PENGKLAIMAN BERBAGAI DAERAH TERHADAP PUSAT KERAJAAAN SRIWIJAYA
Di manakah pusat Kerajaan Sriwijaya ? Pertanyaan ini terus
menghantui setiap kajian tentang Sriwijaya. Masalahnya, kerajaan maririm di
Sumatera itu memang tidak meniggalkan istana atau keraton yang fisiknya masih
bisa dilihat hingga sekarang. Padahal, istana atau keraton menjadi rujukan
penting untuk menentukan pusat pemerintahan kerajaan yang telah tiada.
Masalah lain,
bukti-bukti lain tertulis tentang Sriwijaya masih langka dan terbatas, bahkan
sebagian besar manuskrip justru terdapat di luar negeri. Penggalian dan kajian
ilmiah yang ada belum bisa mengungkap semua fakta kerajaan itu.
Setelah Sriwijaya
jatuh kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan
kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh
sejarawann Perancis George Coedes dari Ecole Fraincaise d’Extreme-Orient.
Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yved Manguin membuktikan bahwa pusat
kerajaan Sriwijaya berada di Sungai Musi dan Bukit.
Ada
beberapa wilayah yang sering duklaim sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, antara
lain Kota Palembang, Jambi, Lampung, Riau, dan Thaland bahkan Malaysia.
Masing-masing temapat didukung adanya temuan arkeologis yang berkaitan dengan
Sriwijaya, baik berupa candi, prasaati, atau sisa struktur bangunan lama.
Sebagian besar
peneliti berpendapat , pusat Kerajaan Sriwijaya diduga kuat berada di Kota Palembang,
Sumatera Selatan. Dugaan tersebut didukung banyak prasasti dan situs Sriwijaya
yang ditemukan di sekitar Palembang.
Prasasti-parasti tersebut, antara lain prasasti Boom Baru (sekitar abad ke-7M),
Kedukan Bukit (682M), Talang Tuo (684M), Telaga Batu (sekitar abad ke-7M), dan
Prasati Pendek di Bukit Siguntang (abad ke-7M). Prasasti-prasasti tersebut
menceritakn keberadaan Sriwijaya dan kutukan bagi para pembangkang.
Pada abad ke-10
sampai ke-13 Masehi, Kerajaan Sriwijaya makin berkembang, dan pusat
pemerintahan berpindah ke daerah Jambi, Riau, atau Thailand. Perpindahan dipengaruhi
oleh kebudayaan maritim di tepian sungai, yang cenderung tidak menetap di satu
tempat dalam waktu lama. Asumsi ini diperkuat penanggalan pada sejumlah
peninggalan arkeologos di daerah-daerah tersebut, yang merujuk waktu pendirian
sekitar abad ke-10 samapi abad ke-13 Masehi.
Ketua Dewan
Kesenian Sumsel Djuhan Hanafiah menilai, palembang
sangat mungkin menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya karena posisinya sebagai
pertemuan dari beberapa sungai cukup strategis. “ Sriwijya itu Kerajaan maritim
yang cocok berkembang di Palembang
yang berbudaya tepian sungai (riverne culture). Segala aktivitas berpusat di
pelabuahn, sedangkan penduduk tinggal di rumah-rumah rakit dengan transportasi
utamanya perahu,” ungkapnya.
Masih banyak
peneliti yang meragukan kemingkinan pusat Sriwijaya di Palembang, sekaligus
menunjuk daerah Jambi, Riau, Malaysia, atau Tahiland sebagai pusatnya. Dugaan
itu terus berkembang karena adanya beberapa peninggalan di derah tersebut
Suaka Peninggalan
Sejarah dan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, dan bengkulu mencatat,
setidak-tidaknya terdapat 70 peniggalan di Situs Purbakal Muaro Jambi di tepian
Sungai Batanghari. Dari 70 peningglan itu, delapan candi dan satu kolam yang
telah digali dan direnovasi, yatu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi
Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar Batu,
Candi Astano, Kolam Tealgorajo.
Di Lampung,
ditemukan prasasti Palas Pasem,ah dan Prasasti Bungkuk ( Jabung) yang juga
menerangkan keberadaannya Sriwijaya. Thailand pun diklaim sebagai pust
Sriwijaya karena disana terdapat candi yang diduga dibangun salah satu raja
Sriwijaya, prasasti Ligor, dan pemukiman lama sezaman dengan Sriwijaya, yang
terletak di beberapa lokasi.
Dengan banyaknya ditemukan berbagai
peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya di beberapa daerah yang dianggap strategis
dan potensial, membuktikan bahwa para
raja yang memerintah di Kerajaan Sriwijaya sering melakukan persinggahan atau
perjalanan ke berbagai daerah lain guna mengadakan hubungan kerjasama serta
mengadakan ekspansi dengan pihak kerajaan setempat. dan dalam waktu yang
relatif lama (tidak singkat). Dalam persinggahan dari satu daerah ke daerah
lain itulah para raja Sriwijaya tersebut membuat bangunan atau prasasti sebagai
simbolis kedatangannya ke daerah tersebut.
Untuk hubungan
ekspansi tersebut dapat kita ketahui sebagai berikut, Pada tahun 680 di bawah kepimpinan Jayanasa,
Kerajaan Melayu takluk di bawah imperium Sriwijaya. Pengusaan atas Melayu yang
kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. Di abad ke-7, orang Tiongha
mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di sumatera dan tiga kerajaan di Jawa
menjadi bagian imperium Sriwijaya. Di akhir ke-8 beberapa kerajaan di Jawa ,
antara lain Tarumanegara dan Holing berada di pengaruh Sriwijaya. Berdasarkan
prasasti Kota Kapur , imperium menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung
Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di Semenanjung Melayu menjadi bagian
kerajaan. Di masa berikutnya, Pan-Pan dan Trambalingga, yang terletak di
sebelah utara Langkasuka, juga berada di pengaruh Sriwijaya.
Ekspansi kerajaan
yang dilakukan oleh raja pertama Sriwijaya yakni Dapunta Hyang Sri Jayanaga ke
Jawa dan semenanjung Melayu, menjadikan Sriwijaya mengontrol pusat perdagangan
utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi
Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abada ke-7, pelabuhan Cham di sebelah
timur Indochina mulai mengalihkan banyak
pedagang dari Sriwijaya. Kekuatan kerajaan Melayu berangsur hingga 2 abad.
Untuk selanjutnya Sriwijaya mampu mengemabngkan kerajaannya melalui
keberhasilan politik ekspansi/perluasan wilayah ke daerah-daerah yang sangat
penting artinya untuk perdahgangan. Hal ini sesuai dengan prasasti yang ditemukan di Lampung, Bangka,
dan Ligor. Bahkan melalui benteng I-tshing bahwa Kedah di pulau Penang
juga dikuasai Sriwijaya.
Dengan
demikian Sriwijaya bukan lagi sebagai
negara senusa atau satu pulau, tetapi sudah merupakan negara antar nusa karena
penguasaannya atas beberapa pulau. Bahkan ada yang berpendapat Sriwijaya adalah
negara kesatuan pertama. Karena kekuasaannya luas dan berperan sebagai negara
besar di Asia Tenggara. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya memiliki letak
yang strategis di jalur pelayaran dan perdagangan Internasional Asia Tenggara.
Meskipun catatan
sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa menyatakan bahwa
pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh Suamtera,
Jawa Barat, dan beberapa daerah di semenanjung Melayu. Dominasi atas selat
Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute
perdagangan remaph dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap
kapal yang lewat.
Kerajaan Jambi
merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya akhirnya dapat
ditaklukan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi, pertamabangn emas merupakan
sumber ekonomi cukup penting dan kata Suwarnadwipa (Pulau emas) mungkin merujuk
pada hal ini. Kerajaan Sriwijaya membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke
seluruh Sumatera, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan
bagian Barat.
Pada masa awal ,
Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat thani,
Thailand sebagai ibu kota terakhir kerajaaan,
walaupun klaim tersebut tidak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan
pagoda Borom That yang bergaya Sriwijya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya
terbagi menjadi tiga kota
yakni (Mueang) Chaiya , Thatonh (Kancahanadit) dan Khirirat Nhikom.
Sriwijaya
juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti
bertahun 860 mencatat bahwa raja Balaputeradewa mendedikasikan seorang biara
kepada Universitas Nalanda, Pala. Relasi
dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan buruk setelah
terjadi peperangan di abad ke-11, hal ini disebabkan yakni pada tahun 1025
Rajarendra Chola dari Koromandel, India Selatan tesebut menaklukan Kedah dari
Sriwijaya dan menguasainya . Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan
penaklukannya selama 20 tahun beriktunya ke seluruh imperium Sriwijaya.
Meskipun invasi Chola tidak berhasil sepenuhnya, tetapi invasi tersebut telah
melemahkan hegemoni Sriwijaya yang menyebabkan terlepasnya beberapa wilayah
dengan membentuk kerajaan sendiri, sperti Kediri,
sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.
Antara
tahun 1079-1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar
dari Jambi dan Palembang.
Tahun 1082-1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua duta besar ke China.
Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergesr secara bertahap dari Palembang ke Jambi .
Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang,
dan Jambi telah menggantikannya sebagai pusat kerajaaan. Berdasarkan sumber
Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Cho-Ju-Kua
menerangkan bahwa kepulauan Asia Tenggara
terdapat dua kerajaan yang sangat kaya dan kuat, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri).
Berdasarkan
sumber itulah dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin
melepaskan diri, antara lain Kien- pi dan beberapa koloni di Semenanjung
Malaysia seperti Kilantan (Kelantan), Pong Fang (Pahang), Kia-lo-hi(Grahi,
bagian utara semenanjung Malaysia).
Berkaitan dengan tema
materi ini dapat disimpulkan bahwa adanya negara seperti Malaysia dan Thailand
mengklaim daerah mereka dahulu sebagai pusat kerajaan Sriwijaya sebab kedua
negara tersebut pernah menjadi daerah koloni kerajaan Sriwijaya yang
meninggalkan beberapa peninggalan dari Sriwijaya tersebut yang dianggap sebagai
bukti bahwa negara merekalah yang sebenarnya menjadi pusat kerajaan Sriwijaya.
Namun,
jika dikaji lebih luas sebenernya peninggaln-peninggaln tesebut dinilai belum
cukup jelas. Seperti kita ketahui Palembng saja masih diragukan oleh para
sejarawan sebagai pusat kerajaan Sriwijaya meskipun telah terdapat banyak
banyak bukti hasil peninggalan, apalagi jika dibandingkan dengan Malaysia
dan Thialand yang hanya nemiliki beberapa benda peninggalan.
0 komentar: