Menelusuri Jejak Lampau Palembang dari Naskah Sastra Kuno



Anda yang berasal dari Palembang mungkin pernah atau bahkan sering mendengarkan atau membaca kalimat ini: "Alqisah maka tersebutlah perkataan ada sebuah negeri ditanah Andalas, Palembang namanya, Demang lebar daun nama rajanya, asalnya dari anak cucu raja Syulan juga, Muara Tatang nama sungainya. Maka di hulu Muara Tatang itu ada sebuah sungai Melayu namanya. Dalam sungai itu ada sebuah bukit Si Guntang Mahameru namanya”(Ismail, 1998:83). Di tempat lain dikatakan pula: ”Sebermula dihikayatkan oleh orang yang empunya hikayat ini bahwa negeri Palembang itu Palembang yang sekarang ini, inilah” (Ismail, 1998:85). Menurut cerita dalam naskah ini, dari Bukit Si Guntang Mahameru tersebut turunlah tiga orang cucu raja Iskandar Zulkarnain dan yang bungsu menjadi raja di Palembang dengan nama Sang Utama (Nila Utama menurut naskah lain) yang kemudioan bergelar Sri Tribuana. Yang tertua diangkat menjadi raja di Minangkabau dengan nama Sang Sapurba, sedangkan yang kedua menjadi raja di Tanjungpura bernama Sang Maniaka. Jadi orang Melayu itu berasal dari daerah ini dan kemudian menyebar mencari tempat pemukiman baru. Raja-raja Melayu mengakui keturunan dari nenek moyang Bukit Si Guntang.

Periode awal sejarah Nusantara yang kita kenal dari sumber-sumber naskah sastra kuno yang berbentuk prasasti-prasasti Sriwijaya ditemukan dikota Palembang pada abad ke 7 dan ke-8. Seperti yang tertulis pada prasasti telagabaru yang kini disimpan dimusium nasional. Begetu pentingnya Sriwijaya sebagai pusat studi agama Budha ditentukan oleh prasasti yang ditemukan. I Cing, seorang agamawan pengembara, menyarankan kepada mereka yang berkeinginan untuk mempelajari agama Budha di India, hendaknya mereka terlebih dahulu bermukim selama satu tahun di Sriwijaya untuk belajar memfasihkan bahasa Sansekerta (Kumar,1996:xvi).

Salah satu keistimewaan Palembang sebagai tempat penemuan bukti-bukti arkeologi ialah adanya suatu kesinambungan dari segi penanggalan. Hal ini menandakan bahwa Palembang memiliki masa okupasi yang panjang dan berkesinambungan, sehingga seringkali ditemukan data-data sejarah dari zaman yang berbeda-beda. Prasasti yang ditemukan dikawasan Palembang dan sekitarnya ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dengan tipe tulisan Pallawa Akhir. Para ahli menyimpulkan bahwa kecanggihan tulisan dan bahasa pada prasasti itu tidak berdiri sendiri, pasti sudah ada penggunaannya dalam kesusastraan yang hidup berdampingan dengan bahasa administratif yang terdapat pada prasasti, meskipun hingga kini tidak ditemukan sisa-sisa kesusastraan kuno dalam bentuk tertulis. Pada abad ke-14 ada kerajaan yang luas dengan raja Adityawarman yang mencakup sebagian besar Sumatera Tengah. Prasasti yang ditinggalkan kerajaan itu cukup banyak, meliputi masa pemerintahan raja (1356-1375), peninggalan-peninggalan tersebut menunjukkan hubungan dengan Majapahit, dalam isinya maupun aksaranya yang mirip aksara jawa timur yang sejaman, namun dengan karakter yang khas. Penetrasi pengaruh jawa tersebar disebagian besar kawasan ini.

Salah satu sumber dari kitab sastra kuno Cina menyebutkan bahwa San-Fo-Ci atau Sriwijaya pada tahun 1373 diperintah oleh tiga penguasa, yaitu satu di Palembang, Darmasraya (Jambi), dan Adityawarman (Minangkabau). Di daerah Minangkabau inilah ditemukan arca Amoghapasya Lokesywara yang merupakan hadiah dari Raja Kertanegara kepada Srimat Tribuanaraja Mauliwarmadewa di Suwamabumi (sumatera). Arca ini merupakan tiruan dari arca di Candi Jago (Jawa timur). Setelah tahun 1377 tidak ada lagi berita mengenai daerah ini, mungkin karena pada tahun itu Jambi diserang dan dikalahkan oleh Majapahit. Tulisan dari zaman Sriwijaya diperkirakan banyak yang hilang, bukan berarti bahwa sastranya mati setelah wilayah Palembang menjadi bawahan Majapahit. Dari naskah yang sampai ditangan kita diperkirakan dapat terjadi pengalihan sastra Jawa ke sastra Melayu. Pada bidang politik terjadi perubahan-perubahan yang mempengaruhi warna budaya Palembang. Kekuasaan Majapahit atas Palembang mulai melemah karena kegoncangan yang terjadi di kalangan Majapahit dan juga disebabkan karena jarak antara kedua tempat cukup besar, akibatnya terjadi suatu kekosongan kekuasaan. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Cina yang selalu hadir di Nusantara dan akhirnya menguasai Palembang (Groenevaldt dalam Purwanti, 2003:1). Setelah penguasaan Cina, menurut cerita sastra lisan Ki Gede Ing Suro mendirikan kerajaan yang dinamakan Palembang. Pendiri kerajaan Palembang berasal dari daerah pesisir utara Jawa, sebagaimana disebutkan dalam naskah sastra Melayu yang dikarang sebelum tahun 1536 (Ismail, 1998:125).

0 komentar: