Palembang sebagai ibu kota Propinsi Sumatera Selatan, punya banyak
potensi aset wisata budaya. Kota yang sudah berusia 13 abad lebih ini
banyak meninggalkan jejak-jejak sejarah yang menarik untuk ditelusuri.
Secara kronologis, peninggalan itu berasal dari zaman Kerajaan
Sriwijaya, Kesultanan Palembang Darussalam, sampai zaman kolonial
Belanda. Dulu perencanaan kota pada masa Sriwijaya umumnya berada di
meander Sungai Musi yang berupa tanggul alam atau tanah yang meninggi.
Hal ini menunjukkan bahwa Sri Jayanasa menempatkan lokasi pemukiman
sesuai dengan kondisi geografis Palembang.
|
(Mesjid Agung Palembang) |
Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, kegiatan kota
terpusat di sepanjang tepi Sungai Musi. Sebagian besar aspek pemukiman
berlokasi di tepi utara sungai, berupa bangunan keraton, masjid, dan
pemukiman rakyat. Rumah tinggal berupa rumah panggung dari bahan kayu
atau bambu dan beratap daun kelapa, juga ada rumah rakit yang
ditambatkan di tepi Sungai Musi.
|
(Benteng Kuto Besak) |
Setelah dihapuskannya Kesultanan Palembang Darussalam
pada tahun 1823, wilayah sekitar Benteng Kuto Besak (BKB) ini dijadikan
daerah administrasi Hindia-Belanda yang dipimpin oleh seorang residen.
Pada masa ini, BKB yang awalnya tempat tinggal Sultan Palembang,
dialihfungsikan menjadi instalasi militer dan tempat tinggal komisaris
Hindia-Belanda, pejabat pemerintah, dan perwira militer.
Secara umum, pembangunan Kota Palembang menjadi kota yang modern
dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda dan dimulai pada awal abad XX
M. Berdasarkan UU Desentralisasi yang dikeluarkan oleh pemerintah
Hindia-Belanda, Palembang ditetapkan menjadi Gemeente pada 1 April 1906
dengan Stbl No.126 dan dipimpin oleh seorang burgemeester, yang dalam
struktur pemerintahan sekarang setara dengan walikota. Meskipun
demikian, burgemeester pertama Kota Palembang baru diangkat tahun 1919,
yaitu LG Larive.
|
(Kambang Iwak) |
Pada masa ini, pusat pemerintahan Kota Palembang
dipindahkan ke lokasi baru, yaitu sebelah barat BKB. Di kawasan ini juga
didirikan bangunan-bangunan umum, dan dilakukan pemindahan lokasi
pasar, yang semula di atas perahu di Sungai Musi lalu dipermanenkan di
sebelah timur benteng. Dalam tata ruang Kota Palembang abad XX M ini,
dibangun pula lokasi pemukiman orang-orang Eropa di sebelah barat
benteng. Kalau sekarang ini kita bisa lihat di sekitar kawasan Kambang
Iwak. Ngeliatnya nggak perlu malem-malem, ntar ketemu yang macem-macem.
Hantu misalnya, hihihi… Tapi sekarang memang sudah tidak seseram dulu.
Kawasan Kambang Iwak yang dulunya dikenal sebagai kawasan para banci
seks beraksi kalau malam, sekarang sudah sangat berubah. Hal ini karena
adanya terobosan pengelolaan kawasan wisata, termasuk mengelola area
Kambang Iwak menjadi Kambang Iwak Park, yakni area taman hijau untuk
olahraga marathon.
|
(Rumah Kapitan Cina) |
Secara umum, tinggalan-tinggalan arkeologi yang dapat
dijadikan objek wisata kota terdapat di kawasan BKB dan sekitarnya,
yakni di sepanjang Jl. Merdeka serta kawasan Talang Semut. Di
daerah-daerah tersebut, masih dapat ditemukan bangunan-bangunan kuno
yang berasal dari masa kesultanan dan kolonial. Di kawasan BKB, kita
masih bisa temukan Masjid Agung Palembang, Museum Sultan Mahmud
Badaruddin II, dan Rumah Kapitan Cina.
Kalau di sepanjang Jl. Merdeka dan sekitarnya, masih terdapat beberapa
bangunan kuno dari masa Kolonial, seperti Kantor Walikota Palembang, dan
Kantor Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Sumatera Selatan. Terus
kalau di sekitar Talang Semut selain masih ada sekolah dan gereja kuno,
juga masih dapat dilihat lansekapnya seperti jaringan jalan yang
mengikuti keadaan kontur lahan setempat yang berbukit-bukit.
Daya tarik dari bangunan-bangunan di sepanjang Jl. Merdeka dan Talang
Semut ini adalah gaya arsitekturnya yang punya ciri khas, yang pernah
jadi trend gaya hidup di Indonesia pada awal abad XX, dan dikenal dengan
istilah “Gaya Indis”. Kekhasan yang tercermin pada bangunan-bangunan
tersebut terletak pada penggabungan gaya arsitektur Eropa dengan gaya
arsitektur Indonesia. Tentu saja, jika tinggalan-tinggalan arkeologi itu
ingin dijadikan objek wisata, maka diperlukan perencanaan yang matang
dan komprehensif. Kawasan-kawasan yang terkonsentrasi
tinggalan-tinggalan arkeologi tersebut sebaiknya ditetapkan terlebih
dahulu menjadi “kawasan bersejarah”. Di kawasan itu juga perlu dibangun
fasilitas-fasilitas umum yang sangat penting demi kelestarian
tinggalan-tinggalan arkeologi yang terdapat di dalamnya. Pembangunan
semua fasilitas umum ini dimaksudkan agar para wisatawan yang datang
tidak terfokus di satu tempat dan bisa dikendalikan.
|
(Welcome to Palembang) |
Diyakini jika saja semua aspek atau tempat potensial di
Palembang ini diperhatikan dan dikelola sebaik mungkin, Kota Palembang
akan memiliki objek wisata yang tidak kalah dengan propinsi lainnya di
Indonesia. Memang selain kawasan ini banyak tempat lain yang berpotensi
jadi objek wisata Kota Palembang, seperti Sabokingking yang diduga
merupakan ibu kota Kerajaan Sriwijaya, Taman Purbakala Kerajaan
Sriwijaya (TPKS), ataupun Jembatan Ampera yang juga merupakan penghubung
antara Ilir dan Ulu.
0 komentar: