Pemikiran Sayyid Qutub dan Al-Maududi
Pemikiran Sayyid Qutub dan Al-Maududi
- Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional
(kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak
sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga
prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan
permusyawarahan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak
mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan sistem kondisi
masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada
superemasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi
adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia
adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan.
Keduanya
menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat
., karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang
sebab itu, manusia tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan
dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut
sebagai Theo-Demokrasi.
Istilah
Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan demokrasi. Dua
kata yang disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi bahwa
kewenangan untuk menegakkan pemerintahan yang diberikan Tuhan kepada
manusia dibatasi oleh undang-undang Nya yakni syari’at. Manusia diberik
kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang melanggar
atura Tuhan. Hal-hal yang tidak jelas diatur secara jelas dalam syari’at
diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin
yang memiliki persyaratan dan kemampuan berijtihad diberi kesempatan
untuk menafisrkan undang-undang Tuhan jika diperlukan. Undang-undang
yang sudah jelas terdapat dalam nash tidak boleh seorang pun mengubah
atau membantahnya. Penafsiran terhadap undang-undang yang belum jelas
pengertiannya tidak boleh kontradiktif dengan ketentuan umum
undang-undang Tuhan. Pemikiran
pembaruan politik al-Maududi tentang teori politik pemerintahan
didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari
oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood
(risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik Islam akan sulit
dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip ini.
Tauhid
berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara.
Karena Tuhan adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada
Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan laranganNya adalah
undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa
dirinya memiliki kedaulatan.
Risalah
menurut Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan
kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia.
Perbuatan Rasulullah dengan melakukan interpretasi terhadap
undang-undang itu melalui perkataan dan perbuatannya disebut sunah.
Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang berisi segala norma
dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari’ah.
Khilafah,
ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi
kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia
adalah wakil Tuhan di bumi. Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh
komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang
kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini adalah Tuhan, kedaulatan
tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap manusia yang menerima
prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi,
manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah
perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang
meyakini dan menerima prinsip-prinsip yang telah disebutkan dan bersedia
menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian,
pelaksanaan khilafah itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori
khilafahnya yang demikian dengan nama khilafah kolektif.
Untuk
memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan
Tuhan, Maududi memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang
pengelolaannya diserahkan pada orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan
yang demikian haus memberlakukan empat syarat. Pertama, pemilik
sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus mengelola
perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga, pengelola
harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah ditentukan
pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi
perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya
sendiri.
0 komentar: