Interaksi Jepang Dengan Indonesia

Interaksi Jepang Dengan Indonesia Bertepatan tanggal 8 Desember 1941 (7 Desember di Hawaii) Pearl Harbour, pusat pertahanan Amerika Serikat di Pasifik mendapat serangan dari angkatan udara Jepang serta angkatan lautnya mulai beraksi di seluruh Pasifik. Pada waktu yang bersamaan, angkatan darat Jepang mendarat di Indochina, Filipina dan Malaya. Mulai saat itu pecahlah perang Asia Timur Raya dan Amerika menyatakan perang terhadap Jepang. Pemerintah Hindia Belanda juga segera mengikuti jejak sekutu-sekutunya dengan menyatakan perang terhadap Jepang. Sejak itu pula serangan dari pihak Jepang diarahkan ke Indonesia untuk melumpuhkan pasukan Hindia-Belanda. Penyerbuan tentara Jepang ke Indonesia diawali dengan dikuasainya Tarakan pada tanggal 10 Januari 1942, kemudian disusul penguasaan atas Balikpapan, Menado, Ambon, Makassar, Pontianak, dan Palembang. Dari sana kekuatan militer Jepang ke Pulau Jawa.
Pada tanggal 1 Maret 1942, Jepang mendarat di Banten, Indramayu, dan Rembang. Batavia dapat diduduki pada tanggal 5 Maret 1942, begitu juga daerah-daerah lain seperti Surakarta, Cikampek, Semarang, dan Surabaya dapat dikuasainya. Pada akhirnya tanggal 8 Maret 1942 dibawah Panglima Militer Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, Belanda menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Jepang.
Penyerahan itu dilakukan di Kalijati, Subang kepada Letnan Jenderal Imamura Hitsoji. Mulai saat itu berakhirlah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dan dimulailah pendudukan militer Jepang di Indonesia. Pada awal-awal masuknya militer Jepang ke Indonesia mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari sikap tokoh-tokoh Nasionalis seperti Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta yang bersedia melakukan kerja sama dengan pihak Jepang, padahal sebelumnya pada masa pemerintah kolonial Belanda mereka bersikap nonkooperatif. Ada beberapa faktor pendorong yang menyebabkan mereka bersikap kooperatif, di antaranya akan lahirnya kebangkitan bangsa-bangsa Timur dan ramalan Jayabaya yang terkenal dengan meramalkan akan datangnya orang kate yang akan berkuasa di Indonesia seumur jagung dan setelah itu dianggap sebagai suatu kemenangan bangsa-bangsa Asia atas Eropa yang sekaligus mengikis adanya anggapan bangsa Barat sebagai bangsa yang tak terkalahkan. Bagi pemerintah militer. Jepang kerja sama dengan tokoh-tokoh nasionalis diharapkan akan menarik dukungan massa demi kepentingan perang Jepang. Sesudah pendudukan militer Jepang mulai berkuasa, ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan terhadap bekas jajahan Hindia-Belanda. Pertama, Jepang berusaha menghapuskan semua pengaruh Barat di dalam masyarakat Indonesia.
Kedua, segala kekuatan dimobilisasi untuk mendorong tercapai kemenangan perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, pendidikan pun diarahkan pada tujuan yang dianggapnya suci, yaitu untuk mencapai kemakmuran bersama Asia Timur Raya dengan Jepang yang bertindak sebagai pemimpin. Oleh sebab itu, segala kekuatan dan sumber-sumber yang ada diarahkan pada peperangan guna mencapai tujuan Jepang. Pada awalnya, pemerintah militer Jepang bersikap baik terhadap bangsa Indonesia, tetapi akhirnya sikap baik itu berubah sedikit demi sedikit menampakkan wajah aslinya. Apa yang ditetapkan pemerintah Jepang sebenarnya bukan untuk mencapai kemakmuran dan kemerdekaan Indonesia, melainkan demi kepentingan dan tujuan perang Jepang semata. Tetapi setelah pemerintah Jepang mengetahui betapa besarnya hasrat bangsa Indonesia terhadap kemerdekaan maka dimulailah propaganda-propaganda tersebut yang seolah-olah demi kepentingan bangsa Indonesia. Dasar pendidikan di sekolah-sekolah adalah pengabdian kepada pemerintah pendudukan Jepang. Apabila aman kolonial Belanda isi pendidikan diarahkan pada kebudayaan Barat maka pada aman Jepang diarahkan pada kebudayaan Jepang. Kita lihat misalnya apa yang terjadi di berbagai tingkatan pendidikan; yaitu setiap pagi dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo. Upacara pagi dengan pengibaran bendera Hinomaru dan membungkukkan badan sembilan puluh derajat untuk menghormati Kaisar Tenno Heika. Seterusnya diadakan upacara sumpah setia dalam memelihara semangat untuk mencapai cita-cita perang suci demi kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Untuk mendukung ke arah sana, setiap anak harus kuat jasmaninya sehingga diadakanlah senam setiap pagi (taiso) dan kerja bakti (kinrohoshi). Kegiatankegiatan tersebut sesuai dengan suasana perang, sehingga banyak nyanyian, semboyan, dan latihan-latihan yang dihubungkan dengan persiapan menghadapi perang.
Usaha penanaman ideologi Hakko Ichiu melalui sekolah-sekolah dan supaya terdapat keseragaman dalam maksud-maksud pemerintah pendudukan Jepang, maka diadakan latihan guru-guru di Jakarta. Tiap-tiap kabupaten atau daerah mengirimkan beberapa orang guru untuk dilatih selama tiga bulan. Setelah selesai mengikuti latihan tersebut, mereka kembali ke daerahnya masingmasing, kemudian melatih guru-guru lainnya mengenai hal-hal yang mereka peroleh dari Jakarta. Bahan-bahan pokok yang mereka dapatkan dari latihanitu adalah:
  • Indoktrinasi mental ideologi mengenai Hakko Ichiu dalam rangka kemakmuran bersama di Asia Raya .
  • Latihan kemiliteran dan semangat Jepang (Nippon Seisyini).
  • Bahasa dan sejarah Jepang dengan adat istiadatnya.
  • Ilmu bumi ditinjau dari segi geopolitis.
  • Olahraga, lagu-lagu, dan nyanyian-nyanyian Jepang.
Di luar dugaan, seakan-akan pada masa tersebut pendidikan formal berkembang dengan pesat sehubungan dengan beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Kebijakan Jepang di bidang pendidikan itu, antara lain: pendidikan ditujukan untuk kebutuhan perang Asia Timur Raya, hilangnya sistem dualisme dalam pendidikan, perubahan system pendidikan yang lebih merakyat, dan perubahan-perubahan di dalam kurikulum. Kebijakan itu sebenarnya berbeda dengan kenyataan, karena pada aman Jepang terjadi penurunan jumlah Sekolah Dasar, murid, dan gurunya dibandingkan dengan keadaan pada akhir masa penjajahan Belanda. Menurut Djohan Makmur terjadinya penurunan jumlah sekolah, murid, dan guru disebabkan pada awalnya Jepang memiliki beberapa kesulitan yang perlu diatasi, lebih-lebih guru. Kesulitan mengenai guru karena pemerintah kolonial Belanda tidak mempersiapkan secara khusus guru-guru bumiputera untuk sekolah-sekolah menengah pertama, apalagi sekolah menengah atas. Kesulitan lainnya ialah mengenai buku-buku pelajaran. Semua buku pelajaran ditulis dalam bahasa Belanda, sementara pemerintah pendudukan Jepang melarang pemakaiannya. Untuk itu, semua buku yang berbahasa Belanda diganti dengan buku-buku terjemahan yang dikeluarkan oleh Bunkyo Kyoku (Kantor Pengajaran). Bilamana buku-buku berbahasa Jepang atau terjemahannya tidak diterima maka para guru berusaha menerjemahkan dan menyusunnya sendiri ke dalam bahasa Indonesia. Di sinilah tanggung jawab yang besar dari para guru Indonesia yang menguasai bahasa Indonesia bukan hanya sebagai bahasa pengantar, tetapi juga sebagai bahasa ilmiah. Pemerintah militer Jepang berusaha untuk terus bekerja sama (kooperatif) dengan para pemimpin bangsa. Dengan cara ini diharapkan para pemimpin nasionalis dapat merekrut massa dengan mudah dan sekaligus melakukan pengawasan terhadap bangsa Indonesia. Untuk melaksanakan hal tersebut, Jepang membentuk satu wadah yang dapat menghimpun orang-orang Indonesia guna menggalang kekuatan dalam menghadapi kekuatan Barat. Wadah itu dinamai Gerakan Tiga A.
Gerakan Tiga A
Gerakan Tiga A yang memiliki tiga arti, yaitu Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia, dan Jepang Cahaya Asia. Pada awal gerakan ini dikenalkan kepada masyarakat Indonesia, terlihat bahwa pemerintah Jepang berjanji bahwa saudara tua nya ini dapat mencium aroma kemerdekaan. Pada awal gerakannya, pemerintah militer Jepang bersikap baik terhadap bangsa Indonesia, tetapi akhirnya sikap baik itu berubah. Apa yang ditetapkan pemerintah Jepang sebenarnya bukan untuk mencapai kemakmuran dan kemerdekaan Indonesia, melainkan demi kepentingan pemerintahan Jepang yang pada saat itu sedang menghadapi perang. Tetapi setelah pemerintah Jepang mengetahui betapa besarnya pengharapan akan sebuah kemerdekaan, maka mulai dibuat propaganda-propaganda yang terlihat seolah-olah Jepang memihak kepentingan bangsa Indonesia. Dalam menjalankan aksinya, Jepang berusaha untuk bekerja sama dengan para pemimpin bangsa (bersikap kooperatif). Cara ini digunakan agar para pemimpin nasionalis dapat merekrut massa dengan mudah dan pemerintah Jepang dapat mengawasi kinerja para pemimpin bangsa. Tetapi gerakan ini tidak bertahan lama. Hal ini dikarenakan kurang mendapat simpati di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai penggantinya, pemerintah Jepang menawarkan kerja sama kepada tokoh-tokoh nasional Indonesia. Dengan kerja sama ini, pemimpin-pemimpin Indonesia yang ditahan dapat dibebaskan, di antaranya Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutan Syahrir, dan lain-lain.
Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA)
Tawaran kerja sama yang ditawarkan pemerintahan Jepang pada masa itu, disambut hangat oleh para pemimpin bangsa. Sebab menurut perkiraan mereka, suatu kerja sama di dalam situasi perang adalah cara terbaik. Pada masa ini, muncul empat tokoh nasionalis yang dikenal dengan sebutan Empat Serangkai, mereka adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hattta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara. Empat tokoh nasionalis ini lalu membentuk sebuah gerakan baru yang dinamakan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Putera resmi didirikan pada tanggal 16 April 1943. Gerakan yang didirikan atas dasar prakarsa pemerintah Jepang ini bertujuan untuk membujuk kaum nasionalis sekuler dan kaum intelektual agar dapat mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk usaha perang negara Jepang.
Gerakan ini ini tidak dibiayai pemerintahan Jepang. Walaupun demikian, pemimpin bangsa ini mendapat kemudahan untuk menggunakan fasilitas Jepang yang ada di Indonesia, seperti radio dan koran. Dengan cara ini, para pemimpin bangsa dapat berkomunikasi secara leluasa kepada rakyat. Sebab, pada masa ini radio umum sudah banyak yang masuk ke desa-desa. Pada akhirnya, gerakan ini ternyata berhasil mempersiapkan mental masyarakat Indonesia untuk menyambut kemerdekaan pada masa yang akan datang.


Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa)
Selang beberapa waktu, ternyata pemerintah Jepang mulai menyadari bahwa, gerakan Putera lebih banyak menguntungkan rakyat Indonesia dan kurang menguntungkan pihaknya. Untuk itu, Jepang membentuk organisasi baru yang dinamakan Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Tujuan pendirian organisasi ini adalah untuk penghimpunan tenaga rakyat, baik secara lahir ataupun batin sesuai dengan hokosisyin (semangat kebaktian). Adapun yang termasuk semangat kebaktian itu di antaranya: mengorbankan diri, mempertebal persaudaraan, dan melaksanakan sesuatu dengan bukti. Organisasi ini dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah. Berarti, organisasi ini diintegrasikan ke dalam tubuh pemerintah. Organisasi ini mempunyai berbagai macam hokokai profesi, di antaranya Izi hokokai (Himpunan Kebaktian Dokter), Kyoiku Hokokai (Himpunan Kebaktian Para Pendidik), Fujinkai (Organisasi Wanita), Keimin Bunka Syidosyo (Pusat Budaya) dan Hokokai Perusahaan.
Struktur kepemimpinan di dalam Jawa Hokokai ini langsung dipegang oleh Gunseikan, sedangkan di daerah dipimpin oleh Syucohan (Gubernur atau Residen). Pada masa ini, golongan nasionalis disisihkan, mereka diberi jabatan baru dalam pemerintahan, akan tetapi, segala kegiatannya memperoleh pengawasan yang ketat dan segala bentuk komunikasi dengan rakyat dibatasi.


Seinendan
Seinendan adalah organisasi semi militer yang didirikan pada tanggal 29 April 1943. Orang-orang yang boleh mengikuti organisasi ini adalah pemuda yang berumur 14-22 tahun. Tujuan didirikannya Seinendan adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan menggunakan tangan dan kekuatannya sendiri. Tetapi, maksud terselubung diadakannya pendidikan dan pelatihannya ini adalah guna mempersiapkan pasukan cadangan untuk kepentingan Jepang di Perang Asia Timur Raya.


Keibodan
Organisasi ini didirikan bersamaan dengan didirikannya Seinendan, yaitu pada tanggal 29 April 1943. Anggotanya adalah para pemuda yang berusia 26 45 tahun. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk membantu polisi dalam menjaga lalu lintas dan melakukan pengamanan desa.


Fujinkai
Fujinkai dibentuk pada bulan Agustus 1943. Organisasi ini bertugas untuk mengerahkan tenaga perempuan turut serta dalam memperkuat pertahanan dengan cara mengumpulkan dana wajib. Dana wajib dapat berupa perhiasan, bahan makanan, hewan ternak ataupun keperluan-keperluan lainnya yang digunakan untuk perang.


Heiho
Anggota Heiho adalah para prajurit Indonesia yang ditempatkan pada organisasi militer Jepang. Mereka yang tergabung di dalamnya adalah para pemuda yang berusia 18-25 tahun.


MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia)
Golongan nasionalis Islam adalah golongan yang sangat anti Barat, hal itu sesuai dengan apa yang diinginkan Jepang. Jepang berpikir bahwa golongan ini adalah golongan yang mudah dirangkul. Untuk itu, sampai dengan bulan Oktober 1943, Jepang masih mentoleransi berdirinya MIAI. Pada pertemuan antara pemuka agama dan para gunseikan yang diwakili oleh Mayor Jenderal Ohazaki di Jakarta, diadakanlah acara tukar pikiran. Hasil acara ini dinyatakan bahwa MIAI adalah organisasi resmi umat Islam. Meskipun telah diterima sebagai organisasi yang resmi, tetapi MIAI harus tetap mengubah asas dan tujuannya. Begitu pula kegiatannya pun dibatasi. Setelah pertemuan ini, MIAI hanya diberi tugas untuk menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam dan pembentukan Baitul Mal (Badan Amal). Ketika MIAI menjelma menjadi sebuah organisasi yang besar maka para tokohnya mulai mendapat pengawasan, begitu pula tokoh MIAI yang ada di desa-desa.Lama kelamaan Jepang berpikir bahwa MIAI tidak menguntungkan Jepang, sehingga pada bulan Oktober 1943 MIAI dibubarkan, lalu diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan dipimpin oleh K.H Hasyim Asy’ari, K.H Mas Mansyur, K.H Farid Ma’ruf, K.H. Hasyim, Karto Sudarmo, K.H Nachrowi, dan Zainul Arifin sejak November 1943. Jika dilihat lebih saksama, secara politis pendudukan Jepang telah mengubah beberapa hal, di antaranya sebagai berikut.
  1. Berubahnya pola perjuangan para pemimpin Indonesia, yaitu dari perjuangan radikal menuju perjuangan kooperatif (kerja sama). Hal ini dimanfaatkan oleh para pemimpin Indonesia untuk membina mental rakyat. Misalnya melalui keterlibatan rakyat dalam Putera dan Jawa Hokokai.
  2. Berubahnya struktur birokrasi, yaitu dengan membagi wilayah ke dalam wilayah pemerintah militer pendudukan. Misalnya, diperkenalkannya system tonarigumi (rukun tetangga) di desa-desa. Lalu beberapa gabungan tonarigumi ini dikelompokkan ke dalam ku (desa atau bagian kota). Akibat ini semua, desa menjadi lebih terbuka dan banyak juga dari orang Indonesia yang menduduki jabatan birokrasi tinggi di pemerintahan, suatu hal yang tidak terjadi pada masa pemerintahan Belanda.
Pembentukan BPUPKI dan PPKI
Kekalahan-kekalahan yang diterima Jepang, membuat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Jepang turut melemah. Mulai awal tahun 1943, di bawah perintah Perdana Menteri Tojo, pemerintahan Jepang diperintahkan untuk memulai penyelidikan akan kemungkinan memberi kemerdekaan terhadap daerah-daerah pendudukannya. Untuk itu, kerja sama dengan bangsa Indonesia mulai diintensifkan dan mengikutsertakan wakil Indonesia, seperti Soekarno dalam parlemen Jepang.
Pada tahun 1944, kedudukan Jepang semakin terjepit. Oleh karena itu, untuk mempertahankan pengaruh Jepang di negara-negara yang didudukinya, Perdana Menteri Koiso mengeluarkan Janji Kemerdekaan pada tanggal 7 September 1944 dalam sidang parlemen Jepang di Tokyo. Sebagai realisasi dari janji tersebut, pada tanggal 1 Maret 1945, Letnan Jenderal Kumakici Harada (pemimpin militer di Jawa) mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI bertugas untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang penting dan perlu bagi pembentukan negara Indonesia, misalnya saja hal-hal yang menyangkut segi ekonomi dan politik. BPUPKI ternyata tidak bertahan lama. Dalam perkembangan berikutnya, BPUPKI dibubarkan, lalu diganti dengan Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini diresmikan sesuai dengan keputusan Jenderal Terauchi, yaitu seorang panglima tentara umum selatan, yang membawahi semua tentara Jepang di Asia Tenggara pada tanggal 7 Agustus 1945. Setelah itu, diadakanlah pertemuan antara Soekarno, M. Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat dengan Jenderal Terauchi di Dalat. Di dalam pertemuan itu, Jenderal Terauchi menyampaikan bahwa Pemerintah Jepang telah memutuskan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia yang wilayahnya meliputi seluruh bekas wilayah Hindia-Belanda.

0 komentar: