudah hubungan
dengan luar negeri, seperi India, Srilangka dan Birma. Pada pertengahan
November 1948, atas permintaan Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera,
Mohammad Hatta pergi ke Bukittingi untuk melerai pertikaian antara Mayor Bedjo
dan Mayor Malau di Tapanuli. Hatta disertai Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr.
Lukman Hakim, Rusli Rahim, Kolonel Hidayat, Letkol Akil Prawiradiredja dan
lain-lain. Dalam bukunya, Memoir, terbitan Tintamas tahun 1982 Hatta
menyebutkan bahwa Sjafruddin bakal menjadi perdana menteri sementara apabila terjadi
Aksi Militer II Belanda. Setelah perselisihan Mayor Bedjo dan Mayor Malau bisa
diatasi, Hatta kembali ke Yogya untuk melakukan perundingan lagi dengan
Belanda. Sjafruddin dan para pembantunya diminta untuk sementara tetap di
Bukittinggi untuk mengatur kembali keuangan di Propinsi Sumatera. (Memoir) Sementara
menantikan di Bukittingi, Sjafruddin, semacam diungkapkan dalam buku :
Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Terhadap Allah SWT, membikin analisa
mengenai perundingan yang bakal dihadapi Hatta. Kemungkinan pertama, tercapai
kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai kemerdekaan dan kesaksian
kedaulatan bangsa Indonesia. Kedua, perundingan menemui jalan buntu. Kalau kemungkinan
kedua yang terjadi jadi diinginkan Hatta bakal kembali ke Sumatera untuk
memimpin pemerintahan darurat, semacam yang sempat dibicarakan.
Ternyata perundingan pada tanggal 30 November 1948 itu
mengalami kegagalan. Faktor ini dikarenakan sikap Dr. Sassen, Menteri seberang
lautan Belanda, yang menyebutkan bahwa TNI dijadikan sebagai pengawal keamanan
saja, bukan sebagai tentara nasional RIS yang bakal dibentuk. Padahal, sebelum
itu telah dicapai kesepakatan antara Hatta dengan Dr. Stikker, Menlu Belanda,
mengenai masalah inti yang dibicarakan: yaitu mengenai pembentukan Pemerintahan
Federal dan status dan kedudukan TNI.
Gagalnya perundingan ini diikuti kemudian oleh aksi Militer
Belanda. Ditawannya para pemimpin negara menyebabkan rencana semula tidak bisa
dilaksanakan. Berbagai kalangan dipihak Republik Indonesia agak sedih menonton
kenyataan ini. Presiden dan Wakil Presiden/PM sempat mengirimkan dua kawat
sebelum ditawan. Kawat pertama ditujukan
terhadap Mr. Sjafruddin Prawiranegara :
Kami Presiden
Republik Indonesia mengumumkan bahwa pada hari minggu tanggal 19 Desember 1948
jam 6.00 pagi, Belanda telah mulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Apabila
dalam keadaan pemerintah tidak bisa menjalankan kewajibannya lagi, kita
menguasakan terhadap Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik
Indonesia, untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia Darurat di Sumatera.
Yogyakarta, 19 Desember 1948. Presiden Soekarno. Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Kawat kedua ditujukan terhadap Mr. A.A. Maramis di New
Delhi: Kami Presiden Republik Indonesia mengumumkan bahwa pada hari minggu
tanggal 19 Desember 1948 jam 6.00 pagi, Belanda telah mulai serangannya atas
Ibukota Yogyakarta. Apabila Ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara membentuk
Pemerintah Darurat di Sumatera tidak berhasil, terhadap saudara dikuasakan
untuk membentuk Exile Government Republik Indonesia di New Delhi. Harap dalam
faktor ini berhubungan dengan Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera. Apabila
hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya. Yogyakarta,
19 Desember 1948. Wakil Presiden Mohammad Hatta. Menteri Luar Negeri H. Agoes
Salim.
Mandat di atas tidak sempat hingga ketangan Sjafruddin.
Tetapi, seusai mengenal bahwa Presiden dan Wakil Presiden tertawan - faktor
yang membikin Sjafruddin kecewa, yang dipantau melewati siaran Radio, akhirnya
Sjafruddin berinisiatif membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Prof. George McTurnan Kahin menulis, dalam sambutan 75 tahun Sjafruddin
Prawiranegara, bahwa yang menjadi pedoman satu-satunya bagi Sjafruddin
membentuk PDRI merupakan amanah samar-samar yang ditinggalkan Hatta kepadanya.
Sedangkan alangkah pentingnya peranan PDRI, guru besar Cornell University yang
menyaksikan jalannya revolusi Indonesia dan telah menulis buku mengenai faktor
itu, menulis: "Sebagai diketahui, Jenderal Sudirman dan tidak sedikit
perwira-perwira lainnya segera mengambil inisiatif militer, tetapi agaknya
tidaklah bakal ada inisiatif politik yang sejajar jikalau bukan peranan yang
dipegang oleh PDRI yang dikepalai oleh Sjafruddin Prawiranegara".
Pembicaraan mengenai pembentukan PDRI dihadiri Menteri
Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara, Komisaris Pemerintahan Pusat untuk
Sumatera Teuku Mohammad Hasan, Residen Sumatera Tengah Sutan Mohammad Rasjid,
Komisaris Negara Urusan Keuangan Lukman Hakim, Koordinator Perhubungan untuk
Sumatera Indratjahja, Kepala Jawatan Pekerjaan Umum Sumatera Mananti Sitompul,
Kolonel Laut M. Nazir, Kolonel Laut Adam, Direktur BNI Abdul Karim, Koordinator
Kementerian Kemakmuran untuk Sumatera Abdul Latif, Kepala Jawatan Koperasi
Pusat Rusli Rahim, Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kolonel Udara H. Sujono,
Idris Batangtaris - Ajudan Ajafruddin, dan lain-lain. Pertemuan diadakan di
Halaban, 15Km sebelah selatan Payakumbuh. Seusai mendengar laporan Residen
Sutan Muhammad Rasjid mengenai keadaan Bukittinggi, yang juga dibombardir
Belanda, dan Sumatera umumnya pusat pembicaraan diarahkan pada pembentukan
PDRI. Setelah kesepakatan didapat, dan menyerahkan diri sepenuh pada Allah SWT,
diumumkanlah berdirinya PDRI pada tanggal 22 Desember 1948, jam 04.30.
Berdirinya PDRI segera disiarkan ke luar negeri dan dijelaskan bahwa Pemerintah
Republik Indonesia tetap ada bersifat Mobil. Susunan Personalia PDRI ketika itu
adalah:
- Mr Sjafruddin Prawiranegara: Ketua merangkap Menteri Pertahanan/Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri a.i
- Mr. Teuku Mohammad Hassan: Wakil Ketua merangkap Mendagri/Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan/Menteri Agama
- Mr. Sutan Mohammad Rasjid: Menteri Keamanan merangkap Menteri Perburuhan, Pembangunan dan Pemuda
- Ir. Mananti Sitompul: Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan
- Mr. Lukman Hakim: Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman
- Ir. Indratjahja: Menteri Perhubungan merangkap Menteri Kemakmuran
- Marjono Danubroto: Sekretaris PDRI.
Kemudian Jenderal Sudirman dikukuhkan sebagai Panglima Besar
Angkatan Perang; Kol. A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa;
Kol. Hidayat sebagai Panglima Teritorial Sumatera; Kol. Laut M. Nazir sebagai
Panglima Angkatan Laut; Kol. Udara H. Sujono sebagai ceo Angkatan Udara dan
Komisaris Besar Umar Said sebagai ceo Kepolisian Negara. Untuk menghadapi
Belanda di Sumatera, PDRI membawa Teungku Daud Beureueh sebagai Gubernur
Militer di Aceh; Dr. F.L. Tobing sebagai Gubernur Militer Sumatera Timur dan
Tapanuli Mr. Sutan Mohammad Rasjid sebagai Gubernur Militer Sumatera Tengah;
R.M. Oetojo sebagai Gubernur Militer Riau dan Dr. A.K. Gani sebagai Gubernur
Militer Jambi dan Sumatera Selatan. Jabatan Wakil Gubernur Militer diserahkan
terhadap pejabat militer setempat. Pemerintahan di Sumatera dibekali pula
dengan membawa Mr. S.M. Amin sebagai Komisaris daerah Sumatera Utara; Mr.
Nasrun untuk Sumatera Tengah dan Drg. M. Isa untuk Sumatera Selatan. Di Jawa,
dibentuk Komisaris Pemerintahan Pusat di Jawa (KPPD), pada 16 Mei 1949. KPD
terdiri atas; Dr. Sukiman sebagai Menteri Dalam Negeri; Mr. Sutanto Tirtoprodjo
menjadi Menteri Kehakiman; I.J Kasimo sebagai Menteri Pemecahan Makanan Rakyat;
K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama dan R.P. Soeroso sebagai Komisaris untuk
Urusan Dalam Negeri. Dengan dibentuknya KPPD ini berarti roda pemerintahan di
seluruh wilayah RI bisa berlangsung sebagaimana seharusnya. KPPD ini
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap ceo PDRI. Setelah dirundingkan lebih
lanjut dan adanya kontak dengan A.A. Maramis yang berada di New Delhi, India,
susunan baru PDRI ditetapkan:
- Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua merangkap Menteri Pertahanan
- Mr. A.A. Maramis: Menteri Luar Negeri
- Mr. Susanto Tirtoprodjo: Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman
- Dr. Sukiman: Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan
- I.J. Kasimo; Menteri Kemakmuran
- Mr. Lukman Hakim: Menteri Keuangan
- H. Masykur: Menteri Agama
- Mr. T.M. Hasan: Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
- Ir. Indratjahja: Menteri Perhubungan
- Ir. Mananti Sitompul: Menteri Pekerjaan Umum
- Mr. Sutan Mohammad Rasjid: Menteri Perburuhan dan Sosial
Kedudukan PDRI tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat,
yaitu berupa radiogram yang dikirim Presiden dan Wakil Presiden, mesikipun
kawat tersebut tidak sempat hingga ketangan PDRI. Sehingga PDRI menggantikan
kedudukan premerintahan Soekarno/Hatta dan legalitasnya mempunyai dasar yang
kuat. Eksistensi PDRI disokong penuh oleh rakyat dan tentara yang bergerilya
melawan Belanda. Sokongan ini terkesan jelas dari kawat yang dikirim para Menteri
dan Ceo Militer di Jawa. Karena keadaan yang kian gawat, ceo PDRI akhirnya
memutuskan untuk segera meninggalkan Halaban. Bersama rombongan, Sjafruddin
meninggalkan Halaban menuju ke arah timur. Lewat Payakumbuh semakin ke Bangkinang,
Riau. Perjalanan diteruskan ke Taluk, lalu ke Sungai Dareh, Hulu Batanghari,
Abai Sangir(Daerah Kerinci) dan akhirnya Bidar Alam.
0 komentar: