Pembelajaran Sejarah yang Kreatif
REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Rosiana Febriyanti
Mendengar kata "Pelajaran Sejarah", peserta didik seakan tidak peduli. Permasalahan pembelajaran sejarah di sekolah yang katanya membosankan, karena mereka 'merasa terpaksa' menghapal nama peristiwa penting, tahun, dan pelaku sejarah. Terlebih lagi, mereka biasa terkantuk-kantuk mendengarkan penjelasan guru yang mungkin dianggap sebagai dongeng pengantar tidur.
Belum lagi kesimpangsiuran informasi yang diperolehnya mengenai kebenaran sejarah yang sedang dipelajari, dikarenakan buku, penyusun, dan penerbit buku menyajikan informasi dengan tema yang sama namun dikemas dengan gaya yang berbeda. Jika peserta didik kita jeli dan kritis, mereka akan memandang sebelah mata pelajaran Sejarah, karena kebenaran sejarah yang selalu berubah sekehendak penyusun buku.
Sebagai guru, tentunya kita terbiasa membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Di dalam RPP, di bagian pendahuluan, biasanya kita menuliskan apersepsi, motivasi, dan invitasi. Sekarang pertanyaannya, sudahkah kita benar-benar melakukannya atau sekadar menjalankan kewajiban sebagai ritual membuat RPP tahunan?
Urgensi mempelajari sejarah harus lebih dulu tertanam di benak para peserta didik. Hal itu bisa diawali dengan memutar cuplikan film bertema sejarah selama sepuluh menit. Misalnya, film yang menggambarkan suasana peperangan, adegan pejuang era 45-an yang tertembak saat berusaha menancapkan bendera merah-putih di atas benteng atau menara Belanda, mungkin bisa mendongkrak semangat para peserta didik untuk lebih menghargai sejarah.
Guru Sejarah bisa saja bekerja sama dengan guru Seni Musik untuk mengaransemen lagu yang bertema sejarah. Lagu itu bisa ditampilkan di kelas sebagai invitasi, mengundang perhatian peserta didik. Setelah peserta didik menyukai lagu tersebut, guru dapat mengajukan pertanyaan seputar lagu dan pertanyaan itu dapat berkembang tergantung pengalaman guru dalam mengajar.
Dalam kegiatan inti, biasanya guru menerapakan model atau metode pembelajaran, tetapi ada berapa model yang kita gunakan selain metode ceramah, diskusi, dan tanya jawab? Pernahkan kita mencoba model drama atau role playing? Memang cukup menyita waktu, tetapi model ini bisa dilakukan di luar jam pelajaran sekolah atau di rumah. Guru meminta peserta didik membentuk kelompok drama yang terdiri dari 6-7 orang. Kemudian guru dapat meminta peserta didik untuk berlatih drama di rumah dan mempraktikkannya nanti di kelas, di aula, atau di tempat yang lebih luas. Jika guru tidak sempat menilainya di kelas, guru bisa meminta tugas proyek membuat kaset/video rekaman dramanya saja, sehingga guru dapat menilainya di rumah. Intinya, peserta didik harus mengalami peristiwa belajar, dengan demikian mereka dapat mengingat peristiwa sejarah itu dan dijadikan pelajaran di kehidupannya kelak dan tidak mengulangi kesalahan para pendahulu kita.
Model Make a Match (Memasangkan Pertanyaan dan Jawaban) juga salah satu pilihan menarik untuk diterapkan di pembelajaran Sejarah. Potongan-potongan kertas kecil yang berisi pertanyaan dan jawaban ditebar di lapangan (di luar kelas), kemudian peserta didik berebut mencari pasangannya. Oleh kepala sekolah kami, ini disebut sebagai "Model Tawuran", karena beliaulah yang biasa menerapkannya di kelas BIologi, kelas yang diampu oleh beliau. Namun tidak ada salahnya jika model ini pun dicoba untuk kelas Sejarah. Model "Talking Stick", tongkat yang digilir ke semua siswa dengan bantuan lagu/musik, jika tongkat berhenti pada seorang peserta didik, maka dialah yang harus menjawab pertanyaan guru. Tongkat juga bisa diganti dengan balon, spidol, atau stik es krim, tergantung dari pengembangan guru itu sendiri.
Mendengar kata "Pelajaran Sejarah", peserta didik seakan tidak peduli. Permasalahan pembelajaran sejarah di sekolah yang katanya membosankan, karena mereka 'merasa terpaksa' menghapal nama peristiwa penting, tahun, dan pelaku sejarah. Terlebih lagi, mereka biasa terkantuk-kantuk mendengarkan penjelasan guru yang mungkin dianggap sebagai dongeng pengantar tidur.
Belum lagi kesimpangsiuran informasi yang diperolehnya mengenai kebenaran sejarah yang sedang dipelajari, dikarenakan buku, penyusun, dan penerbit buku menyajikan informasi dengan tema yang sama namun dikemas dengan gaya yang berbeda. Jika peserta didik kita jeli dan kritis, mereka akan memandang sebelah mata pelajaran Sejarah, karena kebenaran sejarah yang selalu berubah sekehendak penyusun buku.
Sebagai guru, tentunya kita terbiasa membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Di dalam RPP, di bagian pendahuluan, biasanya kita menuliskan apersepsi, motivasi, dan invitasi. Sekarang pertanyaannya, sudahkah kita benar-benar melakukannya atau sekadar menjalankan kewajiban sebagai ritual membuat RPP tahunan?
Urgensi mempelajari sejarah harus lebih dulu tertanam di benak para peserta didik. Hal itu bisa diawali dengan memutar cuplikan film bertema sejarah selama sepuluh menit. Misalnya, film yang menggambarkan suasana peperangan, adegan pejuang era 45-an yang tertembak saat berusaha menancapkan bendera merah-putih di atas benteng atau menara Belanda, mungkin bisa mendongkrak semangat para peserta didik untuk lebih menghargai sejarah.
Guru Sejarah bisa saja bekerja sama dengan guru Seni Musik untuk mengaransemen lagu yang bertema sejarah. Lagu itu bisa ditampilkan di kelas sebagai invitasi, mengundang perhatian peserta didik. Setelah peserta didik menyukai lagu tersebut, guru dapat mengajukan pertanyaan seputar lagu dan pertanyaan itu dapat berkembang tergantung pengalaman guru dalam mengajar.
Dalam kegiatan inti, biasanya guru menerapakan model atau metode pembelajaran, tetapi ada berapa model yang kita gunakan selain metode ceramah, diskusi, dan tanya jawab? Pernahkan kita mencoba model drama atau role playing? Memang cukup menyita waktu, tetapi model ini bisa dilakukan di luar jam pelajaran sekolah atau di rumah. Guru meminta peserta didik membentuk kelompok drama yang terdiri dari 6-7 orang. Kemudian guru dapat meminta peserta didik untuk berlatih drama di rumah dan mempraktikkannya nanti di kelas, di aula, atau di tempat yang lebih luas. Jika guru tidak sempat menilainya di kelas, guru bisa meminta tugas proyek membuat kaset/video rekaman dramanya saja, sehingga guru dapat menilainya di rumah. Intinya, peserta didik harus mengalami peristiwa belajar, dengan demikian mereka dapat mengingat peristiwa sejarah itu dan dijadikan pelajaran di kehidupannya kelak dan tidak mengulangi kesalahan para pendahulu kita.
Model Make a Match (Memasangkan Pertanyaan dan Jawaban) juga salah satu pilihan menarik untuk diterapkan di pembelajaran Sejarah. Potongan-potongan kertas kecil yang berisi pertanyaan dan jawaban ditebar di lapangan (di luar kelas), kemudian peserta didik berebut mencari pasangannya. Oleh kepala sekolah kami, ini disebut sebagai "Model Tawuran", karena beliaulah yang biasa menerapkannya di kelas BIologi, kelas yang diampu oleh beliau. Namun tidak ada salahnya jika model ini pun dicoba untuk kelas Sejarah. Model "Talking Stick", tongkat yang digilir ke semua siswa dengan bantuan lagu/musik, jika tongkat berhenti pada seorang peserta didik, maka dialah yang harus menjawab pertanyaan guru. Tongkat juga bisa diganti dengan balon, spidol, atau stik es krim, tergantung dari pengembangan guru itu sendiri.
0 komentar: