Bercermin Dari Sejarah
“Sejarah itu ingatan, Apa jadinya manusia tanpa ingatan”.
Ahmad Mansyur Syuryanegara
Penulis Buku ”Menemukan Sejarah”
BANYAK Orang mengatakan bahwa, “buat apa belajar sejarah, bukankah itu berarti kita kembali ke masa lampau ?”. Dengan alasan yang sama, banyak orang tidak mau ‘bercermin’ dari Sejarah. Prof Dr H.A. Zainal Abidin Farid mengemukakan bahwa mempelajari masa lampau tidaklah berarti bahwa kita akan kembali ke sana, tetapi hal - hal positif dapat mendorong kita untuk mencipta yang lebih baik. Siapa tahu, menurutnya, ada sesuatu dari masa silam itu yang dapat memberikan kita inspirasi untuk memperbaiki kehidupan masa kini, guna melangkah ke masa depan yang lebih cerah. Atau siapa tahu orang – orang dahulu kala lebih berkualitas pemikiran dan lebih maju budayanya dari kita yang ada sekarang ini.
Sebagai contoh, Kerajaan Siang yang emplasemen situsnya berada di SengkaE, Bori Appaka Kecamatan Bungoro adalah sebuah kerajaan yang pernah mengalami masa kejayaan dan kemasyhuran sebagai kerajaan besar dan terkemuka di semenanjung barat Sulawesi Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo (Christian Pelras, 1973 : 54). Kerajaaan Siang adalah sebuah pusat perdagangan penting dan sangat mungkin juga secara politik antara Abad XIV hingga Abad XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat dan daerah yang sekarang adalah Lima’e Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan kerajaan Makassar, yakni Gowa dan Tallo. (Andaya, 2004). Dari segi wilayah pemerintahan dan pengaruh kekuasaan, jelas lebih besar pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Siang delapan abad lampau dibandingkan wilayah daerah yang sekarang dikenal bernama Kabupaten Pangkep.
Dan siapa pula yang bilang, orang – orang dahulu berpikiran kolot dan tidak maju. Dalam Sejarah Sulawesi Selatan, dikenal nama Karaeng Pattingaloang, Raja Tallo VIII yang juga merangkap Pabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa XV, Sultan Muhammad Said. Karaeng Pattingaloang merupakan satu contoh bangsawan yang modernis, menguasai Politik dan Hukum Tata Negara, mampu berkomunikasi dalam berbagai bahasa asing (Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis, Arab dan Latin). Ruangan kerjanya berupa perpustakaan pribadi dengan ribuan buku yang berasal dari Erofah Barat pada Abad XVII. Atas jasanya, Gowa mengalami puncak kejayaan dan mampu menjalin hubungan persahabatan dengan Raja Inggris, Raja Castilia di Spanyol, Mufti Besar Saudi Arabia, Raja Portugis, Gubernur Spanyol di Manila, Raja Muda Portugis di Goa (India) dan Merchante di Masulipatan (India). Sebagaimana Ayahnya, Karaeng Matoaya, Karaeng Pattingaloang juga seorang ahli ibadah, dapat membaca kitab gundul dan menerangkan tafsirnya.
Dalam Sejarah Sulawesi Selatan, banyak kita temukan kronik peristiwa yang mencerminkan kegemilangan orang-orang Bugis Makassar, dalam berbagai bidang---yang dalam bahasa Prof Dr HA Zainal Abidin Farid---dapat memberikan kita inspirasi untuk memperbaiki kehidupan masa kini. Seorang yang bukan ahli hukum, La Petellok Amanna Gappa mampu menciptakan Kitab Undang-Undang Pelayaran dan Perniagaan pada Tahun 1676 yang sampai kini masih berlaku dengan sedikit perubahan. Dalam bidang kesusastraan, Orang-orang Bugis Pra-Islam telah mewariskan karya sastra epik mitik I La Galigo yang ditaksir berisi lebih dari 7000 halaman, lebih panjang dan lebih tinggi nilai sastra dan kandungan budayanya dibandingkan dengan karya sastra dunia lainnya seperti Homerus di Yunani kuno dan Mahabharata di India kuno sedangkan jumlah mereka pada waktu itu masih sangat sedikit ? Terbukti kehidupan mencipta, membaca dan menulis serta kehidupan di kala itu bermutu tinggi.
Juga dalam Sejarah Bone, kita temukan nama La Tenri Tappu Sultan Ahmad Saleh Syams Al-Millah wa Al-Din (1775-1812). Raja Bone ke- XXIII ini dikenal rakyatnya sebagai seorang pemimpin (raja) yang juga ulama. Di sela-sela kesibukannya mengurus kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya, Beliau masih sempat belajar Bahasa Arab dan menulis risalah “Al-Nur Al-Hadi”, yang diterjemahkan dalam Bahasa Bugis dengan judul, “Tajang Patiroannge Lao ri Laleng Malempue” (Cahaya yang membimbing ke Jalan yang lurus). Saat ini sangat jarang kita temukan seorang pemimpin (Gubernur, Bupati, Camat atau Wakil Rakyat) yang bisa menuliskan pemikiran-pemikirannya, meski itu sebatas buku harian. Hal ini juga sedikit banyak membuktikan bahwa pemimpin-pemimpin sekarang tidak selalu lebih unggul kualitasnya dibandingkan pemimpin-pemimpin Bugis Makassar 500 – 700 tahun yang lalu.
Kita tidak akan pernah mereguk nikmatnya kemerdekaan, kalau tidak ada jasa dari para pahlawan pejuang kemerdekaan. Di Pangkep, gerakan perjuangan rakyat mengusir kompeni dan mempertahankan kemerdekaan dipelopori oleh Andi Maruddani, La Sameggu Daeng Kalebbu, Mamma Dg Mangimbangi, Andi Mappe, Andi Page, Andi Makkin, Andi Mandacingi, Zainuddin Condeng, dan masih banyak lagi yang lainnya. Mereka telah menghabiskan setiap waktu yang dilewati diantara desingan peluru, berperang dengan kekuatan senjata apa adanya mempertahankan kemerdekaan. Tentunya kalau mereka masih hidup, pasti akan berharap agar kemerdekaan itu dihargai dengan cara membangun kehidupan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
Sedangkan sejarah yang kelam, pahit dan berdarah-darah dapat menjadi pelajaran berharga untuk kita tidak mengulanginya di masa depan, apalagi sejarah yang penuh dengan catatan prestasi dan kegemilangan. Karena itu, sejarah harus dinikmati. Cita rasa kesejarahan itu harus kita rasakan. Tidak diragukan lagi, Manusia membutuhkan pengetahuan tentang sejarah atau manusia membutuhkan sejarah. Orang yang memiliki kesadaran sejarah maka dia akan hidup pada masa kini dengan penuh kepercayaan diri. Orang yang menyadari keberadaannya dalam dimensi sejarah, maka dia akan memahami pula eksistensinya dalam perjalanan budaya. Warisan kebudayaan dan kesejarahan itulah yang membentuk peradaban.
Ciptakanlah sejarah dan arus peradaban yang bukan hanya bisa dikenang esok hari, tetapi bisa dikenang seratus tahun atau seribu tahun yang akan datang. Apa yang kita perbuat hari ini, esok sudah menjadi sejarah. Setiap orang adalah pelaku sejarah dalam kehidupannya. Dan kita tentu tidak mau mewariskan sejarah yang kelam bagi generasi mendatang. Kita semua menginginkan diri kita menjadi pewaris peradaban, peradaban yang diliputi kebudayaan yang tinggi dan sejarah yang gemilang.
0 komentar: