Pembantaian Purwodadi Awal Tahun 1969
Pembantaian Purwodadi Awal Tahun 1969 –
Sejarah kadang tidak terungkap secara faktuil dan hanya menjadi bayang
kelam yang menunggu untuk diluruskan. Di republik Indonesia kita
tercinta ini, begitu banyak peristiwa sejarah kelam yang menunggu untuk
diungkap dan diluruskan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Salah
satunya yang kurang mendapat perhatian adalah Kontroversi sejarah
mengenai peristiwa pembantaian “tertuduh komunis” di Daerah Purwodadi
Jawa tengah.
Peristiwa Pembantaian Massal Purwodadi
Sisa-sisa
G30S yang bergerak ke Purwodadi telah mengeluarkan brosur yang diberi
nama "Mimbar Rakyat"; dengan kode "Mowo". Menurut harian Suara Merdeka,
10 Maret 1969, brosur terbitan terakhir berisi tulisan yang mengkritik
Presiden Soeharto dan Pemerintah Daerah Jawa Tengah yang telah
menanggapi Repelita dengan modernisasi desa. Selain itu, mereka juga
melancarkan gerilya politik dengan meniupkan desas-desus yang dilepaskan
ke luar agar tempat persembunyiannya aman. Tahun 1969 ini, menurut
Dandim 0717 P. Letkol Tedjosuwarno dalam laporannya kepada Menteri
Penerangan Budiardjo, akan dijadikan sebagai tahun H bagi gerakan PKI.
Dan berdasarkan dokumen dan seruan PKI kepada anggotanya agar selalu
dalam perjuangannya mendasarkan diri pada historismenya, yaitu bahwa
Purwodadi adalah kota tempat pembentukan pertama pasukan merah (tentara
PKI), pemberontakan 1926, Madiun Affair, dan Pemberontakan 30 September
1965.
Purwodadi
merupakan persimpangan jalan yang penting untuk menuju Solo, Surabaya,
Semarang, dan Kudus. Namun jalan dari Purwodadi menuju daerah lain
rusak. Letaknya juga hampir tertutup karena jalur komunikasi boleh
dikatakan hancur total. Kondisi itu dimanfaatkan untuk melancarkan
gerakan, dan mengadakan pertemuan.
Operasi
pun dilancarkan angkatan darat selama 3 hari, 15-17 Pebruari. Dari
operasi itu, seperti dimuat di Suara Merdeka, 10 Maret 1969, ditemukan 7
ruang bawah tanah. 5 dalam keadaan kosong, dan 2 diantaranya terdapat 6
orang yang sedang melakukan rapat. Mereka dipaksa keluar dengan cara
memberi asap pada mulut ruang. Disita pula senjata berupa sten gun,
"senjata jet" atau panah berbentuk seperti karaben yang terbuat dari
kayu dengan peluru ruji sepeda yang diruncingkan dan diberi racun
mematikan. Gembong PKI Pono dan Bigo Pranoto (tokoh PKI Jawa Tengah)
juga ditangkap dalam operasi yang dilancarkan Kodam VII/Diponegoro.
Dalam
suasana rawan semacam itu, muncul isu adanya pembunuhan massal dan
penyiksaan kejam sekitar 800 orang di Purwodadi yang dilakukan
kesatuan-kesatuan Jon 404 dan Jon 409 beserta Kodim setempat.
Pelontarnya adalah Ketua II Lembaga Hak Asasi Manusia Princen, yang
bersama 2 wartawan Belanda Kolb dari Haagsche Courant dan E. van Caspel,
yang mengunjungi pastor Wignjosumarto di Purwodadi. Pastur itu memberi
penjelasan yang ia dapat dari orang-orang Katolik yang datang kepadanya
untuk menyampaikan dosa-dosa dan meminta pengampunan.
Princen
yakin bahwa sekitar 800 orang telah dibunuh dengan pukulan
batang-batang besi pada kepala, tapi jumlah itu mungkin masih lebih
tinggi. Pembataian massal itu terjadi setelah dua bulan penggulungan
orang-orang yang dinyatakan sebagai komunis, yang dimasukkan ke dalam
kamp-kamp tahanan di Purwodadi, Gundi dan Kuwu.
Pemberitaan
dalam surat kabar Bulgaria Rabotaiche Skodele malah lebih tendensius.
Surat kabar ini memuat pernyataan Princen yang mengatakan bahwa 2-3 ribu
orang telah dibunuh oleh angkatan darat dan orde baru, ratusan orang
dipancung kepalanya, menggali lubang kubur sendiri, pemeriksaan disertai
siksaan, dan banyak pula yang dipaksa "bunuh diri".
Pangdam
VII/Diponegoro Mayjen Surono menyangkalnya. Menurutnya, sejumlah 860
orang G30S yang ditahan menjelang tutup tahun yang dimulai sejak 1
Oktober 1968 memang ada di kamp-kamp tahanan. Mayor Suhirno, Kepala
Penerangan Kodam VII/Diponegoro selaku juru bicara Peperda Jateng/DIY
mengatakan, jumlah tawanan di daerah Kuwu seluruhnya berjumlah 700
orang.Penggerebekan dilakukan di salah satu gereja di Purwodadi, karena
terbukti terdapat pelarian G30S dari Yogyakarta. Dalam operasi
pembersihan itu terdapat pula beberapa warga negara asing yang
tertangkap.
Isu
itu tampaknya menarik perhatian. Panglima Angkatan Darat Jenderal
Panggabean memerintahkan tim khusus untuk menyelidiki Peristiwa
Purwodadi itu. Bahkan masalah itu menjadi pembicaraan dalam Sidang
Kabinet Terbatas pada 20 Maret 1969, meski pemerintah secara resmi
membantah kebenaran Peristiwa Purwodadi. Namun isu itu terus bergulir,
dan menarik pihak luar. Beberapa surat kabar asing seperti Aljazair,
beberapa negara Afrika, Muangthai, Polandia, Phillipina dan Bulgaria
memberitakan tanpa bumbu komentar. Harian kiri Afton Bladet di Swedia
memuatnya dengan disertai reaksi dalam subeditorialnya. Dikatakan agar
ada Komisi Penyelidik Internasional untuk mentackle "politik pemusnahan
rakyat" di Indonesia. Dari sumber resmi, demikian Suara Merdeka, 20
Maret 1969, diberitakan bahwa beberapa perwakilan asing dari
negara-negara penting yang berada di Jakarta juga telah melaporkan
kepada pemerintahan masing-masing mengenai ketidakbenaran peristiwa itu.
Laporan itu didasari penyelidikan yang dilakukan oleh tiap-tiap
perwakilan asing itu secara intensif dan diam-diam.
Gubernur
Jawa Tengah Moenadi yang berada di Jakarta segera mengeluarkan press
release, yang isinya: "Saya hanya ingin membeberkan sadja, sebagian dari
sedjarah perdjuangan kita di Djateng. Pada tahun 1948 waktu pasukan PKI
menduduki Karesidenan Pati, ada seorang Belanda melarikan diri dari
kesatuannya dan menggabungkan diri kepada pasukan PKI di Pati. Orang itu
adalah HJC Princen (waktu itu belum hadji). Pada waktu pasukan-pasukan
pemerintah RI dibawah pimpinan Letkol. Koesno Oetomo (sekarang Mayjen.),
Mayor Kosasih (sekarang Mayjen), menduduki kembali Karesidenan Pati,
maka Princen jang tadinja ikut PKI dioper oleh pasukan Siliwangi cq
Kemal Idris dan dibawa ke Jabar."
"Pada
waktu itu saja sudah tjuriga, apa mungkin seorang serdadu Belanda ikut
komunis. Apakah tidak ada kemungkinan bahwa ia adalah dari Partai
Komunis Nederland?". "Bahwa saudara HJC Princen itu sekarang sudah
menjadi WNI, bahkan sudah hadji, tidak saj persoalkan. Jang saja
persoalkan ialah timbulnja pertanyaan "apakah orang jang dulu (HJC
Princen) diragukan dan saja duga dari Partai Komunis Nederland seperti
Abdulmadjid SH, Aetiadji, dan lain-lain hingga sekarang belum
diclearkan?". SEJAK diungkapnya kasus Purwodadi oleh Poncke Princen,
muncul berbagai pendapat pro dan kontra. Menurut Poncke, jumlah korban
pembantaian mencapai dua ribu orang yang tersebar di beberapa daerah di
wilayah Grobogan. Bahkan menurutnya dalam satu malam pernah terjadi
pembunuhan terhadap 850 orang sekaligus. Banyak pihak yang meragukan
keterangan Poncke, namun tak sedikit pula yang berada di pihaknya.
Sebagian
aktvis di luar negeri, khususnya di Belanda, mengutuk keras aksi
kejahatan itu. Prof. Jan Pluvier, guru besar sejarah Asia Tenggara,
kolega Wertheim dalam wawancara pada Maret 2007 lampau di kediamannya di
Heideweg No 5, Soest, Belanda mengatakan keterlibatannya dalam gerakan
menentang Orde Baru berangkat dari solidaritasnya kepada rakyat
Indonesia yang ditindas oleh Suharto. “Saya mendengar berita tentang
pembunuhan massal itu dan saya menentang Suharto yang menginjak-injak
kemanusiaan,” kata dia. Berbeda dengan Jan Pluvier, Wertheim dan para
Indonesianis lain yang umumnya mengecam rezim Orde Baru, Presiden World
Veteran Federation (WVF) W. Ch. J.M. van Lanschot justru memperlihatkan
sikap mendukung Orde Baru. Ia datang ke Indonesia disertai dua orang
redaktur majalah Elsevier, Martin W. Duyzings dan Drs. A. Hoogendijk.
Dalam kunjungannya itu, mereka menemui Menteri Penerangan Budiardjo.
Mereka sepakat bahwa tidak ada gunanya membesar-besarkan kasus
Purwodadi.
Panglima
Kodam (Pangdam) VII/Diponegoro Mayor Jenderal Surono membantah
terjadinya pembantaian massal dalam kasus Purwodadi. Dia mengatakan
berita tersebut tidak benar. Dia curiga kabar tersebut menjadi bagian
perang urat syaraf yang dilancarkan oleh “PKI Malam”. Dia malah balik
menuding bahwa semua tuduhan itu semata-mata ditujukan untuk mengganggu
stabilitas keamanan yang sedang dibangun oleh pemerintah Orde Baru.
Sementara itu Gubernur Jawa Tengah Munadi langsung mengundang seluruh
wartawan baik luar maupun dalam negeri untuk hadir dalam konferensi pers
yang digelar pada 4 Maret 1969 di Restoran Geliga, Jakarta. Pada
pertemuan itu, dia membantah temuan Princen, bahkan menuduh Princen
sebagai komunis (Kompas, 5 Maret 1969 dan Indonesia Raya, 6 Maret 1969).
Dalam keterangan persnya Munadi mengatakan,“yang dipersoalkan sekarang
adalah tahun 1968. karena tahun 1965 tidak terkontrol. Saya minta supaya
dibatasi pada tahun 1968 saja. Kalau orang itu ditembak berjejer itu
tidak mungkin.Tapi kalau dalam operasi ada orang yang ditangkap, tapi
kemudian coba-coba lari dan diberi peringatan tapi tidak mengindahkan,
mungkin saja ditembak.” (Kompas, 5 Maret 1969). Bantahan Munadi didukung
oleh Frank Palmos dari Melbourne Herald dan Judy Williams dari New York
Times yang mengatakan tidak ditemukan adanya tanda-tanda telah terjadi
pembunuhan massal di daerah Kuwu-Purwodadi dan daerah sekitarnya.
Munculnya berita yang memperkuat pernyataan Munadi, membuat Princen kian
tersudut dan semakin santer diberitakan bahwa dia seorang komunis.
Merasa dirugikan oleh Munadi, Poncke menggugatnya ke Kejaksaan Agung dan
mendaftarkan kasusnya sebagai pencemaran nama baik. Kepada wartawan
Poncke mengatakan bahwa dia rela dituduh komunis, asalkan dapat membantu
orang-orang tak berdosa. Akhirnya Poncke ditahan dan interogasi oleh
Kopkamtib dengan tuduhan terlibat dalam gerakan komunis. Kepadanya
ditanyakan tentang hubungannya dengan kaum komunis, baik di negeri
Belanda maupun di Indonesia. Menjawab pertanyaan wartawan seusai
interogasi, ia mengatakan, “Saya hanya mengkonstatir adanya suatu
penyelewengan yang perlu ditindak. Hal ini segera saya telah sampaikan
kepada Presiden Soeharto sekembalinya dari Jawa Tengah sebagai seorang
patriot. Kami bukanlah seorang sentimentalis naif, tapi sebenarnya
justru dengan terjadinya pembunuhan-pembunuhan bergelombang di Purwodadi
telah lebih menguntungkan kaum komunis”. (Sinar Harapan, 7 Maret 1969)
Poncke
juga mengatakan bahwa dia sangat jengkel pada orang-orang yang
menuduhnya komunis. Mereka seolah lupa bahwa di “zaman Nasakom” mereka
itulah yang justru paling getol bekerjasama dengan komunis. Tidak jelas
siapa yang dimaksudkan Poncke dengan “orang-orang” yang menuduhnya
sebagai komunis, mengingat hanya ada satu orang yang menyebut dirinya
sebagai komunis, yakni Gubernur Jawa Tengah Munadi. Di tengah
kesimpang-siuran berita yang tak menentu, para wartawan mendesak agar
diizinkan melihat langsung kondisi di Purwodadi. Desakan itu ditanggapi
Pangdam VII/ Diponegoro, Mayjen. Surono dengan mengundang beberapa
wartawan, baik dari luar maupun dalam negeri, “Silahkan menceknya
sendiri” ujar Pangdam. Namun kenyataan di lapangan tidak demikian,
beberapa wartawan dari Jakarta dipaksa untuk pulang setelah sempat
melakukan liputan.
Tidak
seperti yang sering tersiar bahwa operasi pembasmian komunis
dilancarkan kepada mereka yang tak bertuhan, di Purwodadi beberapa guru
Katolik kena getahnya. Kalangan umat Katolik Jawa Tengah yang dipimpin
oleh Brigjen. dr. Soerojo berupaya keras untuk menyelamatkan tujuh guru
agama Katolik yang ditahan dalam penggerebekan di Pastoran Purwodadi,
mereka adalah Drs. Ngaini Imam Marsudi, Siswadi, B.A, Sutiono, B.A,
Harnold, B.A, Djaswadi, Sumarta, Sri Mulyono, Pardan, Imam Sutikno,
Rusdiono, Bambang Dasdiun, Bakri, dan Limaran (tewas). Soerojo mengirim
sebuah dokumen penting kepada Presiden Soeharto yang dititipkan melalui
wartawan New York Times, Judy Williams. Namun tidak diketahui apa isi
dokumen itu.
Peristiwa
pembantaian Purwodadi merupakan fakta sejarah yang sampai saat ini
beloum terungkap secara terang benderang. Dan ini tentunya menjadi tugas
kita semua untuk meluruskannya, terutama kepada mahasiswa yang
berkonsetrasi di mata kuliah sejarah untuk mengungkap secara gamblang
peristiwa sejarah ini.[am]
0 komentar: