Bijak Menghadapi Kontroversi Negeri ini. Waspadalah dengan manipulasi sejarah di negeri ini!


Budi Utomo dan Kontroversi Hari Kebangkitan Nasional
Oleh: Eko Megawati
(09/288920/SP/23798)

Tatkala sejarah menyadarkan kita tentang perbedaan-perbedaan, ia sebetulnya telah mengajarkan toleransi dan kebebasan. (Francois Caron)
Sejarah merupakah sebuah fenomena peradaban manusia yang unik. Dengan adanya sejarah kita bisa menguak tabir masa lalu, namun sejarah juga bisa melahirkan kontroversi dan perdebatan panjang.
Sejarah yang pada dasarnya merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang benar terjadi. Von Renke mengartikan sejarah sebagai wie es eigentlich (kejadian yang bersifat mutlak). Kemudian sejarah akan menjadi relatif apabila dilihat dari berbagai sisi dan sudut pandang. Singkatnya, kejadian itu sendiri bersifat absolut, tapi setelah ditangkap dan sampai pada manusia kejadian itu kemudian menjadi relatif. Dengan demikian kebenaran sejarah merupakan kebenaran relatif. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam perdebatan dan kontroversi.
Berbagai catatan sejarah yang menjadi pegangan umum harus rela untuk direkonstruksi begitu ditemukan bukti baru. Maka tidak heran hingga detik ini telah muncul banyak versi sejarah. Namun selama tidak mengandung bias dan tidak untuk kepentingan kekuasaan, versi-versi sejarah tetap memberikan nilai yang berarti.
Banyak pembengkokan sejarah dan pengaburan fakta yang menyelimuti berbagai peristiwa di negeri ini. Setelah reformasi bergulir, puluhan buku yang mempertanyakan dengan berani dan terbuka merupakan bukti riil. Sejarah yang sudah ada dianggap tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta dan bukti sejarah. Selain itu banyak sumber sejarah dipalsukan dan interpretasinyapun bias.
Selama ini masyarakat bingung dengan banyaknya peristiwa masa lalu yang kabur atau dikaburkan sebab ditampilkan sesuai kehendak politik. Semenjak lengsernya rezim orde baru, sejarah Indonesia tidak lagi menjadi dominasi pemahaman rezim namun menjadi sebuah kontroversi sengit dikalangan para sejarawan dan peneliti. Sedangkan salah satu peristiwa sejarah yang masih menjadi kontroversi sampai saat ini adalah Budi Utomo.
Asvi, peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, memetakan tipologi kontroversi sekaligus mengkritisi sejarah yang telah menjadi pemahaman umum itu. Menurut Asvi, penyebab kontroversi sejarah Indonesia dikarenakan fakta dan interpretasi yang dilakukan pemerintah Orba (1) tidak tepat, (2) tidak lengkap, dan (3) tidak jelas. Akibatnya, begitu rezim otoriter itu tumbang, sejarah yang direkontrusinya pun tumbang. Maka, terjadilah polemik dan kontroversi sejarah di masyarakat.[1]
Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei tak dapat dilepaskan dari sebuah organisasi yang lahir tahun 1908 yang bernama Budi Utomo. Organisasi yang diprakarsai oleh para mahasiswa kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Inlahdsche Artsen) ini tujuannya merumuskan secara samar-samar “kemajuan bagi Hindia”. Selain itu, organisasi ini juga memiliki struktur organisasi pengurus tetap, anggota, tujuan dan juga rencana kerja dengan aturan-aturan tertentu yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Anggaran Dasarnya Budi Utomo bermaksud untuk berusaha sekuat tenaga dengan menempuh jalan yang sah supaya bangsa dan nusa Jawa dan Madura mendapat kemajuan yang harmonis dan memberikan bantuan kepada orang-orang yang mempunyai tujuan yang serupa dengan ini (Sitorus, 1988:8).
Terlepas dari itu, Budi Utomo yang dianggap sebagai pelopor pergerakan nasional masih mengundang diskusi yang bersifat polemis. Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar umpamanya, menganggap Budi Utomo tidak bisa dijadikan dasar untuk Hari Kebangkitan Nasional karena lebih ditujukan untuk menaikkan taraf hidup orang Jawa dan Madura daripada mewujudkan kesatuan Indonesia.

Politik Etis dan Pengaruhnya Terhadap Priyayi
Budi Utomo lahir dari latar belakang semakin berkembangnya pendidikan Barat di Indonesia. Sistem pendidikan ini memberikan kesempatan bagi kalangan bawah untuk menaikkan status sosialnya. Hal ini dikarenakan Belanda memberikan syarat bagi pelamar jabatan pemerintahan untuk menempuh pendidikan Barat agar mempunyai keterampilan menulis, berhitung, dan mempunyai pengetahuan sekadarnya untuk bahasa Belanda. Meskipun keluarga bupati kaya menyewa guru-guru pivat, terbuka jalan untuk memasuki pendidikan Barat formal bagi anak-anak pribumi melalui lembaga seperti sekolah bagi anak-anak pembesar (hoofdenschool), sekolah pendidikan guru (kweekschool), sekolah dokter (dokter djawa school).
Tulisan C. Th. Van Deventer pada tahun 1899 mampu memberikan pengaruh besar bagi perubahan kebijakan politik kolonial. Dalam karangannya yang berjudul ” Utang Budi” ia berpendapat bahwa Belanda berutang kepada Hindia atas keuntungan-keuntungan yang diperoleh selama dasawarsa-dasawarsa yang lalu. Pidato Ratu Wilhelmina dari takhta tahun 1901 menjadi awal diterapkannya politik etis yang sekaligus menggantikan politik liberal (Nagazumi, 1989: 27)
Politik Etis membawa dampak munculnya "priyayi jawa baru" atau priyayi rendahan yang memiliki pandangan bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan. Dilatar belakangi situasi ekonomi yang buruk di pulau Jawa akibat eksploitasi penjajah Belanda menyebabkan banyak anak priyayi rendahan yang pandai namun tidak dapat meneruskan sekolah karena tidak ada biaya.[2]
Pada dasarnya politik Etis bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi dan berangsur-angsur menumbuhkan otonomi serta desentralisasi politik dari Hindia Timur Belanda , tanpa bermaksud memberikan kemerdekaan politik sepenuhnya. Di awal pelaksanaannya desentralisasi lebih diutamakan untuk pengalihan kekuasaan pemerintah dari Negeri Belanda ke Hindia sebagai pertimbangan atas perkembangan pemerintah kolonial lain di Asia Tenggara.
Tuntutan sejumlah besar orang Jawa terpelajar untuk mengabdikan diri di dalam tubuh pemerintahan semakin meningkat seiring berkembangnya desentralisasi dan ekspansi birokrasi kolonial ke dalam lapangan- lapangan baru. Sedangkan menurut kacamata pemerintah kolonial, yang pantas mengisi jabatan itu adalah para pembesar pribumi dan bawahan mereka yang masih bekerja.
Istilah priyayi sendiri yang semula bermakna para saudara sang raja mulai kehilangan konotasinya setelah bertahun-tahun lamanya. Akhirnya golongan priyayi digunakan untuk menyebut secara kolektif terhadap elit Jawa, termasuk di dalamnya para bupati.
Walaupun pada tahun 1864 secara teoritis sekolah-sekolah dasar Eropa terbuka bagi anak-anak pribumi, namun belum mampu menjawab masalah pendidikan yang ada. Selain jumlah sekolah yang terlalu sedikit, ternyata brokrasi pemerintahan membatasi jumlah anak-anak pribumi untuk bersekolah dan umumnya hanya golongan priyayi tinggi saja yang masuk sekolah tersebut. Selama bertahun-tahun guru Eropa pun cenderung membatasi penerimaan murid dari kalangan anak-anak pribumi dengan barbagai dalih. Namun alasan yang sebenarnya adalah para pejabat pemerintahan Belanda merasa muak terhadap gagasan tentang pribumi berbicara Belanda (Nagazumi, 1989: 23)
Seiring perkembangannya, sistem pendidikan bagi pribumi Jawa mulai mendapatkan kepastian. Setelah membentuk departemen pendidikan yang berdiri sendiri pada tahun 1867, pemerintah mulai mengatur pendidikan pribumi dalam maklumat kerajaan tahun 1871.
Sebagai dampak perbaikan dan pembaruan dalam sistem pendidikan telah mempercepat erosi terhadap kedudukan istimewa kaum bangsawan tradisional. Akhir abad ke-19 menggantikan hierarki tradisional masyarakat Jawa menuju kehancurannya. Pendidikan formal menurut pola Barat telah menjadi suatu kewajiban bagi orang-orang Jawa yang menginginkan perbaikan kedudukan dalam masyarakat kolonial.

Menilik Awal Pembentukan Budi Utomo
Tiga dasawarsa pertama abad XX tidak hanya menjadi saksi penentuan wilayah Indonesia yang baru dan pernyataan kebijakan pejajahan yang baru. Permasalahan dalam masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan besar yang berakibat pada pengambilan jalan baru dalam bidang politik, budaya dan agama.
Munculnya ide-ide baru tentang organisasi dan dikenalnya definisi-definisi baru dan lebih canggih tentang identitas menjadi kunci perkembangan yang terjadi. Wacana mengenai bentuk kepemimpinan yang berbeda dan analisis mendalam tentang lingkungan agama, sosial, pollitik dan ekonomi memberikan pemahaman baru untuk menyikapi penjajah.
Kalangan priyayi ’Jawa baru’ atau yang ’lebih rendah’, pejabat-pejabat maju yang memandang poendidikan sebagai kunci menuju kemajuan adalah kelompok pertama yang membentuk suatu organisasi yang benar-benar modern. Pada awal abad XX dari kalangan-kalangan atas pemerintahan (priyayi) yang berada di lingkungan kaum abangan[3] muncul pemikiran bahwa pendidikan Barat akn memberikan kepada mereka sebuah kunci menuju suatu perpaduan baru yang mereka anggap sebagai dasar bagi suatu permajaan kembali terhadap kebudayaan, kelas dan masyarakat mereka (Ricklefs, 2005: 248).
Dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917) merupakan tokoh pembangkit semangat organisasi yang beranggotakan para priyayi tersebut. Seorang lulusan sekolah dokter Jawa ini pernah menjabat menjadi redaktur majalah Retnadhoemilah[4] yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk kalangan pembaca priyayi.
Wahidin yang juga merupakan seorang pemain musik Jawa klasik (gamelan) dan wayang memandang bahwa kebudayaan Jawa yang dilandasi oleh ilham Hindu-Budha. Sebagian penyebab kemerosotan masyarakat Jawa menurutnya adalah karena kedatangan Islam. Sehingga ia berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Belanda (Ricklefs, 2005: 249). Klaim ini dipertanyakan sejarawan Australia, Adrian Vickers. Di dalam tulisan Wahidin ataupun Soetomo, ujarnya, tidak ditemukan unsur anti-Islam kecuali mengagumi Islam ala Jawa.
Wahidin brusaha menghimpun beasiswa guna memberikan pendidikan Barat kepada golonan priyayi Jawa. Tetapi hanya segelintir pejabat-pejabat dan generasi tua atau kelas bupati yang bergairah. Elite yang bersifat turun-menurun ini sebenarnya cenderung merasa takut adanya persaingan yang akan mereka hadapi dari golongan priyayi rendah yang sedang tumbuh. Pada tingkatan tertinggi masyarakat Jawa, hanya seorang pangeran dari garis keturunan Pakualam di Yogyakarta yang mendukungnya.
Tahun 1907 Wahidin berkunjung ke STOVIA dan melihat adanya semangat dari murid-murid sekolah tersebut untuk mewujudkan cita-citanya. Dengan dukungan para siswa dari beberapa sekolah menengah di Jawa, BO resmi dibentuk di aula Sekolah Dokter Pribumi, Batavia, tepat hari Minggu, 20 Mei 1908. Dewan pengurusnya pun dipilih dari mereka juga. Mereka pun menyiarkan peristiwa itu lewat suratkabar, hal yang membanggakan waktu itu. Apalagi dalam siaran itu dinyatakan terus-terang bahwa tujuan BO adalah “kemajuan bagi Hindia”, bukan sekedar “kemajuan bagi Jawa”. Siaran ini tentu berpengaruh besar pada para bangsawan.
Sadar sebagai siswa sekolah dokter tidak memiliki waktu mengurus BU, para pemimpin itu sepakat hendak menyerahkan organisasi itu ke tangan para pembesar juga. Untuk itu mereka mempersiapkan kongres pertama di Yogyakarta, 3-5 Oktober 1908. Para siswa ini harus menanggung dana kongres dan menemui serta membujuk para pembesar itu. Itu berarti pengorbanan besar bagi mereka karena terpaksa menyisihkan uang dari beasiswa yang pas-pasan atau menjual barang berharga seperti arloji dan pakaian.
Para bangsawan tinggi menerima kepengurusan organisasi itu dengan senang hati, tetapi menolak usul dr. Cipto Mangunkusumo agar BO tidak terbatas sebagai organisasi sosial bagi orang Jawa saja, tetapi agar menjadi partai politik berdasarkan “persaudaraan nasional tanpa pandang bangsa, kelamin, atau kepercayaan.” Mereka hanya bisa berjanji akan mempertimbangkan usul itu kelak.
Budi Utomo memberikan usulan program kepada pemerintah Hidia Belanda sebagai mana berikut ini :
1. Meninggikan tingkat pengajaran di sekolah guru baik guru bumi putera maupun sekolah priyayi.
2. Memberi beasiswa bagi orang-orang bumi putera.
3. Menyediakan lebih banyak tempat pada sekolah pertanian.
4. Izin pendirian sekolah desa untuk Budi Utomo.
5. Mengadakan sekolah VAK / kejuruan untuk para bumi putera dan para perempuan.
6. Memelihara tingkat pelajaran di sekolah-sekolah dokter jawa.
7. Mendirikan TK / Taman kanak-kanak untuk bumi putera.
8. Memberikan kesempatan bumi putra untuk mengenyam bangku pendidikan di sekolah rendah eropa atau sekolah Tionghoa - Belanda.
Liesbeth Hesselink, sejarawan Belanda yang menerbitkan buku tentang Dokter Jawa dan politik kesehatan kolonial Hindia Belanda dari tahun 1850 sampai 1915 berpendapat bahwa ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan para dokter Jawa bersikap nasionalis. Salah satunya adalah perbedaan tingkat gaji antara dokter Jawa dengan dokter Eropa.
Pada jaman koonial, para dokter Jawa memperoleh pendidikan lengkap, tetapi gaji mereka tidak setinggi gaji dokter Belanda. Alasan mengapa dokter Jawa digaji lebih rendah dari dokter Belanda, Hesselink menegaskan waktu itu orang berpendapat, orang Eropa butuh uang lebih banyak daripada orang Indonesia. Lagi pula orang-orang Indonesia yang menjalani pendidikan dokter di Belanda, tidak banyak jumlahnya, memang mendapat pekerjaan dan gaji yang sama dengan dokter Belanda. Akan tetapi mereka tidak ditempatkan di Jawa, melainkan harus ke Banda, Papua, atau daerah-daerah terpencil lainnya.
Fenomena ini dianggap sebagai diskriminasi dan menyebabkan ketegangan. Menurut Hesselink, ketegangan itu menyebabkan lulusan STOVIA menjadi nasionalis. STOVIA dianggap sebagai tempat pembiakan nasionalisme. Banyak kalangan nasionalis itu pernah mengecap pendidikan STOVIA.

Dinamika Organisai Budi Utomo
Kongres pertama budi utomo diadakan di Yogyakarta pada oktober 1908 untuk mengkonsolidasikan diri dengan membuat keputusan sebagai berikut :
1. Tidak mengadakan kegiatan politik.
2. Bidang utama adalah pendidikan dan kebudayaan.
3. Terbatas wilayah jawa dan madura.
4. Mengangkat R.T. Tirtokusumo yang menjabat sebagai Bupati Karanganyar sebagai ketua.
Sekitar tanggal 28 Desember 1908 Budi Utomo memperoleh pengakuan (rechts persoon) pemerintah Hindia Belanda. Walaupun ruang lingkup organisasi ini lebih menekankan terhadap kemajuan di Jawa dan Madura, namun mampu memberi ilham bagi tumbuhnya organisasi bumi putera lainnya. Inilah kiranya yang dapat dipandang sebagai bangunnya pergerakan bumiputera di Hindia Belanda. Dengan kata lain, timbul semangat dan tekad untuk maju dalam jiwa bumiputera.
Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan "priayi" atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata.
Walaupun dalam perkembangannya Budi Utomo memiliki cabang-cabang yang cukup banyak, langkah perjuangannya belum mengalami perubahan dan masih ditempuh dalam bidang sosial-budaya. Hubungan organisasi ini dengan pemerintah cukup dekat, mengingat para pengurusnya sebagian besar terdiri dari para pegawai pemerintah. Oleh karena itu Budi Utomo terkesan lamban dan hati-hati.
Suatu kelompok minoritas yang dipimpin oleh dr. Tjipto Mangunkusumo (1885-1943) merasa tidak puas dengan pola gerak organisasi ini ahirnya memutuskan untuk keluar dari keanggotaan. Dia ingin Budi Utomo menjadi partai politik yang berjuang untuk mengangkat rakyat pada umumnya daripada hanya golongan priyayi dan kegiatan-kegiatannya lebih tersebar di seluruh Indonesia daripada terbatas di Jawa dan Madura saja.
Tokoh lain yang turut merasa kurang puas dengan hasil yang dicapai Budi Utomo adalah Dr. Radjiman Wediodiningrat (1879-1951). Dia dipengaruhi kebudayaan Jawa, dialektika G. W. F. Hegel, subyekitivisme I. Kant dan ahli nasionalisme H. Bergson, serta sudah menganut doktrin-doktrin Teosofi[5] sebagai perpaduan Timur dan Barat (Ricklefs, 2005: 248).
Baik Tjipto maupun Radjiman tidak berhasil mendapatkan kemenangan. Tjipto tampaknya merupakan seorang radikal yang berbahaya dan Radjiman adalah seorang reaksioner yang kaku. Tjipto yang sebenarnya terpilih menjadi anggota dewan dalm kelanjutan organisasi tersebut memilih untuk keluar pada tahun 1909 dan bergabung dengan Indische Partij yang radikal.
Ketika itu peraturan pemerintah, yaitu Regeerings Reglement pasal 111, melarang didirikannya perkumpulan politik atau perkumpulan yang dianggap bisa menganggu ketenteraman umum. Bahkan pembicaraan yang menyangkut masalah-masalah politik dianggap tabu. Ada pendapat bahwa taktik yang digunakan guna menembus peraturan itu adalah dengan mencantumkan tujuan organisasinya pada segi sosial budaya itu sendiri. Jadi, mereka berusaha menghindari pembicaraan yang menyangkut hal-hal yang bersifat politis.
Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut baik Budi Utomo sebagai tanda keberhasilan politik Etis. Itulah yang dikehendakinya: suatu organisasi pribumi yang progresif-moderat dan dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Sedangkan para pejabat Belanda lainnya menganggap Budi Utomo sebagai gangguan yang potensial.
Misi delegasi prubumi yang dikirim oleh komisi pertahanan Hindia ke Negeri Belanda tahun 1916-1917, menandai diawalinya periode paling berhasil dalam sejarah Budi Utomo. Wakil Budi Utomo dalam delegasi ini adalah Dwidjosewojo yang terbukti sangat berhasil dalam wawancaranya dengan pejabat-pejabat penting Belanda (Nagazumi, 1989: 254).
Pendapat menteri urusan tanah jajahan yang diutarakan kepada Dwidjosewojo menyatakan bahwa Volksraad yang masih dalam perdebatan di Staten Generaal kelak berangsur-angsur akan menjadi sebuah badan perwakilan rakyat. Undang-undang untuk milisi pribumi tidak diterima oleh Staten Generaal, tetapi undang-undang pembentukan Volksraad ditetapkan pada bulan Desember 1916.
Masa ketika Pemerintah dipimpin oleh gubernur jenderal Fock dan diterapkannya pengurangan besar-besaran anggaran biaya pendidikan serta berbagai kebijakan sosial lainnya, menyebabkan perpecahan yang terus-menerus antara elemen-elemen moderat dan radikal di dalam Budi Utomo. Akibat perpecahan ini Budi Utomo tidak dapat melakukan tindakan apapun yang menentukan. Babak yang serba bimbang dan tiada daya ini terus berlangsung hingga organisasi ini berfusi ke dalam Parindra (Partai Indonesia Raya) pada tahun 1935.

Kontoversi Budi Utomo
· Aliran Pro Budi Utomo
Meski telah lama bubar, BU tetap menjadi salah satu organisasi pra revolusi yang terus populer bahkan hingga satu abad sejak kelahirannya. Pasalnya pada hari kelahirannya, yaitu 20 Mei 1908, bangsa atau tepatnya pemerintah kita telah lama berkeyakinan sebagai momen yang tepat dan pantas diperingati sebagai hari bangkitnya nasionalisme bangsa Indonesia. Salah satu dalilnya, menurut sejarawan Prof. Dr. Suhartono, Budi Utomo lah penyebab berlangsungnya perubahan-perubahan politik sehingga terjadinya integrasi nasional. Wajar saja apabila kelahiran BU tanggal 20 Mei disebut hari kebangkitan nasional karena BU diakui menampilkan fase pertama dari nasionalisme Indonesia.
Kedudukannya secara politik memang kurang begitu penting serta tidak ada dukungan massa. Walau demikian, Sartono (1977:187) dalam buku ”Sejarah Nasional Indonesia V” tahun menilai dalam tubuh Budi Utomo telah ada benih semangat nasional yang pertama. Karena hal itulah organisasi ini dapat dipandang sebagai induk pergerakan nasional, yang kemudian muncul dalam tubuh Sarekat Islam dan Indische Partij.
Dalam sebuah buku berjudul ”Pergerakan Nasional Mencapai dan Mempetahankan Kemerdekaan” tahun 2002 karangan Sudiyo disebutkan bahwa Budi Utomo bukan tidak mau bergerak dalam bidang politik, tetapi tidak boleh terlalu cepat. Sejak awal tujuan Budi Utomo pada prinsipnya unutk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi masih banyak segala sesuatu yang diperlukan dan harus tetap bekerja sama dengan pihak pemerintah. Lebih baik ”Biar lambat asal selamat, daripada hidup sebentar mati tanpa bekas”.
Cara-cara moderat namun bersemangat yang digunakan Budi Utomo dalam perdebatan nasional tentang sistim milisi pribumi dan Volksraad menumbuhkan keyakinan pada pemerintah kolonial bahwa Budi Utomo adalah organisasi pribumi di Hindia yang paling (jika tidak satu-satunya) bertanggung jawab dan terpercaya (Nagazumi, 1989: 254)
Menurut Liesbeth Hesselink, alasan mengapa kalangan STOVIA ini kebanyakan menempuh jalan yuridis adalah sebagai berikut:
”Begini ya, mereka melakukan protes dengan sopan. Masalahnya adalah, ketika berada di Belanda, mereka tidak mengalami diskriminasi dibandingkan dengan ketika mereka kembali ke kampung halaman. Di satu pihak mereka mendirikan organisasi sendiri, yaitu organisasi Dokter Jawa, untuk memperbaiki posisi mereka dan memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka menempuh jalan yuridis untuk memperoleh persamaan hak dengan dokter Belanda. Mereka tidak turun ke jalan. Ingat, mereka ini dokter, orang terhormat. Protes ke jalan juga tidak ada gunanya, karena jumlah mereka tidak banyak.”
Sedangkan yang disebut jalan hukum itu adalah berbagai surat yang mereka kirim. Misalnya surat permohonan untuk menjadi penilik kesehatan. Kalau ditolak, mereka terus mengirim surat lagi. Dengan cara inilah mereka berupaya memperoleh persamaan hak dengan dokter Belanda.
Adrian Vickers mengemukakan bahwa lahirnya Budi Utomo bisa dipertimbangkan sebagai hari jadi Indonesia karena organisasi modern yang pertama ini menggunakan bahasa Melayu dan menggemakan rasa cinta tanah air. Menurut Vickers, organisasi ini bersifat politis juga karena memajukan kaum cendekiawan.
· Kelompok Kontra Budi Utomo
Sejatinya sebuah bangsa yang besar selalu menghargai sejarah bangsanya sendiri sebagai identitas dan kompas dalam pembangunan. Mengutip kata-kata Mr. Sjafruddin Prawiranegara (almarhum), mantan Presiden PDRI menyampaikan moto, "Sejarah adalah pedoman untuk membangun masa depan.” Demikian pula dengan kasus pendirian Budi Utomo itu sendiri. Penelitian tentang Boedi Utomo masih terasa sangat kurang hingga cenderung mengaburkan.
Berbeda dari pendapat-pendapat sebelumnya, sejarawan A.K. Pringgodigdo menyatakan bahwa walaupun Budi Utomo merupakan perkumpulan untuk seluruh jawa dan oleh karena itu bermula mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa perantaraan, tetapi sudut sosio kultural Budi Utomo hanya memuaskan untuk penduduk Jawa Tengah. Pendapat hampir senada disampaikan sejarawan M.C. Ricklefs, yang salah satu intinya mengungkapkan bahwa Budi Utomo adalah organisasi kaum priyayi Jawa.
Ø Aliansi Pendukung Sarekat Islam
Mengingat paham feodal dan keningratan Boedi Utomo yang mengkhususkan diri beranggotakan orang jawa dan Madura menimbulkan pertanyaan sendiri. Porsi peristiwa tanggal 20 Mei 1908 perlu dikembalikan kepada porsi peristiwa pada saat itu dengan menghilangkan unsur pemaksaan makna suatu peristiwa. Pertanyaan kritis perlu diajukan, apakah layak Budi Utomo diangkat ke atas podium simbol pergerakan bangsa dengan mengesampingkan sebuah organisasi islam pada masa itu SI (Sarekat Islam) yang lebih berpaham nasionalis ketimbang kesukuan? Bukankah nasionalisme itu merupakan sebuah tujuan politik agar sebuah negeri bebas dari penjajahan?
Sebelum Budi Utomo lahir, terdapat organisasi lain yang di antaranya bergerak dalam bidang pendidikan. Pertama, Tiong Hwa Hwee Koan, yang dibentuk pada 1901 dan mendirikan sekolah-sekolah bagi keturunan Tionghoa. Kedua, Jamiat Khair, organisasi keturunan Arab yang didirikan pada 1905, yang juga menyediakan sekolah bagi kalangan mereka. Tentu kedua organisasi itu tidak dapat disebut sebagai pelopor kebangkitan nasional.
Tidak sedikit pendapat yang mengutarakan bahwa organisasi Budi Utomo sama sekali tidak pantas dijadikan tonggak kebangkitan nasional karena Budi Utomo tidak pernah membahas kebangsaan dan nasionalisme serta mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia dan anti agama. Bahkan sejumlah tokohnya diketahui sebagai anggota Freemasonry. Semua inilah yang mengecewakan dua pendiri Budi Utomo sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya akhirnya hengkang dari Budi Utomo. Sekretaris BU (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo.hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” karya Dr. Th. Stevens, sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.
Tak hanya bersifat kedaerahan, sebagian tokoh-tokoh BU menganggap Islam sebagai halangan. Isu sikap anti agama BU dibenarkan oleh sejarawan Hamid Algadrie dan DR. Rajiman. Ini sebagian contohnya yang terungkap adalah seperti yang diungkap Noto Soeroto, salah seorang tokoh BU, didalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata , “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya. Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”
Sedangkan menurut sejarah, SI yang kemudian merubah namanya menjadi SDI (Sarekat Dagang Islam) didirikan pada 16 Oktober 1905, tiga tahun lebih awal sebelum Budi Utomo. Sejak lahirnya, SI telah dianggap sebagai sebuah “banjir besar”, dalam artian massa dapat dimobilisasi secara besar-besaran baik dari kota maupun dari desa. Pergerakan semacam ini tentunya dianggap sebagai ancaman serius oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sayangnya perkembangan SI yang demikian cepat tidak diikuti oleh cepatnya pengertian dan kesadaran sepenuhnya dari para pengikut pergerakan tentang tujuan dan kegiatannya. Belakangan timbul berbagai aksi-aksi yang bersifat lokal dan mengatasnamakan SI yang sesungguhnya menyimpang dari tujuan SI sebenarnya. Menyikapi hal ini, pemerintah kolonial menerapkan ketentuan hanya mengakui SI lokal, sehingga organisasi SI kemudian terisolasi satu sama lain. Dengan demikian SI terpecah belah dan tidak dapat berkembang sebagai sebuah gerakan nasional.
Sebuah website (www.eramuslim.com) memandang kelahiran SI yang dimotori oleh Haji Samanhudi dan kawan-kawan lahir karena semangat kebangsaan yang tinggi. Gerakan yang dipelopori oleh tokoh-tokoh islam ini dengan jelas mengusung anti penjajah. Dikatakan pula bahwa SI lebih pantas dijadikan tonggak sejarah dari pada Budi Utomo yang dianggap sebagai antek penjajah.
Safrizal Rambe, dalam bukunya "Sarekat Islam, Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, 1905-1942" menegaskan Sarekat Islam justru memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pergerakan nasional. Organisasi itu sejak lahirnya telah memperjuangkan emansipasi soial politik masyarakat Indonesia pada saat itu.
Dukungan kepada SI juga disampaikan dalam buku “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun 1924 memaparkan:
“BO tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya” memang pada pasal 2 anggaran dasar BO yang ditulis dalam bahasa belanda, tercantum “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. ”
Beliau lebih menekankan bahwa inilah tujuan Budi Utomo, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.
Karena sikapnya yang cenderung kooperatif dengan Belanda berakibat baik bagi para anggota Budi Utomo tersebut. Tidak satupun dari anggota Budi Utomo yang ditangkap ataupun dibuang kedigul oleh Belanda. Asas kedaerahan dan kesukuan yang sempit ini pula yang kemudian mengecewakan dua orang tokoh Budi Utomo sendiri Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, yang akhirnya memutuskan untuk keluar dari Budi Utomo.
Berbeda dengan Syarekat Dagang Islam yang lebih berasaskan kebangsaan susunan para pengurus SDI tidak terfokus pada suku jawa atau Madura saja, pengurus SDI terdiri dari berbagai macam suku Indonesia seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku.
Masih dalam bukunya pula KH. Firdaus AN melanjutkan:
“Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka. ”
Ø Pendukung Konggres Pemuda Sebagai Tonggak Kebangkitan Nasional
Dalam sisi yang berbeda, terdapat kelompok yang menjadikan Konggres Pemuda[6] 28 Oktober 1928 sebagai tonggak awal kebangkitan nasional. Salah satunya adalah Syafi’i Ma’arif yang menegaskan bahwa memang BU telah berjasa dengan caranya sendiri, tak seorang pun yang dapat menyangkal. Begitu juga gerakan pemuda kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Sumateranen Bond, dan Jong Islamieten Bond dalam kapasitasnya masing-masing tentu telah pula berjasa dalam upaya penyadaran dan pencerahan kelompok masing-masing dalam suasana kolonial yang masih mencekam. Dengan Sumpah Pemuda, semua gerakan kedaerahan ini, sekalipun dengan susah payah, akhirnya meleburkan diri dan bersepakat untuk mendeklarasikan trilogi pernyataan yang tegas-tegas menyebut tumpah darah/tanah, bangsa, dan bahasa Indonesia. Sumpah ini didukung oleh berbagai anak suku bangsa dan golongan.
Sebelum 28 Oktober 1928, terdapat tiga organisasi yang memakai nama Indonesia. Partai Nasional Indonesia didirikan Soekarno pada 1927. Di Negeri Belanda, Indische Vereniging berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1925. Sebelumnya, Perserikatan Komunis Hindia Belanda mengadakan Kongres di Jakarta pada Juni 1924 dan selanjutnya menggunakan nama Partai Komunis Indonesia. Partai yang revolusioner ini pada 1926/1927 memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda di Banten dan Silungkang, Sumatera Barat. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan, para aktivis antipenjajahan itu dibuang ke Digul, Papua. Tentu para Digulis itu adalah perintis kemerdekaan nasional yang patut dikenang.[7]
Ø Pandangan Lain Terkait Hari Kebangkitan Nasional
Sebagai gagasan kreatif maka gerakan nasionalisme itu mula-mula berasal dari individu-individu dan bukan dari organisasi manapun. Boleh jadi, organisasi merupakan arena tempat gagasan-gagasan individual itu dikembangkan, ditentang dan dikritik, digumuli, didialogkan ataupun disepakati. Tapi esensi dari gagasan-gagasan itu tetap bermula dan dikembangkan oleh individu. Kalaupun ada media massa yang didirikan ataupun didukung oleh organisasi maka yang pertama-tama dilihat dalam media itu bukanlah gagasan-gagasan “nasion yang dibayangkan” oleh arganisasi, melainkan oleh individu-individu. Oleh karena itu tidak tepat menulusuri gerakan nasionalisme awal dengan bertumpu pada organisasi sehingga peran individu terabaikan, baik individu yang berada di dalam organisasi yang sudah dikenalkan, organisasi yang tidak dikenal luas ataupun mereka yang banyak tidak berada di dalam organisasi manapun.[8]
Dengan dasar pemikiran ini maka gerakan nasionalisme sebenarnya menyebar dibanyak tempat, dibanyak organisasi yang sudah dikenal maupun belum dikenal, di media yang merupakan bagian dari oraganisasi ataupun media independent. Jika kita melihat sejarah pers yang muncul sejak akhir abad ke 19 dan awal abad 20 maka nampak gagasan itu tidak hanya menyebar di pulau Jawa, tapi juga muncul menyebar di berbagai kota dari mulai Medan, Padang, Menado ataupun Makassar untuk menyebut beberapa kota besar. Tidak hanya di kota besar tapi juga Porsea, Balige, Solok, Lubuk Sikaping ataupun Sigli untuk menyebut beberapa kota kecil atau hanya sekedar sebuah desa, yang lewat media meniupkan gagasan-gagasan “nation yang dibayangkan” kepada pembaca media itu.
Dengan demikian gerakan nasionalisme Indonesia tidak dapat ditentukan tonggaknya, tidak dapat ditetapkan organisasi atau tokoh yang melahirkannya, tidak ada tempat start dan tanggal lahirnya. Gerakan nasionalisme Indonesia adalah mozaik yang terjadi diberbagai tempat dalam berbagai gelombang waktu tanpa ada pusat, tokoh atau organisasi yang dapat diklaim sebagai pionir yang menggerakkannya.
Jebakan Rezim[9]
Mengenai kontroversi terhadap Budi Utomo, sejarawan Rushdy Hussein menegaskan munculnya momen kebangkitan nasional pada tahun 1948 atas usul Ki Hajar Dewantoro dipicu dari keadaan politik Indonesia yang belum stabil sebagai negara yang baru lahir. Pertikaian antar partai politik kala itu semakin menambah suramnya masa depan bangsa. Maka pemerintah memutuskan untuk menjadikan 20 mei sebagai hari kebangkitan nasional. Dengan harapan pertikaian antar partai kala itu bisa teredam dengan momen tersebut. Kepanitiaanpun dibentuk dengan keanggotaan yang multi partai.
Namun ada hal yang dilupakan dalam peristiwa tersebut, tambah Hussein. Presiden Soekarno pada tahun 1948 dalam pidatonya satu machtspolitiek (Politik Kekuasaan) sudah mengimbau agar tanggal tersebut kelak ditinjau kembali. Jadi 20 Mei belum tentu tepat sebagai lambang kebangkitan nasional.
Para penulis buku sejarah jaman Orde Baru banyak yang menganggap BU adalah organisasi Nasional yang banyak mempengaruhi perkembangan pola pikir para politisi negeri ini dalam perjuangan kemerdekaan. Meski secara resmi dibubarkan pada tahun 1935, namun BU dianggap masih tetap eksis hingga masa mendekati proklamasi kemerdekaan. Karena hal itu para penulis sejarah jaman Orde Baru menganggap bahwa hari kelahiran BU memang pantas dijadikan sebagai hari Kebangkitan Nasional.
Dalam teori harmoni rezim Orde Baru, penetapan kelahiran Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional merupakan kebijakan yang cocok dengan program stabilitas nasional (Adam, 2007: 26). Orde Baru selalu menekankan kenaifannya dengan mengatakan bahwa Budi Utomo tidak bersifat kedaerahan, suatu fakta yang dipaksakan dalam kasus ini. Adam mengatakan bahwa bingkai sejarah lama sudah retak dan perlu dipikirkan perspektif lain dalam masalah "apa yang disebut dengan Hari Kebangkitan Nasional".
Rezim Orde Baru dengan teori harmoninya sering melakukan pendangkalan-pendangkalan fakta dalam pemahaman sejarah. Buku ”Seabad Kontroversi Sejarah” cukup banyak menyebutkan kasus-kasus penulisan dan pemaksaan sejarah sebuah rezim Orde Baru. Seperti pada sebuah wacana apakah benar Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun? Apa titik temu kolektif dalam menjelaskan peristiwa 1965-1966?
Suatu contoh lain pemaksaan sejarah yang juga disebutkan dalam buku yang sama adalah bagaimana mungkin sebuah bangsa yang religius menetapkan Kartini yang agnostik sebagai pejuang perempuan dan diperingati dengan simbol Hari Kartini. Bukankah banyak pejuang perempuan Indonesia yang terlibat dalam strategi perang secara fisik dengan kolonial dan mempunyai sebuah tujuan jelas mengusir mereka dari Nusantara ini tidak ditetapkan sebagai hari perempuan, bukankah mereka perempuan cerdas dan bisa memimpin ribuan laki-laki dalam peperangan, dan apa yang dilakukan Kartini dalam hal ini?
Simpulan
Perkembangan pendidikan Barat yang pada prinsipnya tidak memperhatikan kelas sosial telah menarik simpati dari kalangan priyayi rendahan. Semangat zaman, yaitu sikap liberal, humanis, sekuler dan progresif turut menginspirasi para priyayi.
Kemajuan nasional negeri-negeri Asia telah berperan membangkitkan hasrat maju di kalangan kaum terpelajar Jawa. Siswa-siswa dokter djawa school yang kemudian terkenal dengan nama STOVIA memainkan peranan penting dalam gerakan progresif di kalangan orang Jawa. Budi Utomo pun lahir dari propaganda dokter Wahidin yang bercita-sita hendak mengangkat derajat bangsanya.
Sikap luwes kaum priyayi Jawa dalam menghadapi kondisi sosial yang berubah cepat terlihat jelas di sepanjang dasawarsa permulaan sejarah Budi Utomo. Cita-cita pendidikan untuk membangun bangsa dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dari kebangkitan kelas menebgah pribumi dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi yang dengan sendirinya menggejala untuk mengejar pendidikan Barat tersebut.
Watak Budi Utomo selama sepuluh tahun yang tidak menentu itu seharusnya dipandang sebagai suatu kemajuan priyayi Jawa yang relatif lurus walaupun perlahan, setelah mereka menjadi sadar bahwa ada berbagai cara untuk mencapai cita-cita sosial.
Beragam kontroversi tentang manakah yang layak menjadi landasan kebangkitan nasional semakin marak dan terang-terangan, khususnya setelah bergulir era reformasi. Perdebatan tentang lahirnya BU, SI/SDI atau bahkan Kongres Pemudakah yang harus menjadi tonggak awal kebangkitan masih ramai dibicarakan.
Berbagai pandangan sejarah memang tidak dapat dipaksakan untuk setiap orang. Masing-masing individu mempunyai landasan pemikiran dan hak untuk menyikapi sebuah peristiwa sejarah. Tidak adil ketika kita menilai suatu peristiwa sosial hanya dari satu sisi saja dan menolak sisi yang lainnya.
Dalam menilai bobot Budi Utomo, orang hendaknya tidak menghakiminya terlampau keras karena ketidakberhasilannya memberikan sebuah program politik yang konkret. Konsep program politik seperti itu belum pernah ada di Jawa sepanjang masa sebelum lahirnya organisasi ini. Kenyataan Budi Utomo tidak mempunyai pemimpin yang berkharisma dan dinamis sangat relevan dengan kondisi sering munculnya tokoh yang kharisma seperti itu di sepanjang sejarah Jawa.
Sikap moderat Budi Utomo sampai saat Perang Dunia I pun tidak bisa dilihat semata-mata sebagai akibat dari naluri kelas priyayi yang gila kedudukan atau sikap penyelamatan diri. Sikap moderat bukanlah suatu keahlian yang didikkan bagi priyayi, tetapi suatu naluri yang mengakar dalam-dalam pada etos Jawa
Bagaimanapun juga para ahli sejarah sendirilah yang pertama-tama mengakui bahwa tidak ada tulisan sejarah yang betul-betul lurus dan sempurna. Dalam pengantar buku karangan B.M. Diah ”Meluruskan Sejarah” tahun 1917, Alfian menambahkan karena hal itulah sejarah merupakan salah satu bidang studi bagaikan sumur penelitian yang tak pernah kering atau lahan pengkajian yang tak pernah habis.
Filsafat Hegel mengungkapkan bahwa sejarah terus bergerak maju karena ada kepentingan-kepentingan dan pandangan-pandangan yang bertentangan. Kontroversi tentang pantas tidaknya kelahiran Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional justru merupakan wujud dari sebuah kebangkitan itu sendiri.
Di tengah perdebatan tentang hari kebangkitan nasional, Asvi setelah memberikan analisis dalam bukunya ”Seabad Kontroversi Sejarah” tahun 2007, berpendapat bahwa peringatan kebangkitan nasional tanggal 20 Mei dapat diteruskan, namun dengan menyandingkan SI dan BU sebagai dua organisasi perintis kebangkitan nasional Indonesia.
Tulisan ini disusun untuk membuka wacana kita bahwa tidak selamanya cerita tentang peristiwa sejarah yang kita dengar bahkan kita yakini selama ini adalah benar. Tentunya masyarakat sangat diharapkan dapat bersikap bijak dalam menyikapi perbedaan-perbedaan pandangan terhadap masalah yang ada.
Semakin banyak kita membaca berbagai versi buku sejarah akan melahirkan kedewasaan dalam berkesimpulan, bersikap, berhati-hati dalam melakukan vonis terhadap sebuah peristiswa dan yang lebih penting adalah kita diajak untuk memahami fakta adanya pluralitas dalam penulisan sejarah itu sendiri.
Berbagai perdebatan tentang penentuan hari kebangkitan nasional semacam ini tidak perlu terlalu dipermasalahkan sepanjang fakta dan sumber otentik sejarah telah dituturkan dengan jujur kepada masyarakat. Setelah itu kita serahkan kembali kepada masyarakat untuk menilainya.
Setiap pergerakan yang ada pada masa itu, SI maupun BU, sama-sama telah memberikan kontribusi signifkan berupa pencerahan akan arti kemerdekaan dan nasionalisme yang lebih elegan, sehingga muncul berbagai organisasi dan partai politik yang beragam hingga kemerdekaan diraih oleh bangsa kita pada tahun 1945.
Semua peristiwa sejarah pada masa lalu hendaknya dapat kita ambil hikmahnya. Karena pada prinsipnya sejarah itu sendiri mengandung wisdom (kearifan) dan virtue (kebajikan) untuk dijadikan pedoman, penilaian, dan dipedulikan agar manusia bertindak lebih baik dalam memetakan masa depan.




REFERENSI
Adam, Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Diah, B. M. 1987. Meluruskan Sejarah. Jakarta: Pustaka Merdeka.
Kartodirdjo, Sartono & Marwati Djoened Poesponegoro. 1997. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Jakarta: PT Temprint.
Ricklefs, M. C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rambe, Safrizal. 2008. Sarekat Islam, Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, 1905-1942. Jakarta: Kebangkitan Insan Cendekia,.
Sitorus, L. M. 1988. Sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Sudiyo. 2002. Pergerakan Nasional Mencapai dan Pemertaahankan Kemerdekaan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
http://www.bluefame.com/lofiversion/index.php/t103777.html
http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php…
http://www.eramuslim.com/…/8502074341-momentum-kebangkitan-…
http://id.wikipedia.org/wiki/Budi_Utomo
http://www.kompas.com/…/read/xml/2008/05/05/00264878/kipling.
http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php…
http://www.mailarchive.com/mediamusliminfo@go…/msg01664.html
http://www.mediabersama.com/index.php…
http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/…

0 komentar: