Nasionalisme ekonomi Pada awal kemerdekaan
Nasionalisme ekonomi Pada awal kemerdekaan Masalah-masalah ekonomi
yang dihadapi bangsa Indonesia setelah proklamasi cukup besar. Indonesia
mewarisi kondisi ekonomi yang sangat rancu dari pemerintah pendudukan Jepang. Hal ini
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
- Ketika menduduki Indonesia, Jepang menguras kekayaan alam Indonesia secara besar-besaran
- Perang Kemerdekaan memakan biaya yang cukup besar
- Perkebunan-perkebunan dan industri rusak berat
- Laju inflasi yang sangat tinggi, sebagai akibat beredarnya tiga mata uang sekaligus, yaitu uang uang de Javasche Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan uang pemerintahan pendudukan Jepang.
- Adanya blokade ekonomi yang dilakukan oleh pihak Belanda
Akibat blokade pihak Belanda, pemerintah
Indonesia akan kehilangan kepercayaan dari rakyatnya, sehingga memudahkan
Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Menghadapi kondisi
ekonomi yang mengalami krisis tersebut, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam
dan segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut : Pada bulan Juli 1946,
Menkeu Ir. Surachman dengan persetujuan BP KNIP mengadakan pinjamanan terkumpul
sebesar Rp. 500.000,00. Pada tanggal 1 Oktober 1945, dikeluarkan UU No. 17 tahun 1946 tentang
"Pengeluaran Oeang kertas Republik Indonesia (ORI) untuk menggantikan uang
Jepang. Pada tanggal 25 Oktober 1946 dikeluarkan UU No. 19 Tahun 1946 tentang
Penukaran Uang Jepang dengan ORI, dengan ketentuan sebagai berikut : Di Pulau Jawa Rp
50,00 uang Jepang disamakan dengan Rp 1.00 ORI Di luar Pulau Jawa dan
Pulau Madura Rp 100,00 uang Jepang disamakan Rp 1,00 ORI. Pada bulan Februari 1946
pemerintah melaksanakan konferensi ekonomi yang menghasilkan konsea sebagai
berikut :
- Bahan makanan akan ditangani oleh Badan Pengawasan Makanan Rakyat, yang kemudian diubah menjadi Badan Persediaan dan Pembagian Makanan (BPPM)
- Untuk meningkatkan produksi, maka perkebunan akan diawasi langsung oleh pemerintah.
- Dibentuk Badan Perencanaan Ekonomi
Menteri persediaan makanan rakyat I.J. Kasimo
membuat Kasimo Plan yang berisi hal berikut : Memperbanyak kebun bibit dan
padi unggul; Pencegahan
pengambilan hewan pertanian; Tanah-tanah terlantar haus ditanami kembali, terutama di Sumatera; Pemindahan penduduk
(transmigrasi) 20 Juta penduduk Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 10 - 15
tahun; Pelaksanaan
program rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA), yaitu mengurangi beban negara
dalam bidang ekonomi dan meningkatkan efisiensi angkatan perang. Mendorong para
pengusaha swasta untuk ikut serta dalam perkembangan ekonomi nasional dan
mengaktifkan kembali Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE), PTE merupakan wadah
pengusaha swasta, yang dibentuk sejak zaman Jepang. Gabungan perusahaan
perindustrian dan perusahaan penting, pusat perusahaan tembakau Indonesia,
Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) diaktifkan Kembali dalam
rangka menegakkan ekonomi Indonesia.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia tersebut ternyata berhasil mengatasi krisis ekonomi Indonesia.
Apalagi secara ekonomi Konferensi Meja Bundar yang selenggarakan di Den Haag
sangat merugikan pihak Indonesia sebab utang-utang Hindia Belanda dibebankan
kepada Pernerint RIS. Dalam kondisi ekonomi yang semakin parah ini masyarakat
mendambakan pembangunan ekonat nasional yang bebas dari gejolak ekonomi dunia.
Kemudian pemerintah mengambil aingkah-langq perbaikan ekonomi dengan be,rbagai
kebijakan sebagai berikut.
Gunting
Syafrudin
Untuk mengatasi defisit anggaran dalam upaya
mengurangi peredaran uang, Menkeu Syafrudin mengambil tindakan memotong uang
dengan memberlakukan setengahnya untuk mata uang bernilai Rp 2,50 ke atas yang
kemudian dikenal dengan istilah Gunting Syafrudin. Di bidang perdagangan luar
negeri, Pemerintah mengambil langkah mengeluarkan peraturan ekspor yang dilakukan dengan
sertifikat devisa. Guna meningkatkan ekspor nilai tukar rupiah diubah menjadi
Rp 7,60 setiap satu dolar untuk ekspor, dan Rp 11,80 setiap satu dolar untuk
impor. Pecahnya perang Korea pada bulan Mei 1950, mengakibatkan ekspor
Indonesia meningkat menjadi 243 % atau bernilai
115 juta dolar. Peristiwa ini dikenal sebagai Korea Boom.
Sistem
Ekonomi Gerakan Benteng
Memasuki tahun 1951 keadaan ekonomi Indonesia
tidak berambah baik melainkan bertambah merosot, faktor-faktor yang menyebabkan
kemerosotan antara lain sebagai berikut :
- Pendapatan pemerintah berkurang akibat menurunnya perdagangan internasional
- Ekonomi nasional terlalu tergantung pada ekspor hasil perkebunan
- Belum berkembangnya sektor produksi lain, seperti industri dan perdagargan
- Keamanan dalam negeri belum mantap
- Instabilitas politik
- Politik keuangan RI dibuat di negeri Belanda
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang terns
merosot, Soemitro Djoyohadikusumo, Menteri perdagangan pada masa Kabinet Natsir
berpendapat bahwa di Indonesia harus segera ditumbuhkan kelas pengusaha.
Sumitro kemudian dikenal dengan Gerakan Benteng (Benteng Group). Langkah yang
diambil Sumitro dalam membangun ekonomi nasional yaitu dengan memberi bantuan
kredit kepada pengusaha Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah. Diharapkan
secara bertahap pengusaha yang lemah akan berkembang maju, sehingga upaya mengubah
struktur ekonomi kolonial menuju struktur ekonomi nasional akan terwujud. Mulai
bulan April 1950 hingga tahun 1953 sekitar 700 pengusaha pribumi (Indonesia)
mendapat kredit dari program Gerakan Benteng tersebut. Dengan berpedoman bahwa
para pengusaha pribumilah yang dapat membangun perekonomian nasional, maka
Gerakan Benteng ini adalah kebjiakan untuk melindungi pengusaha pribumi agar
dapat berpacu dalam mengembangkan ekonomi nasional. Tujuan dari program
Gerakan Benteng antara lain sebagai berikut:
- Menumbuhkan dan membina wiraswasta Indonesia sambil menumbuhkan ekonomi nasional.
- Mendorong importir-importir nasiora hingga mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan impor asing
- Membatasi impor barang-barang agar memberikan lisensi impor hanya kepada importir Indonesia
- Memberikan bantuan dalam bentuk kredit kepada importir Indonesia.
Pada kenyataannya program ini gagal mencapai
tujuannya, sebab pengusaha pribumi terlalu tergantung kepada pemerirtar dalam
mengembangkan usahanya. Bahkan banyak diantara mereka yang menyalahgunakan
kebijakan pemerintah tersebut dengan mencari keuntungan secara cepat dan kredit
yang mereka peroleh. Walaupun demikian pemerintah tetap berupaya untuk
mengembangkan pengusaha pribumi.
Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
Pada masa kaniet Ali Sastroamijoyo (31 Juli
1953 s/d 12 Agustus 1955). Kabinet ini
berusaha untuk mengatasi krisis moneter dengan cara mealkukan
nasionalisasi yang terjadi adalah sebagai berikut :
- Dibentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank pada tanggal 19 Juni 1951 berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 118 Tahun 1951 tanggal 2 Juni 1951.
- Panitia Nasionalisasi bertugas mengajukan usul rencana nasionalisasi kemudian pemerintah trengangkat Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bank berdasarkan Kepres RI No. 123 Tahun 1951 tanggal 12 Juni 1951.
- Tanggal 15 Desember 1951 diumumkan UU No. 14 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, yang pada akhirnya berfungsi sebagai Bank Sentral dan Bank Sirkulasi.
- Dalam rangka menaikkan pendapatan, pemerintah Indonesia berupaya menurunkan biaya ekspor dan melakukan penghematan secara drastis
Sistem
Ekonomi Ali-Baba
Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo (31 Juli
1953 s/d 12 Agustus 1955). Menteri Perekonomian Mr. Ishaq Cokrohadisuryo
memprakarsai sistem perekonomian yang dikenal dengan sistem Ekonomi Ali Baba.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba adalah pengusaha
nonpribumi (China). Untuk memajukan ekonomi pengusaha, para pengusaha
nonpribumi harus bekerja sama dengan pengusaha pribumi dan selanjutnya
pemerintah memberikan bantuan kredit kepada pengusaha pribumi. Pada
kenyataannya sistem berpengalaman dan hanya dijadikan alat oleh pengusaha
nonpribumi untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Persetujuan
Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanudin
Harahap (12 Agustus 1955 s/d 3 Maret 1956) Indonesia mengirimkan delegasi ke
negeri Belanda guna merundingkan masalah finansial ekonomi dengan pemerintah
Belanda. Hasilnya pada tanggal 17 Januari 1956 tercapai rencana persetujuan
Finek, yang antara lain berisi hat berikut:
- Persetujuan Finek dan hasil KMB dibubarkan
- Hubungan Finek Indonesia - Belanda didasarkan atas hubungan bilataral
- Hubungan Finek didasarkan atas UU Nasional tidak boleh diikat oleh perjanjian lain
- Persetujuan ini tidak diterima oleh pemerintah Belanda, sehingga pemerintah Indoneia mengambil langkah sepihak dengan membubarkan Uni Indonesia - Belanda pada tanggal 13 Februari 1955 untuk melepaskan diri dari ikatan ekonomi dengan Belanda
RPLT
Munap
Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20
Maret 1956 - 4 Maret 1957) pemerintah membentuk suatu badan perencanaan
pembangunan nasional yaitu Biro Perancang Negara, Ir. H. Juanda sbagai Menteri
Perancang Nasional berhasil membuat Rencana Pembangunan Lima tahun yang
berjalan tahun 1956 - 1961. Pada saat kabinet Juanda terbentuk (9 April 957- 5
Juli 1959) keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, sehingga pemerintah mencari
jalan keluar dengan menyelenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap).
Akan tetapi pada kenyataannya langkah ini ternyata tidak mengubah keadaan.
Selain itu RPLT juga tidak dapat dilaksanakan. Penyebabnya antara lain sebagai
berikut :
- Daerah-daerah menempuh kebijakan sendiri-sendiri
- Daerah di luar Jawa banyak yang melakukan barter langsung ke luar negeri
- Harga barang ekspor menurun
- Timbulnya ketergantungan antara pusat dan daerah.
0 komentar: