Perjanjian Roem Royen
Perjanjian Roem Royen - Resolusi tersebut ditolak Belanda, kemudian, UNCI (United Nations
Commissiom for Indonesia) alias Komisi PBB untuk urusan Indonesia memberikan
ultimatum; Apabila hingga 15 Februari 1949 tak tercapai persetujuan untuk
membentuk pemerintahan federal sementara, mereka bakal mengabarkan faktor itu
pada DK-PBB. Dr. Beel, Wakil Mahkota Kerajaan Belanda di Indonesia, mengajukan
usul baru: memperlekas penyerahan kedaulatan terhadap Pemerintah Federal
Indonesia, mengadakan konferensi meja bundar dan menuturkan Uni Indonesia-Belanda.
Beel mengundang berunding dengan pihak Indonesia, yakni Soekarno-Hatta yang
tetap berada dalam tawanan Belanda.
Tanpa meminta persetujuan alias konsultasi terlebih dahulu
dari pihak PDRI sebagai pemerintahan yang sah, Soekarno-Hatta menunjuk Mr.
Mohammad Roem mewakili pihak Indonesia untuk berunding dengan Belanda. Delegasi
Belanda dipimpin Van Royen. Perundingan Roem-Royen ini berjalan April-Mei 1949.
Sjafruddin dan kawan-kawan merasa sedih atas sikap Soekarno-Hatta tersebut.
PDRI merasa yakin bahwa kedudukannya jauh lebih kuat dibandingkan dengan
pemimpin Indonesia yang sedang ditawan. "Kedudukan PDRI jauh lebih kuat
daripada Soekarno dan Hatta, dengan sendirinya Belanda lebih suka berunding
dengan pihak yang lebih lemah posisinya", demikian dalam buku Sjafruddin
Prawiranegara. Tentang faktor itu, Sutan Mohammad Rasjid, dalam bukunya kurang
lebih PDRI, menulis: "Orang-orang yang berada dalam tawanan tak leluasa
mengeluarkan pendapat. Ditambah dengan perasaan agak lega bakal dibebaskan,
pasti konsesi-konsesi yang mungkin kecil bisa diberikan". Ternyata,
pendapat PDRI senada dengan pernyataan Panglima Besar Sudirman. Sudirman sedih
dan tak puas terhadap perundingan Roem-Royen. Ketidakpuasan itu dinyatakan pada
ketua PDRI melewati kawatnya, tanggal 25 April 1949. Kekecewaan pihak militer
dan PDRI bisa dimengerti. Belanda hanya menguasai kota-kota besar di Jawa dan
Sumatera. Sedangkan daerah-daerah yang lebih luas pada kekuasaan RI, bahkan
Aceh seluruhnya leluasa dari jangkauan Belanda. Persetujuan Roem-Royen hanya
sukses membebaskan Yogyakarta, sedangkan PDRI mengharapkan supaya pemerintah
Belanda kembali pada Perjanjian Lingkarjati. (Beberapa lama kemudian, Hatta
membahas bahwa ia dan Soekarno bersedia menerima tawaran Belanda untuk
berunding sebab pihak luar negeri tergolong DK-PBB, tetap memandang kabinet
Hatta sebagai pemerintahan RI yang sah. Untuk luar biasa kegunaaan itu, Hatta bertindak
sebagai Perdana Menteri yang mengepalai pemerintahan, dan PDRI dianggap sebagai
tahap daripadanya yang mengurus soal sehari-hari kedalam. Sebab itu, para
pemimpin di Bangka yang ditahan menetapkan untuk menolong PDRI berhubungan
dengan Luar Negeri).
Karena PDRI tak lebih setuju atas perundingan Roem-Royen,
Soekarno dan Hatta, sebagai Presiden dan Wakil Presiden dan bertanggung jawab
atas terselenggaranya perundingan tersebut, berusaha memberikan keterangan
langsung pada pihak PDRI. Untuk itu Hatta sendiri berangkat ke Sumatera. Ia
mengira Ceo PDRI berada di Aceh, padahal tidak. Usaha Hatta tersebut mengalami
kegagalan. Hatta hanya berjumpa dengan Panglina TNI untuk seluruh Sumatera
Kolonel Hidayat, pertemuan berjalan pada awal Juni 1949. Dengan kedatangan
Hatta di Aceh itu, pada tanggal 14 Juni 1949, PDRI mengeluarkan pernyataan dan
syarat-syarat untuk bisa menerima persetujuan Roem-Royen:
- Angkatan Bersenjata RI wajib tetap berada dalam posisi-posisi yang sedang mereka duduki
- Tentara Belanda dengan cara bertahap kembali dari kedudukannya
- Pemulihan pemerintahan Republik ke Yogyakarta wajib terjadi tanpa syarat
- Kedaulatan Republik atas Jawa, Sumatera dan Madura wajib diakui oleh Belanda sesuai persetujuan Lingkarjati
- Pembentukan Pemerintahan di Indonesia yang demokratis dan merdeka tak dengan perantaraan Belanda.
(Prof. Kahin menyebutkan empat butir syarat, sedangkan buku
Sjafruddin menuliskan lima butir).
Karena kegagalan tersebut, Presiden Soekarno dan Wakilnya
Mohammad Hatta bermaksud mengirim delegasi untuk menemui ceo PDRI. Maksud
tersebut dikomunikasikan lewat radio. Untuk menghadapi para utusan tersebut,
PDRI mengadakan rapat lengkap di Sungai Naning, pada 1 Juli 1949. Keputusan
rapat itu adalah: Pertama, utusan Soekarno/Hatta yang bakal datang diterima. Kedua,
amanah tak bakal diserahkan begitu saja sebelum bertemu/berunding dengan
Panglima Besar Jenderal Sudirman.
0 komentar: