SEJARAH SITUS KARANGANYAR DI TAMAN WISATA DAN BUDAYA KERAJAAN SRIWIJAYA PALEMBANG



2.3 Situs Karanganyar di Kompleks Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS)
2.3.1 Pengertian Situs
            Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang dperlukan bagi pengamanannya (Undang-Undang Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992  pasal 1, ayat 2 dalam Tim Balai Arkeologi Nasional, 1993:67). Sedangkan pengertian situs menurut Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010 yaitu lokasi yang berada di darat dan atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Jadi dapat disimpulkan bahwa situs merupakan lokasi yang berada di darat dan atau di air yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang dperlukan bagi pengamanannya.
Sebidang tanah baru dikatakan sebagai situs jika di tempat ditemukan atau diduga mengandung peninggalan benda cagar budaya sebagai sisa kegiatan manusia masa lampau, baik tampak di permukaan maupun yang masih tersimpan di dalam tanah, atau di bawah air. Biasanya peninggalan tersebut tidak bersifat monoaspek melainkan multiaspek, yaitu merupakan kumpulan dari hasil kegiatan bersifat teknologis, ideologis, atau sosiologis. Lamanya suatu situs pemukiman juga bervariasi, mulai dari yang singkat sampai lama. Demikian pula luas wilayahnya, tergantung dari banyaknya penduduk yang pernah tinggal menetap di situs tersebut dan ruang kegiatan mereka (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, 1993:67).
            Selain itu di dalam arkeologi juga dikenal pembagian situs menjadi beberapa jenis menutrut fungsi, ukuran, dan lokasinya. Suatu situs dapat mewakili hanya satu jenis dari pembagian tersebut, atau dapat pula merupakan gabungan pengertian dari beberapa jenis situs sekaligus.

2.3.2. Pengertian Peninggalan Purbakala
            Dalam ilmu arkeologi, peninggalan purbakala dapat digolongkan ke dalam dua pembagian yaitu:
1.    Peninggalan berupa benda bergerak;
2.    Peninggalan berupa benda tidak bergerak.
Peninggalan benda bergerak adalah semua benda hasil karya atau yang memiliki kaitan dengan aktivitas manuasi masa lalu yang dapat dipindahkan. Termasuk kedalam golongan ini adalah semua artefak dan ekofak. Sedangkan peninggalan benda tak bergerak adalah semua benda hasil karya manusia atau memiliki kaitan dengan kegiatan manusia masa lalu yang tidak dapat dipindahkan, contohnya fitur (parit, kolam, struktur bangunan atau sisa struktur bangunan) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993:68).

2.3.3 Sejarah Riwayat Situs Karanganyar
Sriwijaya adalah salah satu kerajaan maritim di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti “bercahaya dan wijaya berarti “kemenangan”. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7 M dari seorang pendeta Tiongkok I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 M dan tinggal selama 6 bulan. Berdasarkan catatan I-Tsing bahwa Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan negara maritim yang kuat di Asia Tenggara. Negara ini mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatera.
Kerajaan Sriwijaya terdiri atas tiga zona utama yaitu daerah ibukota dan muara yang berpusatkan Palembang. Lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara yang mampu menjadi pusat kekuasaan. Wilayah hulu Sungai Musi kaya berbagai hasil bumi, oleh karena itu menjadi komoditi dagang bagi para pedagang Tiongkok. Daerah ibukota diperintah secara  langsung oleh penguasa, daerah pendukung diperintah oleh datu setempat.
Dari Prasasti Kedukan Bukit diketahui bahwa pada tahun 682 penguasa Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang Jayanasa menaklukkan Kerajaan Minanga. Penguasaan atas Malaya yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 682 dan ditemukan di Pulau Bangka. Pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, Pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menaklukkan Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya. Di abad ke-9, wilayah kemaharajaan Sriwijaya semakin meluas yaitu sampai Sri Lanka, Semenanjung Malaya, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan dan Filiphina (Siregar, 2010:12).
Pada tahun 19113 M, Kern telah menerbitkan hasil penemuannya yaitu Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di pulau Bangka. Pada saat itu, Kern menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti tersebut sebagai nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja (Rapanie, Ahmad, dkk, 2010:1).
Sarjana Perancis George Coedes pada tahun 1918 M, mempubikasikan penemuan nama Sriwijaya pada tahun 1918 yaitu dlaam kamus berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedes menyatakan bahwa Sriwijaya merupakan nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa letak ibu kota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts’i adalah palembang yang terletak di Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang.
Munculnya Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan, telah mengalihkan perhatian para ahli sejarah kuno Indonesia dari sejarah kerajaan Mataram. Berbagai penelitian telah dilakukan, namun hasilnya kurang memuaskan karena banyak hal-hal yang belum dapat diungkapkan secara tuntas. Salah satu sebabnya ialah sumber searah yang ada ternyata tidak cukup untuk dapat merokstruksikan sejarah Sriwijaya dari awal hingga akhirnya (Poesponegoro, MD dan Nugroho Notosusanto, 1993:53).
Ketidakpuasan para peneliti terhadap hasil yang  diperoleh dalam kaitannya dengan keberadaan Sriwijaya, dilanjutkan dengan upaya menemukan bukti akan lokasi dari pusat Kerajaan Sriwijaya. Sampai disini pembicaraan cenderung diarahkan ke istana, keraton, tempat yang dianggap sebagai pusat segala kekuatan magis dan juga tempat pemerintahan kerajaan. Maka dilakukan beberbagai penelitian terhadap situs-situs yang diduga merupakan sisa sebuah hunian serta lokasi dari institusi pemerintahan Kerajaan Sriwijaya (Koestoro, Lucas Partanda dan Rudi Asri, 1993: 5).
Prof Dr. Sutikno (2008:10) menyatakan bahwa penelitian arkeologis yang instensif di Palembang sejak tahun 1970-an sampai 1990-an oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arekologi Nasional dan Balai Arkeologi Palembang, telah memperkuat bukti bahwa Palembang pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya. Bukti-bukti adanya pemukiman manusia  dari masa Kerajaan Sriwijaya ditandai dengan ditemukannya sejumlah tinggalan  arkeologi, berupa struktur bangunan bata, sisa bangunan kayu, kolam-kolam dan kanal-kanal, serta pulau buatan pada sejumlah situs di Palembang.
Pada tahun 1984 sebuah tim kecil dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan survei dan menemukan situs Karanganyar yang berada di sebelah selatan Bukit Siguntang di wilayah Kelurahan Karanganyar dan Kelurahan 36 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II (Kecamatan Gandus). Temuan ini ditemukan berdasarkan petinjuk dari foto udara yang dibuat pada tahun 1973 dan 1974 (Budi Utomo, Bambang, dkk, 2011:77).  Situs Karanganyar semula pemukiman penduduk, meliputi lahan yang cukup luas, kira-kira 20 ha (Hardiati, 1994:2). Situs yang dimaksud merupakan kompleks bangunan air berupa kanal dan kolam buatan dengan pulau di bagian tengahnya yaitu pulau Nangka dan pulau Cempaka. Lokasinya yang menempati areal sebelah utara meander sungai Musi. Situs Karanganyar terletak di dataran di alluvial bertanah lunak akibat proses pengendapan lumpur sungai Musi yang terjadi berabad-abad lamanya. Berada pada sebuah kelokan (meander) di utara sungai Musi, tepat di mulut sungai Keramasan. Keadaan permukaan tanah situs datar dan berawa-rawa. Umumnya memiliki ketinggian kurang dari 2 meter di atas permukaan air sungai.
Situs ini berupa bangunan air yang terdiri dari kolam dan parit-parit buatan. Bangunan tersebut memotong areal situs sehingga beberapa daratan yang dikelilingi oleh parit terlihat seperti sebuah pulau.Parit-parit yang berada di kanan-kiri Pulau Nangka merupakan penghubung Sungai. Parit-parit yang ditemukan di daerah karanganyar seluruhnya berjumlah 7 buah. Parit yang terpanjang disebut Parit Suak Bujang membentang dan membelah meander sebelah uatara Sungai Musi sepanjang 3.300 meter dengan lebar sekitar 40 meter. Dari 7 buah parit ini, 4 buah diantaranya bermuara di Sungai Musi, terdiri dari 2 buah di sebelah timur meander, sebuah di sebelah selatan meander, dan sebuah di sebelah barat meander Sungai Musi (Tim Balai Arkeologi Palembang, 1994:20).
            Serangkaian kanal, pulau dan bagian lainnya memperkenalkan Karanganyar sebagai sebuah karya aristektur masa lampau yang berkaitan dengan bangunan air. Bangunan air berupa kolam, pulau dan kanal tersebut keberadaannya merupakan bukti hunian manusia pada masa lalu. Kolam-kolam di situs Karanganyar berjumlah 3 (tiga); 2 (dua) berdenah bujur sangkar dan 1 (satu) berdenah persegi panjang.  Keberadaan kolam dan kanal tersebut diduga berfungsi sebagai waduk atau penampungan air untuk mengendalikan pasang-surut sungai Musi. Bangunan air ini adalah hasil teknologi bangunan basah yang mencerminkan kemampuan Sriwijaya beradaptasi dengan lingkungannya. Diduga kanal-kanal adalah hasil buatan manusia (Sutikno, 2008:12). Kondisi ini sesuai dengan isi Prasasti Talang Tuo yang menyatakan bahwa Sriwijaya membuat taman yang dilengkapi dengan bendungan dan kolam-kolam.  
Situs Karanganyar secara administratif terletak di kelurahan Karanganyar, Kecamatan Gandus, Palembang. Terletak pada dataran alluvial bertanah lunak akibat proses pengendapan dengan pertemuan Sungai Musi, Ogan dan Kramasan. Belahan utara Sungai Musi sudah sejak lama diketahui sebagai lokasi sejumlah situs arkeologi yang berasal dar abad ke 7 sampai dengan 15 M, diantaranya situs Kambang Unglen, Padanagkapas, Ladangsirap dan Bukit Siguntang yang letaknya berdekatan dengan situs Karanganyar. Keempat situs ini diduga sezaman dengan situs Karanganyar, dan dihubungkan dengan kehadiran Kerajaan Sriwijaya di Palembang ( Rapanie, Ahmad dkk, 2010:12).  

2.3.4        Peninggalan Purbakala Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada Situs Karanganyar
Peninggalan purbakala di situs Karanganyar dibedakan atas peninggalan berupa fitur (feature) dan peniggalan berupa artefak (artefact). Kolam, parit dan struktur bata adalah peninggalan berupa fitur, sedangkan pecahan keramik, manik-manik, tembikar, cetakan stupika, uang logam dan pecahan kaca kuno yang termasuk artefak. Di antara peninggalan ini yang paling penting tentunya adalah bangunan-bangunan air berupa kolam, pulau dan parit karena keberadaannya  merupakan bukti dari kehadiran manusia yang menetap secara permanen dalam jangka waktu cukup lama dan bukan sekedar tempat persinggahan. Di daerah inilah nenek moyang kita diduga melakukan kegiatan mereka ratusan tahun berselang. Sisa-sisa kegiatan berupa kolam (pulau), parit, struktur bata, pecahan keramik atau benda purbakala lain dijadikan pedoman dalam penentuan besaran situs.
Diperkirakan pula penduduk Karanganyar kuno menggali saluran-saluran atau parit yang sekarang masih dapat dijumpai berupa sungai kecil yang mengalami pndangkalan, seperti parit Suak Bujang di sebelah utara situs Karanganyar. Selain berfungsi sebagai penangkal banjir, saluran-saluran ini juga berfungsi sebagai alur transportasi yang menghubungkan sungai Musi dengan daerah-daerah pendalaman di sekitar situs (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993:43).
Sedangkan kolam-kolam di situs Karanganyar berjumlah 3 (tiga); 2 (dua) berdenah bujur sangkar dan 1 (satu) berdenah persegi panjangKolam terbesar (subsitus Karanganyar I) berdenah empat persegi panjang membujur arah utara-selatan dengan ukuran 623  x 325 meter. Di tengah kolam terdapat 2 pulau yang berbeda ukuran dan bentuknya. Pulau pertama dikenal dengan nama Pulau Cempaka (Pulau I),  kedua dikenal dengan nama Pulau Nangka (Pulau II) terletak di sebelah selatan Pulau Cempaka berjarak sekitar 25 meter, berdenah empat persegi panjang membujur arah utara-selatan dengan ukuran 465 x 325 meter, Pulau Cempaka dikelilingi oleh kolam besar berukuran 145 x 300 mter, sedangkan Pulau Nangka dikelilingi oleh parit-parit berukuran 15 x 1190 meter.
            Kolam berikutnya yang lebih kecil (subsitus Karangnyar III), berada di sebelah timur subsitus Karanganyar I. Berdenah bujursangkar dengan ukuran 60 x 60 meter. Di tengah kolam terdapat sebuah pulau (Pulau III) yang berukuran 40 x 40 meter. Sedangkan kolam yang terkecil (subsitus Karanganyar II), terletak di sebelah barat daya subsitus Karanganyar I. Denahnya bujursangkar dengan ukuran 40 x 40 meter. Di bagian tengah kolam juga terdapat sebuah pulau (Pulau IV) yang belum diketahui ukurannya (Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, 1993:5).

2.3.5 Riwayat Pembangunan Kompleks Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS)
          Peninggalan purbakala pada subsitus Karangananyar 1 berupa bangunan air yang dibuat tanpa perkuatan tambahan (struktur bata). Berdasarkan tingkat kelengkapan dan kondisi teknis maupun keterawatan, maka cara penanganannya adalah sebagai berikut.
1.    Pemagaran  situs
Jenis penanganan ini difokuskan pada hal-hal yang bersifat pengamanan situs. Sasaran utamanya adalah pemagaran seluruh areal subsitus Karanganyar  1 khsusunya pada daerah yang sudah dibebaskan.
2.    Pembersihan situs
Jenis penanganan ini dimaksudkan untuk membersihkan kawasan situs yang meliputi subsitus Karanganyar 1 yang terdiri dari pulau, parit, dan kolam dari berbagai tanaman liar maupun gulma, sehingga masing-masing bangunan dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Pembersihan dilakukan secara mekanis dengan hati-hati mengingat pentingnya peninggalan purbakala tersebut.
3.    Pengerukan parit/ kolam
Jenis penanganan ini dimaksudkan untuk mengembalikan kedalaman parit dan kolam agar dapat difungsikan sebagai mestinya. Pelaksanaannya dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kemungkinan adanya temuan-temuan arekologi (Tim Balai Arkeologi Nasional, 1993:70-71).
Langkah selanjutnya yang ditempuh dalam usaha pelestarian situs  Karanganyar tinggalan Sriwijaya tersebut adalah pembangunan taman purbakala, yaitu sebuah taman yang dibuat pada situs arkeologi karena nilai penting kepurbakalaannya perlu dilestarikan dan dimanfaatkan bagi kepentingan umum.
            Ciri khusus yang dimiliki oleh situs Karanganyar berupa pemukiman dengan sistem jaringan air buatan, telah menimbulkan suatu gagasan yang kemudian dicoba untuk direalisasikan. Gagasan dilontarkan sendiri oleh Gubernur Sumatera Selatan di depan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  serta Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi pada bulan Juni 1990, adalah mengenai pelestarian dan pemanfaatan situs Karanganyar untuk kepentingan wisata budaya mengingat kondisi keterawatannya relatif masih baik. Pemda bermaksud membangun sebuah Taman Purbakala di situs ini dengan memanfaatkan sistem drainase yang ada seoptimal mungkin. Artinya areal situs harus dibebaskan dari pemukiman serta kolam dan parit atau kanal dibersihkan dari segala jenis tanaman, baik tanaman liar maupun budidaya (Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, 1993:7).
            Rencana Pemda itu sendiri didasarkan atas hasil penelitian mengenai kerajaan Sriwijaya melalui data tertulis, yang menyebutkan pembangunan sebuah taman bernama Sriksetra (Prasasti Talang Tuo tahun 606 Saka/ 684 Masehi). Taman Sriksetra ini dilengkapi dengan bendungan-bendungan dan kolam. Para ahli menduga bahwa Taman Sriksetra yang dimaksud dalam prasasti Talang Tuo adalah situs Karanganyar, karena keterangannya sama dengan ciri yang dimiliki situs Karanganyar. Namun tidak berarti bahwa taman yang dibangun Pemda merupakan rekonstruksi dari data pertamanan masa Sriwijaya, melainkan taman baru yang dibuat pada situs arkeologi.
Oleh karena ditempatkan pada situs arkeologi itulah, maka terhadap situs ini diberlakukan prinsip preservasi dan konservasi arkeologi. Dengan demikian, taman ini merupakan bidang lahan atau objek yang harus dilindungi, dijaga kerusakan, dilestarikan dan dimanfaatkan sesuai dengan Undang-Undang Benda Cagar Budaya. Semua temuan arkeologi yang berada di situs tersebut, baik yang berupa artefak, ekofak maupun fitur atau struktur bangunan harus diselamatkan. Upaya penyelamatan juga harus diberlakukan terhadap setiap bidang lahan yang berada di lingkungan situs atau yang merupakan bagian dari situs, meskipun di dalamnya belum ditemukan benda-benda arkeologi. Situs semacam ini merupakan daerah aktivitas manusia pada masa lalu dalam melakukan berbagai kegiatan tnpa meninggalkan sisa peninggalan purbakala yang konkrit (Departemen Pendidikan Nasional, 1993:68).
Dalam buku Rencana Induk (1993:70-71),  disebutkan bahwa areal yang akan dijadikan Taman Purbakala adalah subsitus Karanganyar I. Mulanya areal ini banyak dimanfaatkan oleh penduduk untuk kegiatan cocok tanam di musim kemarau. Tidak hanya di lokasi kedua pulau (Cempaka dan Nangka) tetapi juga di kolam yang mengelilingi Cempaka. Namun saat ini  areal yang masih dimanfaatkan oleh penduduk untuk kegiatan tersebut hanyalah di bagian utara kolam, sedangkan daerah hunian dijumpai disekelilingi subsitus Karanganyar.
 Dipilihnya situs Karanganyar sebagai lokasi taman dengan alasan merupakan bagunan yang “monumental” dan mencirikan kota Sriwijaya sebagai kota dengan pemukiman lahan basah. Oleh karena itu pembangunannya didasarkan atas konsep-konsep pelestarian dan pemanfaatan tinggalan purbakala. Konsep pemanfaatan tinggalan purbakala dimaksudkan untuk mengapresiasi nilai-nilai budaya, memperkuat kepribadan bangsa, mempertebal harga diri dan kebangsaan nasional, menampilkan dan menyajikan informasi selengkap-lengkapnya, misalnya dalam bentuk pameran di suatu museum yang menyimpan serta memamerkan artefak, replika, foto, peta maupun koleksi etnografi (Hardiati, 1994:3).
Taman ini diresmikan pada tanggal 22 Desember 1994 oleh Presiden Soeharto dengan nama Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, lengkap dengan Museum khusus sebagai pusat kajian Sriwijaya. Museum khusus ini pada tahun 2008 dilakukan renoasi dan diresmikan lagi oleh Prof. Dr. Mahyudin Sp. Og. Wakil Gubernur Sumatera Selatan dengan nama Museum Sriwijaya.  
Pada tahap pembangunan sudah didirikan 3 gedung utama di lingkungan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya ini, yaitu: Gedung Museum untuk menyimpan koleksi arkeologi, pendopo untuk keperluan temporer, dan gedung prasasti yang menyimpan replika prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Peresmian Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya serta jembatan yang menghubungkan kedua pulau dan sarana jalan bagi pengunjung. Selain itu, di Pulau Cempaka terdapat display yang berupa struktur bata hasil eksvasi. Dalam rencana pengembangan taman  dan seluruh kanal-kanal yang ada di Situs Karanganyar akan dihidupkan kembali, sehingga dapat dilayari sampai Sungai Musi. Tanaman yang dijumpai di pulau ini berupa tanaman hias seperti pinang, bougenville, teh-tehan, pangkasa kuning dan krokot merah, serta beberapa tanaman keras milik penduduk yang masih menghuni areal di sekitarnya

2.3.6        Museum Sriwijaya
Salah satu bangunan utama yang terdapat di dalam Situs Karanganyar Komplek Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya adalah Museum Sriwijaya yang merupakan museum khusus karena hanya mengangkat satu tema yaitu Sriwijaya. Koleksi-koleksi yang dipamerkan diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu Arkeologika dan Keramologika, disajikan secara kronologis yaitu pra Sriwijaya, Sriwijaya dan Pasca Sriwijaya. Dalam penataan masa Sriwijaya dikelompokkan menjadi lima untuk memudahkan pengunjung memahami tinggalan Sriwijaya yaitu prasasti-prasasti penanda Sriwijaya; maritim Sriwijaya; keagamaan Sriwijaya, arsitektur Candi Bumiayu, dan perdagangan masa Sriwijaya (Wawancara dengan Ibu Cahyo Sulistyaningsih pada tanggal 18 Maret 2013).

2.3.6.1       Prasasti-prasasti Penanda Sriwijaya
Ada sembilan buah prasasti besar dan sepuluh prasasti siddhayatra yang dipamerkan. Tiga buah diantaranya merupakan pembuktian bahwa Kerajaan Sriwijaya berada di Palembang yaitu Prasasti Kedukan Bukit yang menjadi tonggak berdirinya Kerajaan Srwijaya, Prasasti  Talang Tuo dan Telaga Batu. Selain itu terdapat pula Prasasti Bukit Siguntang, Prasasti Bungkuk, Prasasti Boom Baru, Prasasti Palas Pasenah, Prasasti Pendek “Siddhayatra”, Prasasti di atas lempengan emas (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan, 2011:10).

2.3.6.2       Maritim Sriwijaya
Bukti kuat Sriwijaya sebagai kerajaan bahari adanya temuan runtuhan perahau yang berasal dari sekitar abad ke-6-7 M, yaitu di Situs Kolam Pinisi, Samirejo, Tulung Selapan, Karang Agung, Kota Kapur serta temuan kemudi kapal di Sungai Buah, Palembang yang panjangnya mencapai 8,2 meter.

2.3.6.3       Keagamaan Sriwijaya
Sriwijaya pada masa lalu menjadi tempat belajarnya para bhiksu sebelum melanjutkan ke Nalanda (India). I-tsing  datang ke Sriwijaya pada abad ke 7 dan bercerita bahwa di Sriwijaya tinggal lebih dari 1000 bhiksu, dan juga bhiksu ternama seperti Sakyakirti. Pengaruh Sriwijaya dalam bidang agama Buddha ini tampak dari penyebaran gaya seni pada arca-arca gaya Sailendra yang berkembang pada abad ke 8 – 9 Masehi. Sriwijaya sebagai sebuah kota yang bernuansa Buddhis maka banyak ditemukan tinggalan berupa arca Buddha, Bodhisattwa dan perlengkapan para penziarah seperti stupika, tablet dan manik-manik.

2.3.6.4      Aristektur Candi Bumi Ayu
Sebagian besar tinggalan Sriwijaya bersifat agama Buddha, namun juga terdapat situs yang memiliki latar keagamaan Hindu. Situs percandian Bumiayu merupakan situs tinggalan Sriwijaya yang bersifat Hindu, dan  mempunyai luas sekitar 15 ha terdiri dari 11 gundukan tanah. Beberapa diantaranya telah dibuka dan berhasil ditampakkan bangunan yang dibuat dari bata. Di antara reruntuhan bangunan candi 1 ditemukan beberapa arca seperti Agastya, Siwa Mahaguru, dewa, dan arca Stambha yang merupakan angka tahun sangkala memet (tahun yang digambarkan dalam bentuk arca). Sementara itu diantara reruntuhan Candi 3 ditemukan arca-arca  dari bahan tanah liat yang menggambarkan raksasa dan bhairawi.

2.3.6.5      Perdagangan Masa Sriwijaya
Dalam Chau Ju-kua disebutkan tentang perdagangan di Srwijaya: “Pedagang-pedagang asing yang berkumpul di negara ini menukarkan barang lokal dengan emas, perak, porselen (keramik), sutra...” Jalur sutera pada abad ke-10 Masehi merupakan jalur yang sangat penting untuk hubungan timbal balik, baik dalam segi perdagangan, kebudayaan, agama, maupun ilmu pengetahuan. 
   Adapun beberapa koleksi yang dipamerkan yang berkaitan dengan perdagangan masa Sriwijaya yaitu Mata Uang dari Dinasti Song sampai Dinasti Ming, keramik, gerabah dan manik-manik (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan, 2011:8-9).
Selain koleksi-koleksi yang telah diuraikan di atas terdapat pula beberapa koleksi yang  pernah dipamerkan dalam pameran temporer Ragam Seni dan Budaya Tinggalan Sriwijaya yang diselenggarakan pada tanggal 30 Oktober sampai dengan 5 November 2012, antara lain yaitu Seni Lakuer (tepak atau pekinangan, guci, piring, tunjung, tenong kecil, wadah perhiasan, dan labu), Keramik (piring, piring kecil, piring kilin, mangkok motif pemandangan, mangkok motif simbol), Songket (songket Nago  Besaung, songket Bungo Cino, Songket Bungo Pacik,), Tembikar Kayu Agung (tungku kran, tungku anglo, guci, pasu, dan kuali kuping), Gaya Seni Arca (Arca Buddha Bukit Siguntang dan Arca Buddha Awalokiteswara), Arsitektur Tradisional (foto Rumah Limas dan foto Rumah Rakit), dan Seni Arsitektur Candi (bata berhias flora, panel berhias sulur, dan antefik sudut) (Sulistyaningsih, Cahyo dan Heritantion, 2012:13-20). Dari sekian koleksi-koleksi pameran tersebut hanya koleksi songket yang dipindahkan ke museum lainnya, sedangkan koleksi lainnya masih tersimpan di Museum Sriwijaya hingga saat ini.

 

0 komentar: