Serangan Umum 1 Maret 1949
Serangan Umum 1 Maret
1949 ialah serangan yg dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota
Yogyakarta dengan cara besar-besaran yg direncanakan & dipersiapkan oleh
jajaran paling atas militer di wilayah Divisi III/GM III dengan
mengikutsertakan beberapa pucuk ceo pemerintah sipil setempat berdasarkan aba-aba
dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan terhadap dunia internasional
bahwa TNI tetap ada & lumayan kuat, jadi dengan demikian bisa memperkuat
posisi Indonesia dlm perundingan yg sedang berjalan di Dewan Keamanan PBB
dengan maksud mutlak untuk mematahkan moral pasukan Belanda dan membuktikan
pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia [TNI] tetap memiliki
kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan
brigade X/Wehrkreis III turut dan sebagai pelaksana lapangan di wilayah
Yogyakarta. Tidak lebih lebih satu bulan sesudah Penyerangan Militer Belanda II
yg dilancarkan di bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun taktik guna melakukan
pukulan balik terhadap tentara Belanda yg dimulai dengan memutuskan telepon, merusak
jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, dan perbuatan sabotase lainnya. Belanda
terpaksa menggandakan pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yg menghubungkan
kota-kota yg telah diduduki. Faktor ini berarti kekuatan pasukan Belanda
tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yg saat ini merupaken
medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yg telah terpencar-pencar,
mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda. Kurang lebih awal Februari
1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung-yg sejak
September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial & ditugaskan untuk
membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II & III-bertemu
dengan Panglima Besar Sudirman guna mengabarkan tentang resolusi Dewan Keamanan
PBB & penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut & melancarkan
propaganda yg menyebutkan bahwa Republik Indonesia telah tidak ada lagi.
Melewati Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar kabar
tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan
langkah-langkah yg wajib diambil guna meng-counter propaganda Belanda. Hutagalung
yg membentuk jaringan di wilayah Divisi II & III, bisa rutin berhubungan
dengan Panglima Besar Sudirman, & menjadi penghubung antara Panglima Besar
Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto & Panglima Divisi
III, Kol. Bambang Sugeng. Tidak hanya itu, sebagai dokter spesialis paru,
setiap ada kesempatan, ia juga ikut memelihara Panglima Besar Sudirman yg saat
itu menderita penyakit paru-paru. Seusai turun gunung, di bulan September &
Oktober 1949, Hutagalung & keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima
Besar Sudirman di [dahulu] Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.Pemikiran yg
dikembangkan oleh Hutagalung adalah, butuh meyakinkan dunia internasional
khususnya Amerika Serikat & Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia tetap
kuat, ada pemerintahan [Pemerintah Darurat Republik Indonesia -PDRI], ada
organisasi TNI & ada tentaranya. Untuk membuktikan faktor ini, jadi untuk
menembus isolasi, wajib diadakan serangan spektakuler, yg tidak bisa
disembunyikan oleh Belanda, & wajib diketahui oleh UNCI [United Nations
Commission for Indonesia] & wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke
seluruh dunia. Untuk memberi tau terhadap UNCI & para wartawan asing bahwa
Negara Republik Indonesia tetap ada, dibutuhkan pemuda-pemuda berseragam
Tentara Nasional Indonesia, yg bisa berbahasa Inggris, Belanda alias Perancis.
Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut & menginstruksikan
Hutagalung supaya mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan
Panglima Divisi II & III.
Letkol. dr. Hutagalung tetap tinggal kemarin hari guna
menolong memelihara Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di
Gunung Sumbing. Sesuai tugas yg diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dlm
rapat Ceo Paling atas Militer & Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yg
dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yg terletak di lereng
Gunung Sumbing. Tidak hanya Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang
Sugeng, & Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II,
Letkol. Sarbini Martodiharjo, & pucuk ceo pemerintahan sipil, yaitu
Gubernur Sipil, Mr. K. R. M. T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono,
Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking & Bupati
Sangidi. Letkol Wiliater Hutagalung yg pada waktu itu juga sebagai penasihat
Gubernur Militer III memberi tau gagasan yg telah disetujui oleh Panglima Besar
Sudirman, & kemudian dibahas bersama-sama yaitu:
- Serangan dilakukan dengan cara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yg melibatkan Wehrkreise I, II & III,
- Mengerahkan seluruh potensi militer & sipil di bawah Gubernur Militer III,
- Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
- Harus berkoordinasi dengan Divisi II supaya mendapatkan efek lebih besar,
Serangan tersebut wajib diketahui dunia internasional, untuk
itu butuh mendapat dukungan dari: Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna
koordinasi dengan pemancar radio yg dimiliki oleh AURI & Koordinator
Pemerintah Pusat, Unit PEPOLIT [Pendidikan Politik Tentara] Kementerian
Pertahanan Tujuan mutlak dari ini rencana ialah bagaimana menunjukkan
eksistensi TNI & dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik
Indonesia terhadap dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, jadi
anak buah UNCI, wartawan-wartawan asing dan para pengamat militer wajib
menonton perwira-perwira yg berseragam TNI. Seusai dilakukan pembahasan yg
mendalam, grand design yg diajukan oleh Hutagalung disetujui, & khusus
tentang “serangan spektakuler” terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM
III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yg wajib diserang dengan cara
spektakuler ialah Yogyakarta.
Tiga argumen penting yg dikemukakan Bambang Sugeng untuk
memilih Yogyakarta sebagai target mutlak adalah:
- Yogyakarta ialah Ibukota RI, jadi bila bisa direbut meski hanya untuk beberapa jam, bakal berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
- Keberadaan tidak sedikit wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, dan tetap adanya anak buah delegasi UNCI [KTN] dan pengamat militer dari PBB.
- Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III jadi tidak butuh persetujuan Panglima/GM lain & semua pasukan memahami & menguasai situasi/daerah operasi.
Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1
Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk rutin
mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa
serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III bisa dikatakan
telah terlatih dlm menyerang pertahanan tentara Belanda. Tidak hanya itu, sejak
dimulainya perang gerilya, ceo pemerintah sipil dari mulai Gubernur
Wongsonegoro dan para Residen & Bupati, rutin diikutsertakan dlm rapat
& pengambilan keputusan yg penting & kerjasama selagi ini sangat baik.
Oleh sebab itu, bisa dipastikan dukungan khususnya untuk logistik dari seluruh
rakyat. Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana dan siapa saja yg butuh
dilibatkan. Untuk skenario semacam disebut di atas, bakal dicari beberapa
pemuda berbadan tinggi & tegap, yg lancar berbahasa Belanda, Inggris alias
Prancis & bakal dibekali dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu
hingga topi. Mereka telah wajib siap di dlm kota, & pada waktu penyerangan
telah dimulai, mereka wajib masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri
terhadap anggota-anggota UNCI dan wartawan-wartawan asing yg berada di hotel
tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Tahap PEPOLIT Kementerian Pertahanan
yg juga berada di Gunung Sumbing bakal ditugaskan mencari pemuda-pemuda yg
sesuai dengan kriteria yg telah ditentukan, khususnya yg fasih berbahasa
Belanda & Inggris. Hal penting yg kedua adalah, dunia internasional wajib
mengenal adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda,
khususnya terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan kabar ini
ke dunia internasional jadi dibantu oleh Kol. T. B. Simatupang yg bermarkas di
Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan
Udara RI [AURI] di Playen, dekat Wonosari, supaya sesudah serangan dilancarkan
kabar tentang penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera
disiarkan.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan
Perang, TB Simatupang lebih kompeten memberi tau faktor ini terhadap pihak AURI
daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan jika Belanda menonton bahwa
Yogyakarta diserang dengan cara besar-besaran, dipastikan mereka bakal
mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana tersedia
pasukan Belanda yg kuat semacam Magelang, Semarang & Solo. Jarak tempuh
[waktu itu] Magelang-Yogya hanya kurang lebih 3-4 jam saja; Solo-Yogya, kurang
lebih 4-5 jam, & Semarang-Yogya, kurang lebih 6-7 jam. Magelang &
Semarang [bagian Barat] berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, tetapi
Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh
sebab itu, serangan di wilayah Divisi II & III wajib dikoordinasikan dengan
baik jadi bisa dilakukan operasi militer bersama dlm kurun waktu yg ditentukan,
jadi bantuan Belanda dari Solo bisa dihambat, alias paling tidak bisa diperlambat.
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen
Salamun, Bupati Sangidi & Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk
mengkoordinasi persiapan & pasokan perbekalan di wilayah masing-masing.
Pada waktu bergerilya, para pejuang tidak jarang wajib rutin pindah tempat,
jadi sangat tergantung dari bantuan rakyat dlm penyediaan perbekalan. Selagi
perang gerilya, bahkan Camat, Lurah dan Kepala Desa sangat berperan dlm
menyiapkan & memasok perbekalan [makanan & minuman] bagi para
gerilyawan. Ini semua telah diatur & ditetapkan oleh pemerintah militer
setempat. Untuk pertolongan & perawatan medis, diserahkan terhadap PMI.
Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat
Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total-sebagai pelengkap Perintah
Siasat No. 1-yg dikeluarkan oleh Staf Operatif [Stop] tanggal 3 Juni 1948,
butir 8 menyebutkan: Kesehatan khususnya tergantung terhadap Kesehatan Rakyat
& P. M. I. sebab itu pengungsian para dokter & rumah obat mesti menjadi
perhatian.
Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yg juga ialah Ketua PMI
[Palang Merah Indonesia], mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di
front. Beberapa dokter & staf PMI kemudian tidak sedikit yg ditangkap oleh
Belanda & ada juga yg mati tertembak sewaktu bertugas. Seusai rapat
selesai, Komandan Wehrkreise II & para pejabat sipil pulang ke tempat
masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas
masing-masing. Kurir segera dikirim untuk memberi tau keputusan rapat di Gunung
Sumbing pada 18 Februari 1949 terhadap Panglima Besar Sudirman & Komandan
Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto. Sebagaimana telah
digariskan dlm pedoman pengiriman kabar & pemberian perintah, perintah yg
sangat penting & rahasia, wajib disampaikan langsung oleh atasan terhadap
komandan pasukan yg bersangkutan. Jadi rencana penyerangan atas Yogyakarta yg
ada di wilayah Wehrkreise I di bawah ceo Letkol. Suharto, bakal disampaikan
langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim
terhadap Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu
kedatangan Panglima Divisi III dan mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk
segera pergi sore itu juga guna memberi tau grand design terhadap pihak-pihak
yg terkait. Ikut dlm rombongan Panglima Divisi tidak hanya Letkol. dr.
Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen [dokter pribadi Bambang Sugeng], Bambang
Surono [adik Bambang Sugeng], seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr.
Kusen, Letnan Amron Tanjung [ajudan Letkol Hutagalung] & beberapa anak buah
staf Gubernur Militer [GM] dan pengawal.
Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari
PEPOLIT, yg bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, & memberikan
tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi & tegap dan fasih berbahasa
Belanda, Inggris alias Prancis yg bakal diberi pakaian perwira TNI. Menjelang
sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran
mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Tidak hanya anak
buah rombongan Bambang Sugeng, dlm pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo,
yg kemudian menjadi ipar Simatupang. Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk
mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen
& di Wiladek, yg ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat. Seusai
Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera
mengeluarkan aba-aba rahasia yg ditujukan terhadap Komandan Wehrkreise I
Kolonel Bachrun, yg bakal disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini. Brigade IX di
bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap
bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima
Divisi & rombongan meneruskan perjalanan, yg rutin dilakukan pada malam
hari & beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk
jalan juga rutin berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah
Wehrkreise III melewati pegunungan Menoreh untuk memberi tau perintah terhadap
Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir
di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng & tetap pernah berenang
di telaga yg ada di dekat Pengasih [Keterangan dari Bambang Purnomo, adik
kandung alm. Bambang Sugeng, yg saat ini tinggal di Temanggung]. Pertemuan
dengan Letkol. Suharto berjalan di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan bakal
dilakukan di dlm satu gedung sekolah, tetapi sebab kuatir telah dibocorkan,
jadi pertemuan dilakukan di dlm suatu gubug di tengah sawah. Hadir dlm
pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III
Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta
ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto
beserta ajudan. Terhadap Suharto diberikan perintah untuk mengadakan
penyerangan antara tanggal 25 Februari & 1 Maret 1949. Kepastian tanggal
baru bisa ditentukan kemudian, sesudah koordinasi dan kesiapan semua pihak
terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan. Setelah
semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan [keputusan diambil tanggal 24
alias 25 Februari], bahwa serangan tersebut bakal dilancarkan tanggal 1 Maret
1949, pukul 06. 00 pagi. Aba-aba segera diteruskan ke semua pihak yg terkait. Puncak serangan dilakukan dengan serangan
umum terhadap kota Yogyakarta [ibu kota negara] pada tanggal 1 Maret 1949,
dibawah ceo Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III,
sesudah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan dengan cara
besar-besaran yg serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III
dimulai, dengan fokus serangan ialah Ibukota Republik, Yogyakarta, dan
koar-besaran oleh pasukan Brigade X yg diperkuat dengan satu Batalyon dari
Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang &
penghadangan di jalur [[Magelta-kota di kurang lebih Yogyakarta, khususnya
Magelang, sesuai Aba-aba Rahasia yg dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III
Kolonel Bambang Sugeng terhadap Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun &
Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yg bersamaan, serangan juga
dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan ialah kota Solo,
guna mengikat tentara Belanda dlm pertempuran supaya tidak bisa mengirimkan
bantuan ke Yogyakarta. Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari
menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota & dlm
jumlah kecil mulai disusupkan ke dlm kota. Pagi hari kurang lebih pukul 06. 00,
sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota.
Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor
barat hingga ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor
selatan & timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno.
Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono & Letnan
Masduki sebagai pimpinan. TNI sukses menduduki kota Yogyakarta selagi 6 jam.
Cocok pukul 12. 00 siang, sebagaimana yg telah ditentukan semula,seluruh
pasukkan TNI mundur. Serangan terhadap kota Solo yg juga dilakukan dengan cara
besar-besaran, bisa menahan Belanda di Solo jadi tidak bisa mengirim bantuan
dari Solo ke Yogyakarta, yg sedang diserang dengan cara besar-besaran
-Yogyakarta yg dilakukan oleh Brigade IX, hanya bisa memperlambat gerak pasukan
bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang bisa
menerobos hadangan gerilyawan Republik, & hingga di Yogyakarta kurang lebih
pukul 11. 00. Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan dengan cara
besar-besaran yg serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III
dimulai, dengan fokus serangan ialah Ibukota Republik, Yogyakarta, dan
koar-besaran oleh pasukan Brigade X yg diperkuat dengan satu Batalyon dari
Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang &
penghadangan di jalur [[Magelta-kota di kurang lebih Yogyakarta, khususnya
Magelang, sesuai Aba-aba Rahasia yg dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III
Kolonel Bambang Sugeng terhadap Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun &
Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yg bersamaan, serangan juga
dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan ialah kota Solo,
guna mengikat tentara Belanda dlm pertempuran supaya tidak bisa mengirimkan
bantuan ke Yogyakarta. Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari
menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota & dlm
jumlah kecil mulai disusupkan ke dlm kota. Pagi hari kurang lebih pukul 06. 00,
sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota.
Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor
barat hingga ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor
selatan & timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno.
Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono & Letnan
Masduki sebagai pimpinan. TNI sukses menduduki kota Yogyakarta selagi 6 jam.
Cocok pukul 12. 00 siang, sebagaimana yg telah ditentukan semula,seluruh
pasukkan TNI mundur
Serangan terhadap kota Solo yg juga dilakukan dengan cara
besar-besaran, bisa menahan Belanda di Solo jadi tidak bisa mengirim bantuan
dari Solo ke Yogyakarta, yg sedang diserang dengan cara besar-besaran
-Yogyakarta yg dilakukan oleh Brigade IX, hanya bisa memperlambat gerak pasukan
bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang bisa
menerobos hadangan gerilyawan Republik, & hingga di Yogyakarta kurang lebih
pukul 11. 00. Mr. Alexander Andries Maramis, yg berkedudukan di New Delhi
menggambarkan alangkah gembiranya mereka mendengar siaran radio yg ditangkap
dari Burma, tentang serangan besar-besaran Tentara Nasional Republik Indonesia
terhadap Belanda. Kabar tersebut menjadi Headlines di beberapa media cetak yg
terbit di India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis terhadap dr. W.
Hutagalung, ketika berjumpa di tahun 50-an di Pulo Mas, Jakarta. Serangan Umum
1 Maret sanggup menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia, mempermalukan
Belanda yg telah mengklaim bahwa RI telah lemah. Tidak lama sesudah Serangan
Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yg menjadi salah satu keberhasilan
pejuang RI yg paling gemilang sebab membuktikan terhadap Belanda, bahwa gerilya
bukan saja sanggup melakukan penyergapan alias sabotase, tetapi juga sanggup
melakukan serangan dengan cara frontal ke tengah kota Solo yg dipertahankan
dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat-artileri, pasukan infantri &
komando yg tangguh. Serangan umum Solo inilah yg menyegel hidup Hindia Belanda
untuk selamanya.
0 komentar: