Membaca Sejarah Nabi
Ada sejenis kemiskinan yang sangat
mengerikan bagi suatu bangsa. Bukan kemiskinan yang seperti dipahami
oleh umat manusia saat ini, tetapi kemiskinan yang menjadi pangkal
kehinaan di dunia dan akhirat. Kemiskinan ini akan membuat suatu bangsa
terkubur dalam penderitaan dan penguasaan bangsa lain selama-lamanya.
Biasanya, suatu bangsa bisa dikatakan
miskin karena sumber daya mereka tidak menghasilkan devisa yang cukup,
atau miskin karena dibodohi bangsa lain. Tetapi, al-Qur’an menyebutkan
yang lebih dari itu, ada suatu kemiskinan yang lebih parah pada umat
manusia. Itulah kemiskinan iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemiskinan
penghayatan terhadap sejarah hidup utusan Allah—Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam—yang cemerlang!!
Penderitaan bangsa-bangsa di dunia
sekarang ini, bukan sekadar disebabkan karena tidak bisa memanfaatkan
sumber daya alam mereka. Yang lebih parah lagi adalah karena mereka
tidak punya sejarah, atau tidak punya kebanggaan masa lalu. Di saat
seperti itu, bangsa tersebut tidak akan memiliki motivasi untuk bangkit
memperbaiki nasibnya. Akhirnya, jiwa budak dan peran pelengkap penderita
akan tetap membelenggu mereka.
Umat Islam yang kita cintai ini,
sebenarnya memiliki sejarah dan peradaban masa lampau yang sangat agung.
Terutama dalam perjalanan sirah Nabi mereka yang penuh dengan barakah
dan hikmah. Namun, kebanyakan mereka melalaikannya. Sementara,
kebanggaan terhadap sejarah Islam secara umum pun tercabik-cabik di
sana-sini. Ini karena masuknya peradaban Barat melalui imperialisme yang
pelan-pelan menggeser semangat penghayatan sejarah pada kaum muslimin.
Para penjajah telah membuat umat Islam jauh dari sejarah mereka yang
agung sekaligus berhasil menanamkan semangat kebanggaan jahiliyah di
sabagian besar kaum muda.
Pemahaman dan penghayatan sejarah masa
lampau adalah sebuah kemestian bagi pembangunan suatu umat. Tatkala
Allah mengutus Nabi Musa a.s. kepada Bani Israil yang telah sangat lemah
mentalnya dan rusak kepribadiannya, Allah membekali dengan suatu
perintah :
“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang yang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat- umat yang lain” (Al-Ma’idah [5]: 20).
Pesan yang dibawa Nabi Musa ini jauh
berbeda dengan keadaan Bani Israil saat itu…. Bani Israil telah
melupakan sejarah bangsanya, merasa diri mereka sebagai bangsa budak
yang selalu terbelenggu dan lupa terhadap keistimewaan-keistimewaan
mereka yang tidak terdapat pada bangsa-bangsa lain. Bahkan, kemauan
sebagai modal untuk bangkit pun sudah sirna dari mereka. Dengan modal
penggalian sejarah inilah, Nabi Musa hendak mengangkat harkat derajat
Bani Israil.
Sama halnya dengan Bani Israil, kita
(kaum muslimin) memiliki sejarah gemilang dan keistimewaan-keistimewaan
yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Apalagi kita
merupakan umat pilihan dan umat risalah akhir zaman yang berlaku
universal (semestawi). Lebih dari itu, mentalitas kita jelas bukanlah
seperti mentalitas Bani Israil di zaman Nabi Musa a.s., naudzubillah.
Kita akan siap menjunjung dan
memperjuangkan risalah Muhammad saw. sebagaimana dikemukakan Sa’ad bin
Mu’adz al-Anshar terhadap Rasulullah, “Wahai Rasulullah
berangkatlah! Kami tidak akan mengatakan seperti Bani Israil,
‘Berangkatlah Anda dengan Rabb Anda dan berperanglah berdua,
sesungguhnya kami di sini menunggu.’ Tetapi kami berkata, ‘Berangkatlah
Anda bersama Rabb Anda dan sesungguhnya kami bersama Anda berdua turut
berperang (di jalan Allah).’”
Maka
menyadari bahwa nenek moyang kita, yaitu Rasulullah saw. dan para
sahabatnya merupakan umat yang besar adalah kekayaan kita. Mengkaji dan menghayati setiap langkah gerakan generasi sahabat merupakan aset kebangkitan umat Islam.
Membuka kembali lembaran-lembaran jihad dan perjuangan mereka dalam
membangun Islam adalah modal perjuangan umat Islam yang tiada ternilai
harganya!!
Al-Qur’an sendiri dipenuhi dengan
kisah-kisah yang penafsirannya dilakukan Rasulullah untuk membangkitkan
ruhul jihad para sahabatnya.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi mereka yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab- kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Yusuf [12]: 111).
Sebenarnya, di manakah letak kaitan sirah
dengan da’wah dan pergerakan Islam? Dalam berbagai ayat al-Qur’an,
Allah menyajikan kisah sejarah sebagai dukungan yang memperkuat pribadi
Rasul-Nya. Salah satunya adalah firman-Nya berikut ini.
“Dan, semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (Hud [11]: 120).
Tema ayat ini merupakan salah satu
sasaran memahami sirah atau fiqhus sirah. Mungkin timbul pertanyaan,
“Bagaimana kita bisa mendapatkan apa yang diberikan kepada Rasul oleh
Allah dengan jalan memahami dan membaca sejarah nabi-nabi atau
rasul-rasul masa lampau itu?”
Dari ayat itu nyata bahwa buat Rasulullah, kisah-kisah yang Allah ungkapkan itu punya fungsi yang besar, di antaranya “Ma nutsabbitu bihi fuadak”
(‘apa yang dengannya kami perkuat hatimu’). Sebagai pewaris Rasul,
mestinya para ulama pun mendapatkan tatsbit dan tsabat dalam mempelajari
sirah. Sehingga dengan sendirinya mereka berjalan dalam kehidupan dunia
ini tahu ma’alim ‘rambu-rambunya’ yang jelas. Bila tidak, berarti ada
yang konslet.
Dalam kaitannya dengan hal ini, dengan
menghayati sirah, saya pribadi telah memperoleh tsabat. Setidaknya dalam
memilih pemikiran saya sekarang. Mengapa tidak? Sebagai mu’min, setiap
orang berhak untuk mendapatkan nutsabitu itu karena apa yang
dapat Allah berikan kepada seorang Rasul, juga diberikan kepada umatnya;
dalam artian hal-hal yang bisa berlaku umum.
Timbul pertanyaan, mengapa orang tidak mendapatkan tsabat
itu? Sebabnya, ia tidak berada dalam suatu gelombang yang sama dengan
garis Rasul dan para sahabatnya. Kalau sirah ini sebagai satu sender (pesawat pemancar) siarannya akan ditangkap baik apabila kita memasang gelombang yang sama di receiver (pesawat penerima).
Sebagai umat, baik kita memiliki potensi
da’wah atau sebagai seorang awam biasa, jika kita memasang gelombang
diri, jiwa dan kehidupan kita sejajar atau paralel dengan gelombang para
Rasul, maka kisah-kisah itu mesti akan menghasilkan target tersebut.
Keistimewaan Sirah dan Fiqhus Sirah
Bila ada pertanyaan, apakah keteguhan
dari Allah itu kini berlaku pada umat Islam sekarang? Jawabnya, ternyata
boleh dikatakan tidak! Baik itu karena mereka yang memahami sirah
secara matan atau teksnya tidak menghayati dan menelaah rahasia di balik
itu, misalkan disebabkan ia tidak berada dalam alur yang sama dengan
para rasul sehingga sukar memahaminya, atau memang umat itu sendiri
belum paham matan cerita atau teks dari sirah itu sendiri.
Matan bersandar pada sanad periwayatan.
Sebenarnya sanad ini, sebagaimana pandangan Ibnu Hazm, merupakan salah
satu keistimewaan kaum muslimin yang tidak terdapat pada umat yang
lainnya. Sehingga kita melihat sunnah, hadits, dan sirah mempunyai suatu
keistimewaan yang tidak ada hatta sekalipun pada kaum yang katanya
memiliki kitab suci. Dalam Injil Lukas, Matius, Yohannes, dan lainnya,
riwayat dari kitab itu tidak bisa dipertanggungjawabkan dengan sanad
yang shahih. Dalam hal ini perlu perbincangan tersendiri.
Dengan sanad ini, kita meyakini bahwa
sejarah hidup Nabi saw. yang sampai kepada kita datang melalui alur
ilmiah yang paling tepercaya dan pasti. Fakta-fakta dan peristiwanya
tidak mungkin diragukan, termasuk dalam masalah-masalah mukjizat yang
sudah jelas nashnya. Lebih dari itu, Kitabullah al-Qur’an sendiri
menjadi batu penguj i bagi keabsahannya.
Para orientalis mencoba menulis sejarah
Rasul dan menampilkan dalam bentuk ilmiah sesuai dengan selera mereka.
Banyak di antara mereka menutup mata terhadap unsur harakah (da’wah dan
jihad) yang menjadi inti perjalanan hidup Rasulullah. Memang terkadang
ada pengakuan terhadap keberhasilan Rasulullah, tetapi mereka berupaya
mengesankannya sebagai hasil suatu kejeniusan, bukan semangat kenabian
(risalah). Sayangnya, ini diikuti pula oleh beberapa penulis muslim yang
terperangkap dengan gambaran “ilmiah” dan “objektif versi mereka.
Penampilan sirah seperti ini sepi dari ruhul jihad dan semangat
nubuwwah. Terasa kering, seperti orang menonton sebuah cerita saja
layaknya.
Belakangan ini, ada pula di antara kaum
muslimin yang menulis sirah dengan penuh rasa khawatir terhadap lontaran
dan tudingan yang dibuat para orientalis dalam jihad. Karena ingin
menampilkan Islam sebagai agama damai, biasanya ruhul jihad yang menjadi
saripati sirah mereka kesampingkan. Kalau sudah begini maka sirah tidak
lebih dari sebuah biografi seorang tokoh besar.
Sejarah yang ditulis para da’i mujahid
menampilkan sosok yang jauh berbeda dengan para penulis “ilmiah” itu….
Penghayatan terhadap ruhul jihad dalam kehidupan Rasulullah merupakan
modal utamanya. Hal ini karena mereka berada pada satu alur yang sama
dengan Rasulullah, yaitu harakah dan da’wah. Maka penggambaran yang
mereka sajikan bukan lagi masalah kronologis, tetapi sudah masuk pada
isi pembahasan yang mengasyikan dan sangat bermanfaat bagi da’wah dan
pergerakan. Maka fiqhus sirah pun lahir bersamaan dengan lajunya gerakan
Islam. Ia merupakan khazanah tersendiri yang khas bagi umat yang
senantiasa menegakkan risalah Islam. Bukan oleh mereka yang sekadar
menjadikan agama ini sebagai objek keilmuan belaka! Sejarah menunjukan
pada kita jalan hidup yang musti ditempuh….
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugerahkan nikmat atas mereka, bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat” (al-Fatihah [1]: 6-7)
*Dikutip dari buku “Manhaj Haraki Jilid-1″ Sebuah Pengantar dari K.H. Rahmat Abdullah.
0 komentar: